PPDB Ditutup, Sekolah di Tegalrejo Ini Cuma Kebagian 9 Murid Saja

PPDB di DIY sudah ditutup pekan ini.

Galih Priatmojo
Sabtu, 04 Juli 2020 | 06:10 WIB
PPDB Ditutup, Sekolah di Tegalrejo Ini Cuma Kebagian 9 Murid Saja
Ilustrasi Sejumlah calon siswa menunggu dengan menjaga jark fisik di posko Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMK Negeri 15, Jakarta, Kamis (25/6). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJogja.id - Jadwal Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2020/2021 untuk siswa SMP dan SMA di DIY baru saja ditutup. Untuk tingkat SMA/SMK, pendaftaran ditutup pada Rabu (01/07/2020) lalu, sedangkan SMP pada Jumat (03/07/2020).

Seperti tahun-tahun sebelumnya, meski di tengah pandemi COVID-19 yang mengharuskan pembelajaran daring, sekolah-sekolah negeri masih menjadi rebutan peserta didik untuk melanjutkan studinya. Sekolah-sekolah swasta besar pun tak kekurangan murid karena bagaimanapun anak-anak harus tetap bersekolah.

Namun berbeda bagi sekolah swasta kecil yang seringkali kekurangan murid. Di tengah keterbatasan fasilitas dan bantuan dari pemegang kebijakan, mereka harus berjuang mendidik anak-anak untuk paling tidak memiliki kualitas rata-rata.

Sebut saja SMP/SMA Gotong Royong Yogyakarta. Sekolah swasta kecil di kawasan Tegalrejo ini harus menerima kenyataan hanya  9 peserta didik baru yang mendaftar SMP dan 8 peserta didik baru untuk tingkat SMA  yang mendaftar pada tahun ajaran baru ini. 

Baca Juga:Ratusan Milyar Anggaran Pembangunan Jogja Dialihkan untuk Atasi Wabah

Dari 9 anak yang mendaftar SMP, enam orang diantaranya bahkan merupakan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Selain tidak sempurna secara fisik, sebagian siswa merupakan slow learner.

"Kebanyakan anak-anak yang masuk ke sekolah kami memang memiliki keterbatasan, baik secara ekonomi maupun fisik. Ini sudah sejak lama terjadi di sekolah ini. Untuk tahun ini yang masuk SMP merupakan anak-anak lulusan SD Bangirejo karena sekolah itu memang fokus untuk ABK," ungkap Kepala SMP/SMA Gotong Royong Yogyakarta, Amelita Tarigan saat ditemui di sekolah setempat, Jumat siang.

Amelita mengaku sering tidak paham kenapa anak-anak tersebut memilih sekolahnya untuk belajar. Padahal dilihat dari bangunan dan fasilitas, sekolah tersebut terlihat tidak layak untuk belajar. Dari enam kelas , lima diantaranya dalam kondisi rusak sehingga hanya satu kelas yang bisa digunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM). 

Dari sisi luar pun, sekolah yang berbatasan dengan salah satu perumahan ini tidak terlihat laiknya sekolah-sekolah pada umumnya yang memiliki lapangan besar. Sedangkan di sisi belakang, sekolah tersebut berada tepat di samping kawasan pemakaman warga setempat. 

Namun segala keterbatasan tersebut alih-alih membuat warga sekolah putus asa untuk belajar namun justru jadi penyemangat untuk terus memberikan layanan pendidikan semaksimal mungkin. Termasuk memberikan keleluasaan pada siswa yang tidak bisa maksimal dalam belajar daring karena keterbatasan gadget yang dimiliki orangtuanya.

Baca Juga:Asri tapi Rada Creepy, Warganet Ini Pamer Homestay Impiannya di Jogja

"Saat saya tanya, mereka jawabnya mau bersekolah yang menerima kondisi mereka apa adanya. Tidak ada yang membully meski mereka punya keterbatasan," ungkapnya.

Amelita mengakui, sekolah tidak pernah membatasi siswa dari latar belakang apapun untuk belajar di sekolah tersebut. Justru sekolah itu mempersilahkan siswa dari keluarga miskin seperti pemegang kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Menuju Sejahtera (KMS) ataupun Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk  mendaftar. 

Bagi siswa miskin yang tidak mempunyai semua kartu itu pun bisa ikut mendaftar. Tidak ada biaya administrasi selain biaya ujian yang bisa dicicil hingga lulus. 

Untuk mencukupi semua kebutuhan sekolah, selain hanya mengandalkan donatur, sekolah tersebut juga mendapatkan dana BOS atau BOSDa sesuai jumlah siswa yang bersekolah. Termasuk dalam menggaji 12 guru honorer mereka.

Karenanya sistem zonasi ataupun usia yang banyak menjadi pro kontra tidak berlaku di sekolah tersebut. Amelita meyakini sekolah itu punya pangsa pasar peserta didik sendiri.  Toh siswa yang punya kemampuan finansial tidak akan memilih sekolah tersebut untuk melanjutkan pendidikannya.

"Sekolah kami hanya punya satu guru PNS, 12 orang lainnya merupakan guru honorer yang mendapatkan insentif dari pemerintah Rp 500 ribu potong pajak per bulannya. Kekurangannya ya kami usahakan sendiri seperti dari donatur dan lainnya," jelasnya.

Ditambahkan Waka Kurikulum SMP/SMA Gotong Royong, Yitro Dewantoro, selama masa pandemi COVID-19 ini, para siswa yang diharuskan belajar daring sering mengalami kesulitan belajar. Bukan karena kemampuan akademik namun karena minimnya fasilitas gadget yang dimiliki siswa untuk belajar daring.

"Ada satu siswa kami yang harus berbagi handphone dengan tiga saudaranya untuk belajar daring sehingga seringkali terlambat mengerjakan tugas. Hal ini yang sering jadi kendala namun kami tidak ingin mempermasalahkannya," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak