SuaraJogja.id - SD Negeri Wonolagi yang terletak di Kepanewonan Playen, Gunungkidul kondisinya cukup miris. Selama bertahun-tahun sekolah yang dekat berada di daerah terpencil ini kerap kekurangan murid.
Kepala Sekolah SD Wonolagi, Karitas Marsudi Yanti menuturkan, letak SD N Wonolagi memang berada di daerah terpencil, di perbatasan Kabupaten Bantul dan Gunungkidul tepatnya di Padukuhan Wonolagi Kalurahan Ngleri Kepanewonan Playen. Untuk menuju ke kantor Panewu Playen maka harus menempuh jarak belasan kilometer.
"Ke Balai Desa Ngleri saja jaraknya 5-6 kilometer melalui hutan kayu putih yang sangat luas,"ujarnya, Kamis (17/7/2020).
Sebenarnya, letak dari SD ini lebih dekat ke Kepanewonan Patuk. Karena hanya melewati sungai Oya dengan pertolongan Jembatan Gantung yang baru beberapa bulan berdiri.
Baca Juga:Aksi Nakal Pabrik Tahu Gunungkidul, Diam-Diam Buat Saluran Limbah ke Sungai
Padukuhan Wonolagi sempat terisolir selama 2 tahun karena jembatan penghubung antara Kepanewonan Patuk dengan padukuhan tersebut terbawa arus sungai ketika badai cempaka melanda kawasan ini.
Untuk menuju ke Dusun Wonolagi sebenarnya ada tiga akses yang bisa dilalui oleh warga. Akses utama adalah melalui jalan Ngleri-Wonolagi, di mana jalan ini jaraknya mencapai 6 kilometer masing-masing 4 kilometer jalan beraspal halus dan sisanya corblok kiri kanan dengan kondisi licin ketika musim hujan.
"Kalau lewat Ngleri nanti harus melalui hamparan hutan dan pegunungan yang cukup jauh. Jalannya sangat sepi dan terdekat lewat jembatan praon,"ujarnya.
Akses yang kedua adalah melalui Desa Wisata Jelok yang berjarak sekitar 3-4 kilometer. Jalan melalui Jelok tersebut sebenarnya sudah mudah karena berupa cor blok. Namun kondisi jalannya diwarnai dengan turunan terjal sehingga perlu kehati-hatian untuk bisa melalui jalan tersebut.
Tahun ini, mereka hanya mendapat dua orang siswa sementara tahun sebelumnya sama sekali tidak mendapatkan siswa dalam PPDB. Total saat ini tercatat SD Wonolagi hanya memiliki 13 siswa dari kelas 1 sampai kelas 6. Untuk kelas 1 ada dua orang siswa, kelas 2 sama sekali tidak ada siswanya, kelas 3 hanya 4 orang siswa, kelas 5 ada 4 siswa dan kelas 6 tidak ada siswanya.
Baca Juga:Liburan di Pantai Gunungkidul, Erix Soekamti Dimasakin Koki Level Nasional
"Sejak didirikan tahun 1980 yang lalu hingga saat ini, pihak sekolah baru mengeluarkan nomor induk siswa (NIS) sebanyak 163. Kami baru meluluskan 150 siswa. Artinya jumlah siswa di sini memang sangat minim," tuturnya.
Ia menambahkan, karena jumlah siswanya sangat minim maka saat ini jumlah guru dan karyawannya juga sangat sedikit. Selain kepala sekolah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, di sekolah ini juga ada 2 lagi Guru PNS yang berasal dari Kabupaten Sleman dan Kepanewonan Patuk, dan orang guru Pengganti berasal dari Kalurahan Ngunut dan Guru Agama yang berasal dari Kepanewonan Paliyan.
Sekolah ini sebenarnya berada di tengah-tengah pemukiman. Namun karena letaknya jauh dari Dusun yang lain sehingga fasilitasnya sedikit tertinggal. Selain dari pemerintah, SD ini juga banyak terbantu dengan seringnya komunitas mahasiswa yang perduli dan memberikan bantuan peralatan sekolah.
Karena jumlah siswanya yang sangat minim, maka dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang mereka terima juga sangat minim. Dengan alokasi Rp800 ribu per siswa untuk setiap tahunnya, maka dana BOS cukup sedikit. Sebagian besar untuk pengadaan buku paket para siswa.
"Untuk bikin laporan saja habis itu,"seloroh Wanita yang juga menjabat Kepala Sekolah SD Ngleri ini.
Untuk pengadaan alat lain seperti kertas, pengadaan tinta printer dan beberapa kebutuhan lain, para guru yang berstatus PNS seringkali merogoh kocek mereka sendiri. Kedua guru yang berstatus PNS memang sering dengan sukarela mengambil sebagian gajinya untuk membantu operasional sekolah.
"Itu sukarela, tidak ada paksaan. Justru atas kesadaran sendiri, pokoknya kami bekerja dengan hati,"tambahnya.
Di masa Pandemi Covid19 ini, pihaknya tetap melaksanakan program Belajar Dari rumah (BDR). Padahal sejatinya jumlah siswanya cukup minim dan jarak antara sekolah dengan rumah siswa paling jauh hanya puluhan meter. Namun mereka tetap melaksanakan pembelajaran dengan sistem daring.
Pegawai Pengganti SD Negeri Wonolagi, Tri Haryatun (37) menuturkan, dirinya adalah warga asli Wonolagi yang diminta membantu tugas di SD Wonolagi. Tri Haryatun adalah warga setempat yang juga merupakan lulusan SD Negeri ini sangat paham dengan kondisi SD ini. Karena jumlah muridnya yang sangat sedikit, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dikpora) Gunungkidul berencana melakukan regrouping dengan SD yang lain di tahun 2014.
"Dua tahun kami dilarang menerima siswa baru. Artinya kan mau ditutup,"tutur pegawai yang melakukan berbagai tugas tersebut.
Tahun ajaran 2014/2015 dan 2015/2016, SD Negeri ini dilarang untuk menerima siswa baru. Namun tahu 2016 lalu, ketika Gubernur DIY Sri Sultan HB X berkunjung untuk meresmikan kampung KB di Wonolagi, kebijakan tersebut berubah.
Sultan meminta agar rencana regrouping tersebut dibatalkan dan SD Negeri Wonolagi harus tetap ada. SD Negeri Wonolagi harus tetap beroperasi berapapun siswanya. Sebab, SD ini keberadaannya sangat penting bagi Dusun Wonolagi. Sejak saat itu, SD Wonolagi kembali menerima siswa baru meskipun jumlahnya sedikit.
Sultan meminta agar SD Wonolagi harus berdiri selama Dusun Wonolagi ada. Padahal jumlah penduduk di Dusun Wonolagi juga terhitung sedikit. Di dusun ini ada sekitar 47 rumah yang didiami oleh 67 Kepala Keluarga. Wajar jika jumlah anak-anak di Dusun tersebut sangat sedikit dan siswa di sekolah ini juga minim.
Dusun ini juga termasuk kategori miskin karena dari 67 KK yang ada, ternyata hanya 5 KK yang tidak berhak mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) atau tidak masuk dalam kategori Keluarga Miskin.
Kontributor : Julianto