Kisah Jumidah 23 Tahun Tempuh Ratusan Kilometer Demi Didik Siswa Wonolagi

Jumidah mengajar di SD Wonolagi sejak November 2011

Galih Priatmojo
Jum'at, 24 Juli 2020 | 08:43 WIB
Kisah Jumidah 23 Tahun Tempuh Ratusan Kilometer Demi Didik Siswa Wonolagi
Guru SD Wonolagi, Jumidah puluhan tahun tempuh ratusan kilometer untuk mengajar siswa Wonolagi. [Kontributor /Julianto]

SuaraJogja.id - Jumidah (51) guru kelas 1 SD N Wonolagi ini menyimpan perjuangan luar biasa untuk tetap bisa melaksanakan kewajibannya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah hampir 23 tahun ini ia pulang pergi dari seputaran kantor TVRI Yogyakarta di jalan Magelang tepatnya di Jalan Mataram Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman.

Bagaimana tidak, hampir setiap hari ia harus menempuh perjalanan puluhan kilometer menembus dinginnya pagi untuk sampai ke SD N Wonolagi yang letaknya cukup terpencil di Padukuhan Wonolagi Kalurahan Ngleri Kepanewonan Playen Kabupaten Gunungkidul. Belum lagi kalau hari hujan, tentu perjuangannya bertambah berat.

Jumidah sendiri setiap hari berangkat pukul 05.00 WIB dari rumahnya. Ia harus menyiapkan segala kebutuhan anak-anak dan suaminya sejak pukul 03.00 WIB. Sebelum sholat subuh, ia harus sudah mandi dan berdandan pakaian seragam untuk berangkat ke sekolah. Selepas subuh, ia sarapan kemudian memanasi motornya.

Sekitar pukul 05.00 WIB, ia berangkat menggunakan sepeda motor. Menyusuri jalan ringroad utara ke barat melewati Ringroad barat kemudian Ringroad Selatan sebelum akhirnya sampai di terminal Giwangan. Ia kemudian menitipkan sepeda motornya di tempat penitipan yang sudah menjadi langganannya.

Baca Juga:Jadi Dokter Palsu, Pensiunan BUMN Ini Kelabui Ratusan Warga Gunungkidul

"Di terminal saya nitip motor. Ongkosnya sehari Rp 3 ribu,"ujar Jumidah ketika ditemui di sekolahnya, Jum'at (24/7/2020).

Dari terminal ia harus berganti menggunakan bus umum Jurusan Jogja-Wonosari. Lagi-lagi ongkos harus ia keluarkan Rp.10.000 untuk sekali jalan sampai di perempatan Patuk Kepanewonan Patuk Gunungkidul. Selama hampir 1 jam, ia menikmati goyangan bus Jogja-Wonosari yang armadanya rata-rata sudah berusia lanjut.

Di dalam bus itu terkadang ia gunakan untuk memejamkan mata, mengobati kantuknya yang telah terampas karena bangun jam 2.00-3.00 dinihari. Begitu sampai di perempatan Patuk, Kernet Bus yang menjadi langganannya langsung membangunkannya. Iapun langsung turun mengambil sepeda motor yang telah ia titipkan di tempat penitipan motor langganannya.

"Jadi saya ada dua motor. Satu di Giwangan dan satu di Patuk,"ungkapnya.

Untuk di tempat penitipan sepeda motor Patuk, ia membayar Rp 40.000 selama 1 bulan. Dari tempat penitipan sepeda motor di perempatan Patuk, ia meneruskan perjalanan sekitar 5 kilometer menuju ke SD tempatnya mengajar. 

Baca Juga:Jelang Pilkada, PDIP Gunungkidul Mulai Retak

Beruntung sekarang sudah ada jembatan Praon yang melintas di atas sungai Oya yang menghubungkan kepanewonan Patuk dengan Playen, sehingga perjalanannya lebih singkat. Namun tahun lalu, selama hampir 2 tahun ia harus memutar perjalanan lebih jauh 7 kilometer karena jembatan Praon ambruk diterjang arus sungai ketika terjadi badai.

"Saya di sini sejak (SD Wonolagi) sejak November 2011,"ceritanya.

Dia menjadi guru sejak tahun 1998 yang lalu. Sebelum ditempatkan di SD Wonolagi, ia sudah bertugas di SD Tambakromo Kepanewonan Ponjong. Selama 12 tahun ia menempuh perjalanan ratusan kilometer untuk sampai ke SD Tambakromo. Ia juga sempat bertugas selama 1 tahun di SD N Gading Asri yang juga ada di Kepanewonan Playen.

23 tahun ia menikmati perjalanan puluhan hingga ratusan kilometer untuk tetap bisa mengajar. Berbagai pengalaman ia dapatkan mulai dari ban bocor sehingga harus menuntun sepeda motornya cukup jauh. Pengalaman paling membekas di hatinya adalah ketika pulang dalam keadaan larut dalam kondisi hujan lebat dan listrik mati.

"Terkadang saya harus nginep di sekolahan kalau situasi tidak memungkinkan untuk pulang. Karena semua sekolah tempat saya mengajar kecuali Gading Asri semuanya di pelosok. Jalannya sulit dan jauh,"tambahnya.

Meskipun jauh dan terkadang berat, ia mencoba menikmatinya. Ia mengaku sangat mencintai anak didiknya dan ingin melihat mereka berhasil suatu hari nanti. Ia bahkan rela menyisihkan gajinya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk membantu operasional sekolah karena termasuk sekolah yang kekurangan murid. Seperti di SD Wonolagi, sangat kekurangan murid sehingga semua Guru PNS di sekolah itu rela menyisihkan gajinya untuk operasional sekolah.

"Sampai di sekolah sebenarnya lelah. Kalau sudah lihat anak-anak lelah saya hilang. Sampai rumah jam 17.00 WIB. Dinikmati saja,"katanya sembari tersenyum.

Kontributor : Julianto

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak