Tahun 1990-an, destinasi wisata yang bersebelahan dengan Kali Gajah Wong itu hanya sebuah tebing yang ditanami pohon pisang dan rumput-rumput liar. Selokan sepanjang lebih kurang 80 meter itu sudah ada sebagai irigasi sawah masyarakat di wilayah Bantul yang berbatasan dengan Kota Yogyakarta.
Agus menerangkan, tidak ada pikiran masyarakat kala itu untuk memanfaatkan lahan tak terpakai tersebut untuk kepentingan bersama. Bahkan, lokasi berubah parah ketika Yogyakarta dilanda gempa pada 2006 silam.
![Penggagas Komunitas Bendhung Lepen, Agus Susilo dan anaknya Yan Aditya Pradana Putra saat ditemui wartawan di Kampung Mrican, Giwangan, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, Rabu (19/8/2020). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]](https://media.suara.com/pictures/original/2020/08/26/75526-penggagas-bendhung-lepen.jpg)
Sejumlah tebing mengalami longsor, sebagian tanaman pisang mati. Selain itu, selokan juga tidak terurus, hingga menjadi kawasan kumuh.
Warga juga belum berencana memperbaiki, karena beranggapan lebih baik menata tempat tinggal yang terdampak gempa dahsyat. Kondisi seperti itu terbengkalai sampai 10 tahun lamanya.
Baca Juga:Ditanya Soal Tamu dari Jakarta di Jogja, Begini Jawaban Santai Zaskia Mecca
Lantaran kumuh dan tak terurus lokasi tersebut kemudian menjadi tempat masyarakat sekitar membuang limbah rumah tangganya. Sampah pun berserakan.
Belakangan, lokasi tersebut mendapat perhatian dari Pemkot Yogyakarta. Dalam program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) pemerintah mengambil langkah dengan membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada 2015. Alasannya satu, agar kebiasaan masyarakat tak membuang sampah sembarangan perlahan hilang.
Tebing yang tak simetris akhirnya dibenahi. Pemkot membangun gazebo serta bangunan berteduh yang bisa digunakan masyarakat untuk menghabiskan waktu sore bersama anak atau keluarganya.
"Yang dibenahi hanya tanah yang ada di bawah selokan. Namun selokan hanya dibiarkan dan kadang banyak sampah yang hanyut. Sampai-sampai sampah berupa kotoran hewan dan manusia sering lewat di selokan itu," kata Agus sambil tertawa geli.
Keberadaan RTH itu perlahan menggugah kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga lingkungannya. Selokan yang sebelumnya tak dianggap, mulai dibersihkan. Keinginan itu muncul saat masyarakat mulai risih karena banyak sampah yang hanyut di sekitar selokan.
Baca Juga:Rindu Kuliner Jogja, Coba di Rumah Resep Gudeg Nangka Ini
"Rasanya tidak nyaman, jadi saat bersantai di gazebo di selokan malah yang lewat kotoran. Melihat banyak 'sampah' yang mengganggu seperti itu, langsung kami bersihkan," tambah Agus.