SuaraJogja.id - Pakar hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Laurensia Andrini, menegaskan bahwa royalti lagu merupakan bagian dari hak moral sekaligus hak ekonomi yang melekat pada setiap pencipta karya musik.
Menurutnya, hak moral berkaitan dengan pengakuan terhadap pencipta lagu.
Karena itu, lirik lagu tidak boleh diubah, dipelesetkan, atau dipotong tanpa izin.
Sementara itu, hak ekonomi berhubungan langsung dengan royalti yang wajib diterima pencipta ketika lagunya diputar di ruang publik maupun ditampilkan dalam pertunjukan.
Baca Juga:Erix Soekamti, dari Panggung Musik ke Lapangan Padel: Gebrakan Baru untuk Olahraga Jogja?
Laurensia menjelaskan, polemik mengenai royalti muncul karena masih banyak musisi yang belum menerima hak mereka meski karya-karya sudah sering digunakan di berbagai tempat umum.
Masalah Royalti Lagu di Indonesia
Ia menilai persoalan utama royalti muncul dari dua sisi, yaitu, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang dinilai kurang transparan.
Kedua, pelaku usaha yang masih minim kesadaran untuk membayar royalti.
"Permasalahan ini bersifat sistemik. Kurangnya transparansi bisa terjadi karena tidak ada mekanisme yang jelas, sementara sebagian pengguna tidak menganggap pembayaran royalti sebagai kewajiban," jelasnya dikutip Minggu (24/8/2025).
Baca Juga:Bikin Event Pakai Musik? Hotel dan EO Wajib Tahu Aturan Ini Kalau Tak Mau Terancam Sanksi
Aturan Hukum Tentang Royalti Lagu
Laurensia menyebutkan bahwa pemerintah telah mengatur pengelolaan royalti lagu melalui sejumlah regulasi, antara lain:
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021
Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025 tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan/atau musik
Sejak 2016, tarif dan mekanisme pembayaran royalti telah ditetapkan.