Kemudian, hal menarik lainnya film ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Bu Tejo adalah hal yang benar. Karena kemudian, Dian berrelasi dengan mantan suami Bu Lurah. Dimana calon suaminya berhadapan dengan anaknya dan Bu Lurah adalah sosok yang diserang.
Pada relief Candi Borbobudur yang menggambarkan kegiatan ghibah, orang-orang yang melakukan hal tersebut secara agama berada dalam strata moral terendah. Dalam agama apapun juga, ghibah diletakkan dalam level terendah.
Umur ghibah sendiri menurut Aris sudah ada sejak ribuan tahun lamanya. bahkan mungkin sebelum adanya agama di muka bumi ini sudah ada kegiatan ghibah. Hal tersbeut membuatnya bertanya, kenapa ghibah masih terus hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
Mengutip pernyataan seorang tokoh, Aris mengartikan, bahwa ghibah atau rasan-rasan adalah sebuah keresahan oleh orang-orang tertindas. Namun, pendapat menarik lainnya juga menyebutkan, bahwa ghibah adalah senjata untuk melawan kaum yang lemah.
Baca Juga:Kadispar Gunungkidul Ungkap Tantangan Kelola Wisata di Era New Normal
"Ghibah selalu muncul dalam konteks persaingan, dan itu artinya ada persaingan tapi tidak ada jalan keluarnya secara langsung," tukasnya.
Selanjutnya, Direktur Impulse Yogyakarta, Gutomo Priyatmono menyampaikan bahwa ia melihat adanya dualisme kelas dalam tayangan berdurasi 32 menit tersebut. Yakni, adanya orang yang dipanggil 'bu' atau 'jeng' dengan orang yang dipanggil 'Yu'.
Dalam perspekstif Marxis secara klasikal, terlihat adanya stratifikasi atau pengkastaan. Dimana ada yang lebih tinggi dan lebih rendah. Oleh karena itu dicantumkan dalam film itu dimana Bu Tejo sebenarnya enggan naik truk dan tidak mau bantu mendorong saat mogok.
"Digambarkannya ada ekslusifitas yang dimiliki oleh Bu Tejo dan semakin nyata sekali saya tidak melihat Bu lain untuk bu yang lainnya," ujar Gutomo menambahkan.
Namun, film ini juga seolah menyanggah teori James Scott mengenai tidak adanya lawan yang tertandingi. Sementara dalam masyarakat Jawa Gutomo melihat adanya lawan dimana-mana bahkan bisa berposisi sebagai kawan.
Baca Juga:Era Adaptasi Kebiasaan Baru, Wisawatan Sleman Perlu Daftar Online
Hal menarik lainnya, keberadaan masyarakat komutarian ini. Gutomo mengatakan jika teori-teori dari barat bisa tidak berguna atau disanggah oleh keberadaan masyarakat komutarian. Seperti negara Jepang dan Korea yang dulunya komutarian, bisa menjadi sangat maju setelah meninggalkan komutarian.
Berbeda pendapat dengan Aris, Gutomo menganggap bahwa dalam film Tilik ini yang diserang adalah normalitas. Dimana kondisi Bu Lurah dinilai tidak normal, yakni sebagai sosok orangtua tunggal yang memiliki jabatan kepemimpinan.
Oleh karena itu, terjadilah penyerangan kepada Bu Lurah. Bukan karena ia pihak yang lemah namun karena ia adalah sosok yang tidak normal. Munculnya, Dian di scene terakhir bersama mantan suami Bu Lurah juga dilihat sebagai penyerangan kepada sosok laki-laki yang dinilai tidak bertanggungjawab.
Dari judulnya sendiri Gutomo melihat pentingnya tilik dalam menggambarkan komunalitas yang nyata. Di sisi lainnya, semakin nyata komunalitas justru menunjukkan ketidakberadaan pemerintah untuk masyarakat.
"Karena dulu negara itu bersifat menghisap rakyatnya, maka dibutuhkan pertolongan dari komunalnya, dan mudah-mudahan dengan adanya BPJS ini fenomena tilik akan pelan-pelan menghilang," tukas Gutomo.
Terakhir, Gutomo mengistilahkan film ini selayaknya gado-gado yang disajikan dalam satu piring. Dimana terlihat ada banyak hal yang disajikan dalam satu tayangan yang harus dicerna bersama-sama pula. Meskipun akhirnya tidak bisa dirasakan secara pasti apa yang dikonsumsi.