SuaraJogja.id - Sahabat Cempluk, dua kata ini mungkin terdengar menggemaskan bagi Anda yang baru mendengarnya. Namun di balik namanya yang menggemaskan, Sahabat Cempluk menjadi wadah bagi siapapun yang ingin lebih memahami apa itu penyakit Lupus.
Sahabat Cempluk adalah sebuah komunitas Orang dengan Lupus (Odapus) asal Yogyakarta. Digagas oleh tiga orang, komunitas ini terbentuk enam tahun lalu pada 2014.
Awalnya, komunitas ini bernama Sahabat Kupu, yang diambil dari salah satu gejala pada odapus dalam masa flare atau kondisi saat pasien lupus mengalami kekambuhan.
Masa ini biasanya ditandai dengan munculnya butterfly rash, ruam kemerahan di batang hidung dan melebar hingga kedua pipi. Gambaran dari ruam ini terlihat seperti sayap kupu-kupu.
Baca Juga:Lebih Dekat dengan Vero, Sosok Inspiratif di Balik Tempat Nasi Gratis Jogja
Inilah sebabnya sebagian besar komunitas autoimun Lupus di seluruh dunia menggunakan logo kupu-kupu dan menjadikan 'kupu' sebagai identitas mereka.
Hingga akhirnya Ian Sofyan, sebagai penggagas yang hingga kini masih aktif, memutuskan mengubahnya menjadi 'Sahabat Cempluk' pada 2017. Alasannya memilih ciri khas ini agar mudah dikenali di antara 'kupu' yang lain.
'Cempluk', yang dalam Bahasa Jawa berarti tembam, merupakan ciri khas lain dari Lupus. Ini adalah efek samping akibat konsumsi steroid dalam dosis tinggi.
Komunitas ini juga memiliki karakter anak perempuan bernama 'Cempluk' yang digambarkan sabagai gadis kecil dengan pipi tembam serta imut. Tokoh utama ini sudah dibuat dalam bentuk video sebagai media informasi mengenai Lupus.
Karakter Cempluk yang lucu ini juga diharapkan dapat membawa kegembiraan bagi odapus yang merasa kurang percaya diri dan minder akan penampilannya.
Baca Juga:Wadah Baru Bagi Komunitas Perupa Jakarta di Pasar Gembrong Baru
Mengedukasi, mendampingi, dan membantu memberi akses
Salah satu penggagasnya, Ian Sofyan, mengatakan Sahabat Cempluk dibangun atas dasar keinginan untuk mengedukasi pasien Lupus mengenai penyakitnya. Tidak hanya itu, ia dan ketiga temannya juga ingin membesarkan hati pasien untuk menerima kondisinya.
"Lupus itu proses penyembuhannya lama, musti telaten, itu yang kemudian kita perlu informasikan kepada pasien. Bersama teman-teman, kita membuat Sahabat Kupu. Kita juga mendampingi pasien anak dan keluarganya di rumah sakit," tutur Ian, yang juga mengidap lupus dari 1998 silam.
Ia kemudian bercerita mengenai tantangan terberat yang dialami odapus, terutama dalam masa terberat pasien ketika mengalami kekambuhan yang parah. Tidak hanya secara fisik, pada masa ini seorang odapus juga mengalami mental breakdown.
"Kami mendampingi untuk itu sebenarnya, membesarkan hati pasien. Berbagi pengalaman dari sesama penyintas tentang apa yang dirasakan, secara fisik maupun psikis. Menjadi role model satu sama lain. Semua bisa saling meotivasi dan saling mengisnpirasi," sambung perempuan 48 tahun ini saat Suarajogja.id bertandang ke kediamannya, Rabu (26/8/2020).
Sahabat Cempluk juga aktif memberi informasi melalui media sosial dan video yang diunggah di kanal YouTube Sahabat Cempluk. Proses kreatifnya juga dibarengi dengan berkonsultasi dengan dokter pemerhati Lupus. Informasi yang dibawakan dikemas secara lebih ringan sehingga mudah dipahami, baik bagi penyintas Lupus maupun masyarakat umum.
Melanjutkan sekolah bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pasien, terutama dengan perubahan penampilan dan penurunan kemampuan fisik saat pasien Lupus sedang flare. Selain harus bolak-balik izin sekolah, odapus juga harus beristirahat dalam jangka waktu cukup lama.
Agar Sahabat Cempluk mendapat dukungan di sekolah mereka, komunitas ini membuat program Cempluk Goes To School, yang mereka jadikan wadah untuk mengedukasi teman dan guru, agar para odapus mendapatkan dukungan yang cukup sehingga tetap semangat bersekolah.
Hingga kini, ada sekitar 150 lebih odapus yang tergabung di Sahabat Cempluk, mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang berobat di RSUP Dr. Sardjito. Bahkan, beberapa di antaranya berasal dari Riau dan Batam. Ada juga odapus yang tidak berobat di Jogja namun tetap bergabung untuk bisa berbagi beban dan sharing.
Meski belum memiliki rumah singgah atau transportasi pribadi, Sahabat Cempluk bekerja sama dengan beberapa rumah singgah yang juga membantu dalam penyediaan transportasi gratis bagi odapus untuk periksa. Ini penting karena 70 persen odapus di Sahabat Cempluk berasal dari luar Jogja.
Di luar itu, komunitas ini membantu dalam pengadaan obat dan vitamin, baik dalam hal ketersediaan ataupun potongan harga khusus.
"Jadi biasanya kita berhubungan dengan Lazismu, dengan komunitas-komunitas lain, kita minta bantu di sana. Lalu gimana kondisinya buruk? Yang kita bantu akses obatnya. Apabila ada obat yang tidak tersedia di daerah pasien, Cempluk juga siap membantu mereka dengan mengirimkan obat," ujar Puput Aryana, yang sudah dua tahun menjadi pengurus di Sahabat Cempluk.
Terjadinya pandemi Covid-19 ini sangat memengaruhi layanan-layanan ini. Ada masa di mana transportasi gratis ini terhenti. Selain langka, biaya untuk akomodasi ke Jogja juga menjadi mahal. Sahabat Cempluk membantu dengan memberi subsidi agar mereka bisa berobat.
Komunitas ini didukung oleh dokter yang merawat pasien odapus, khususnya di Divisi Alergi dan Imunologi Anak di bawah komando dr.Sumadiono SpA(K). Kondisi mereka tetap bisa diatasi dengan cara kretif untuk memastikan pasien tetap terpantau dan terkontrol kondisinya.
"Kebetulan dokter-dokter bersedia berkonsultasi dengan teman-teman lewat WhatsApp. Jadi kesulitan-kesulitan selama pandemi ini lebih terlihat," sambung gadis 24 tahun ini.
Mereka juga memiliki sebuah wadah konsultasi dan diskusi para odapus di seluruh daerah tentang Lupus dan autoimun secara live streaming maupun Zoom dengan pada dokter, yakni Talk Talk Cempluk. Untuk program ini, mereka bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) chapter Yogyakarta dan Sarjito Lupus Centre.
Setahun sekali Sahabat Cempluk selalu mengadakan sebuah gathering bersama seluruh anggotanya. Tetapi, lagi-lagi karena pandemi, kegiatan yang dinamai Pajamas Party ini terganggu.
Acara tahunan ini biasanya diadakan bertepatan dengan Hari Lupus Sedunia, yaitu 10 Mei. Namun, dua tahun belakangan Pajamas Party diselenggarakan pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus.
"Tujuannya tentu saja biar semakin akrab dan dekat. Kalau biasanya ngobrol di grup, di acara inilah mereka bisa berjumpa. Acara diselenggarakan 2 hari satu malam. Selain bersenang-senang, kegiatan ini juga selalu memasukan kegiatan-kegiatan yang diharapkan bisa membantu teman-teman Cempluk move on dengan kondisiya," jelas Puput.
Kegiatan yang diadakan biasanya berupa grup diskusi, diskusi dengan dokter, belajar metode self healing, dan masih banyak lainnya.
"Tahun 2018 kita ngadainnya hipnoterapi, kita datangin yang profesional, tahun lalu, kita ngadain Yoga Ketawa. Output-nya mereka senang, sampai Pajamas Party adalah kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu," pungkasnya.
Terbentuknya Positive Mental Attitude
Ian Sofyan berkeinginan membuat Sahabat Cempluk sebagai pendukung dan penyemangat para odapus dalam setiap kondisi mereka, terutama di masa paling berat dalam hidup pasien.
Menurutnya, bantuan terbaik yang bisa diberikan adalah dengan membangun lingkungan yang bisa menumbuhkan mental positif dan berdaya, sehingga seburuk apapun kondisinya diharapkan odapus selalu bisa bangkit lagi, bergerak terus dengan 'new normalnya’ pada pengidap autoimun, seperti Lupus maupun yang lainnya.
"Aku pengin temen-temen punya positive mental attitude, karena itu yang paling utama untuk bisa sembuh, bisa mandiri. Temen-temen yang mau menerima kondisinya, dan mau belajar cara menerima kondisinya," tutur perempuan yang dulunya berprofesi sebagai penyiar radio ini.
Ibu dari satu anak ini mengatakan bahwa sistem dalam Sahabat Cempluk adalah pass by value. Maksudnya, odapus pada generasi sebelumnya menjadi contoh odapus baru, baik dalam hal pengalaman maupun semangat.
"Yang dulu disemangatin, yang dulunya terinspirasi, sekarang gantian jadi yang memberikan inspirasi dan memotivasi. Begitu terus siklusnya. Karena kondisi lupus sulit dijelaskan, sulit dipahami bahkan oleh odapus sendiri," jelas Ian.
Terkadang, lanjutnya, ada masa pasien merasa kesepian karena keluarga, pasangan dan lingkungan tidak memahami kondisi mereka. Dengan adanya teman-teman yang senasib, odapus bisa berbicara dan berbagai dengan sesama.
"Yang paling penting aku pengin Cempluk itu bisa mengajak temen-temen positif lagi. I think, itu sudah mulai terbentuk, belum semua, tapi sudah terjadi estafetnya, that's the most important, menurutku," lanjutnya lagi.
Tidak sekedar itu, Ian ingin Sahabat Cempluk memberikan dampak yang dapat bermanfaat untuk jangka panjang, apa pun bentuknya. Tujuannya agar pasien dapat bertahan dalam kondisi 'keterbatasan' mereka.
"Semangat, manfaat, berjuang"
Itulah tiga kata yang selalu Ian dan Puput, serta odapus di Sahabat Cempluk katakan. Mereka selalu menguatkan satu sama lain bahwa kehidupan seorang odapus akan baik-baik saja, bahwa masih ada harapan di depan mata mereka.
"Enggak papa. It's okay, kok. Nanti juga akan membaik. Kalau saat ini lagi belum bisa, harus bersabar karena ini long run, marathon," tutur Ian sambil tersenyum.
Sama halnya dengan Puput, yang selalu menguatkan pasien lain dengan memberi pesan agar tidak melulu galau akan kondisi mereka.
"Galau boleh, enggak papa. Dari galau itu kita belajar, habis ini kita mau ngapain? Hidup kita ini selanjutnya mau gimana? Gimana caranya, pasti kita bisa bermanfaat buat orang lain. Bukan berarti kita sakit, kita enggak bisa ngapa-ngapain," tandas Puput.