SuaraJogja.id - Wafatnya Jakob Oetama menjadi kabar duka bagi dunia pers Indonesia. Pendiri Kompas ini tutup usia di umur 89 tahun di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Kehilangan sosok pria yang mampu menghidupi keluarga besarnya sendiri, menjadi pukulan bagi kerabat-kerabatnya. Tak terkecuali saudaranya yang tinggal di Sleman, DI Yogyakarta.
SuaraJogja.id pun berkesempatan bertemu dengan salah seorang keponakan wartawan senior tersebut di Jalan Peltu Sugiyono, RT 1/RW 17, Desa Tridadi, Kecamatan/Kabupaten Sleman.
Yogi Hantara (53) yang merupakan keponakan Jakob Oetama mengaku mendengar kabar duka sekira tengah hari.
Baca Juga:Jakob Oetama Tutup Usia, Anak Guru di Sleman Lulusan Komunikasi UGM
"Saya dapat kabar pakde meninggal itu jam 13.15 wib. Tadi lewat grup WhatsApp keluarga," ujar Yogi membuka perbincangan dengan SuaraJogja.id.
Pamannya yang dia anggap banyak memberikan pelajaran hidup adalah sosok yang sederhana di matanya. Bahkan, pemilik Hotel Santika yang ada di Yogyakarta ini tak ingin dipandang terlalu tinggi. Jakob lebih memilih menjadi orang biasa.
"Pernah suatu hari saat beliau saya temani jalan-jalan di Malioboro. Kami naik becak, tapi sebelum naik beliau menawar. Akhirnya sepakat dan kita berangkat naik becak. Tetapi saat sampai tujuan, uang yang dibayarkan lebih, saya heran saat itu," kenang Yogi.
Awalnya dia bertanya-tanya, mengapa orang sekaya pamannya itu tetap menawar meski bisa membayar lebih. Namun setelah dia bertanya langsung, hal itu sengaja dilakukan karena Jakob ingin dilihat seperti orang biasa
"Saya tanya langsung, lho pakde, wong bayarnya juga segitu (lebih), kok tadi ndadak ditawar ki yo ngopo? Jawabannya sederhana, ya kalo naik becak mestinya kan ditawar, seperti orang-orang biasa," ujarnya sambil tertawa.
Baca Juga:Persis Solo Siapkan Laga Uji Coba, Lawan PSS Sleman Jadi Target
Tak hanya ingin dianggap seperti orang pada umumnya, Jakob juga dermawan ketika bertemu masyarakat yang ekonominya tak seberuntung dia.
"Selain itu saat makan soto bareng di wilayah Yogyakarta. Ada orang ngamen, yang makan di sana memberi uang kecil. Tiba giliran pakde, beliau memberi uang Rp50 ribu. Saya melihat pengamen ini langsung kaget dan sumringah," kata Yogi.
Yogi yang kerap menemani pamannya ketika berkunjung ke Kota Pelajar, mendapat banyak pelajaran hidup. Satu hal yang dia ingat bahwa Jakob bukan bekerja semata-mata untuk uang.
"Pakde memang tak pernah bekerja untuk cari uang. Tapi bekerja untuk orang banyak, itu adalah pesan yang disampaikan ke saya waktu itu," kenang Yogi.
Pupus impian jadi Romo
Sosok Jakob Oetama bagi saudara dan kerabatnya adalah pribadi yang penuh dedikasi kepada keluarganya. Pendiri Kompas itu bahkan rela melepas keinginan menjadi romo demi untuk menghidupi keluarganya.
"Jadi beliau pernah mengikuti seminari hingga lulus. Selanjutnya dia akan ditasbihkan untuk menjadi Romo. Namun saat itu dia memutuskan untuk tidak melanjutkan," terang Yogi.
Ia menjelaskan saat itu, pamannya memang memiliki saudara yang banyak. Yogi menyebut Jakob memiliki delapan adik yang masih harus dia urus waktu itu.
"Ceritanya memang tinggal sedikit lagi menjadi Romo. Tapi karena masih banyak saudara yang harus diayomi. Ia lebih memilih keluarga, hingga bisa menghidupi tak hanya keluarga tapi orang lain juga," jelas Yogi.
Dalam mengayomi pun Jakob juga membuat sebuah yayasan khusus yang bergerak di bidang pendidikan. Yayasan dibuat khusus untuk sanak keluarganya.
"Perlu kami sampaikan juga jika beliau membuat yayasan khusus untuk pendidikan bagi keluarga ini. Jadi jika kami ingin menyekolahkan anak misalnya, bisa membuat proposal untuk diajukan ke yayasan itu. Nanti pendidikan bisa dibiayai dari sana," ujarnya.
Lebih dari itu, Jakob juga kerap memberikan bantuan untuk mendorong perekonomian para kerabatnya.
"Jika dengan saudara, beliau ini bukan pelit ya, tapi memberi untuk kehidupan selanjutnya. Bukan sekadar memberi terus habis, tapi beliau memberi untuk jangka panjang. Karena tidak semua saudara beliau perekonomiannya baik," kata dia.
Yogi merupakan salah seorang keponakan yang dibantu tetap bertahan hidup. Pihaknya pernah meminta bantuan kepada Jakob namun diminta untuk membuat proposal membangun usaha.
"Jadi saya mengajukan proposal usaha, karena beliau memberi untuk jangka panjang. Maka dibantu membangun usaha dan awal usaha saya adalah resto yang ada di wilayah Mlati," jelas dia.
Jakob memang bukan dari keturunan pengusaha. Orang tua Jakob, kata Yogi merupakan guru. Namun begitu, Jakob dinilai merupakan orang yang cerdas dan lihai dalam mengambil langkah.
"Jadi beliau berpikir 10 langkah ke depan, lebih cepat dari orang pada umumnya. Waktu itu bisa dikatakan (orang) jenius," ujarnya.
Kehilangan sosok Jakob, Yogi menganggap pamannya seperti payung besar. Masalah yang dimiliki saudara atau kerabatnya, biasa didiskusikan kepada Jakob.
"Sangat baik mengayomi dan memayungi kami. Kepergiannya semoga menjadi inspirasi atas dedikasinya untuk orang banyak," kenang Yogi.
Yogi mengaku sudah 15 tahun tak pernah bertemu lagi dengan pamannya. Tahun 2005/2006 adalah waktu terakhir ia bertemu dengan Jakob.
Kakak Yogi, Eni Kusnawati (65) mengaku tak banyak berkomunikasi dengan pamannya. Kendati demikian anak pertama dari Prayogo ini tak menampik jika pamannya adalah tulang punggung keluarga yang gigih.
"Ya saya tak banyak komunikasi dengan beliau. Tapi sosoknya ini menjadi inspirasi oleh keluarga. Karena memang dia yang sangat baik dan mengayomi saudara-saudaranya," ujar Eni.
Baik Eni dan Yogi masih menyiapkan diri untuk pemakaman sang paman. Pemakaman sendiri rencananya dilakukan pukul 10.00 wib di Jakarta.
"Kami masih pikir-pikir untuk ke Jakarta karena situasi pandemi covid-19. Namun kami berupaya untuk mendoakan beliau agar tenang di sisi Tuhan dan dari apa yang dia hasilkan selama ini bermanfaat untuk orang banyak," timpal Yogi.