SuaraJogja.id - Siang itu cuaca di Kawasan Jalan Parangtritis terasa sangat menyengat di kulit saat seorang pria berjalan pelan memasuki ruang kerjanya di Kantor Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul.
Di lengannya menggantung sebuah tas slempang berwarna hitam. Sesaat ia mengendurkan peci yang menutup kepalanya. Sebelum duduk, ia sengaja menekan tombol on kipas angin lalu memutarnya dengan kecepatan level satu.
Sambil membenarkan letak pecinya, ia duduk di sofa paling ujung kiri. Pria berkacamata ini merupakan Kepala Desas setempat bernama Wahyudi Anggoro Hadi.
Di usianya yang sudah memasuki kepala empat, Wahyudi sudah menjalankan amanah sebagai kepala desa di tempat tinggalnya selama dua periode. Dalam kurun waktu tersebut, ada banyak penghargaan yang berhasil ia raih atas nama desa.
Baca Juga:Respon Isu Tsunami 20 Meter, BPBD Bantul Gelar Simulasi Penanganan Bencana
Nyaris putus kuliah
Wahyudi merupakan seorang sarjana farmasi, ia menyelesaikan pendidikannya di UGM pada tahun 2008. Butuh sebelas tahun untuk Wahyudi bisa menyandang gelar sarjana farmasi.
Lahir di tengah keluarga yang berkecimpung di dunia Kesehatan membuat Wahyudi akhirnya ikut memutuskan terjun dalam hal tersebut. Siswa lulusan SMU N Sewon ini memulai perjalanannya sebagai mahasiswa farmasi UGM tahun 1997.
Pada tahun tersebut, reformasi terhadap pemerintahan mulai digaungkan oleh masyarakat. Gerakan mashasiswa juga tengah berada di puncak gairahnya untuk mendorong pemerintah menggulingkan Presiden Soeharto setelah menjabat selama 30 tahun.
Wahyudi sendiri akhirnya ikut aktif dalam salah satu organisasi yang ada di universitas. Ia bergabung dengan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Aktif dengan kegiatan organisasinya, akhirnya membuat Wahyudi mengesampingkan kegiatan kuliah.
Baca Juga:Kaget, Pengendara Sepeda Motor Tabrak Kakek Naik Sepeda di Bantul
“Saya itu praktis masuk kuliah hanya tiga semester pertama, terus kemudian ada reformasi. Akhirnya sejak semester empat sampai semester delapan itu meninggalkan kuliah,” ujar Wahyudi.
Pada tahun 2004, pria kelahiran 24 Juli 1979 ini sempat mengajukan surat pengunduran ke fakultas. Karena saat itu maksimal mahasiswa harus lulus pada tahun ketujuh, Wahyudi lantas membuat surat pernyataan siap mengundurkan diri dari universitas jika pada tahun 2005 belum lulus.
Saat pergi ke fakultas untuk menyelesaikan proses pengunduran dirinya, ia sempat bertemu dengan dekan fakultasnya saat berniat mengambil transkip nilainya.
Banyak mengobrol dengan dekan yang menjabat saat itu, Wahyudi disarankan agar tidak perlu mengundurkan diri. Ia akhirnya membuat surat pernyataan diri yang ditulis tangan untuk segera membatalkan surat pengajuan pengunduran dirinya.
Setelah momen tersebut, butuh dua tahun untuk Wahyudi agar bisa menyematkan gelar sarjana farmasi. Ia mengaku berhasil lulus dengan IPK terendah. Meski demikian, beberapa tahun berselang ia berhasil menyabet penghargaan sebagai alumni berprestasi dari UGM.
Pada tahun 2016, Wahyudi menerima penghargaan sebagai alumni berprestasi dalam bidang budaya. Sedangkan tahun 2019, ia kembali menerima penghargaan sebagai alumni yang berprestasi di bidang pemberdayaan masyarakat.
“Setelah lulus itu memegang apotik tiga tahun,” imbuhnya.
Terpanggil mengabdi untuk desa
Lulus dari UGM, Wahyudi sempat bekerja sebagai seorang apoteker selama kurang lebih tiga tahun. Pada akhir tahun 2012 ia lantas mengundurkan diri dari profesinya untuk fokus bekerja sebagai kepala desa. Ada alasan tersendiri sehingga akhirnya Wahyudi memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin di tingkat kelurahan.
Ia mengaku jauh sebelum berniat mencalonkan jadi kepala desa, sudah cukup lama berkecimpung dalam kegiatan dan pengembangan di desanya. Selama delapan tahun ia berusaha menghidupkan kembali kampung dolanan di tengah masyarakat. Selain membutuhkan waktu yang lama, saat itu dampak yang diberikan juga tidak terlalu besar.
Berawal dari perjalanan kampung dolanannya itu, Wahyudi merasa bahwa pendekatannya yang berjalan dinilai kurang efektif. Untuk itu, ia mencoba peruntungan agar bisa melakukan pendekatan secara struktural, yakni dengan menjadi kepala desa. Menariknya, saat mencalonkan diri sebagai kepala desa, Wahyudi tidak memiliki modal besar di bidang material. Ia hanya membawa gagasan, niat yang tulus, dan modal sosial yang sudah dibangun selama delapan tahun.
Setidaknya dari perjuangannya di kampung dolanan, masyarakat memiliki referensi mengenai cara kerja dan sosoknya. Meletakkan semuanya dalam bentuk rekayasa sosial, Wahyudi tidak memasang target dalam pencalonan dirinya. Apakah dirinya terpilih atau tidak menjadi hal yang tidak penting, karena ia hanya berniat untuk mempengaruhi proses politik di desanya agar berjalan dengan baik.
“Kapasitas politik seorang pemimpin, itu tergantung dari proses politiknya. Kalau proses politiknya baik, itu dimungkinkan kapasitas politiknya dimungkinkan baik,” terang Wahyudi.
Bersihkan WC Kelurahan
Berhasil memenangkan kontestasi sebagai kepala desa, Wahyudi merasakan otoritas yang dimiliki bisa membawa hasil yang lebih besar dan cepat untuk masyarakat. Dengan jabatan yang ia miliki, Wahyudi kemudian coba membangun pola relasi antara negara dengan masyarakat.
Menurutnya, salah satu tugas negara adalah dalam pemenuhan hak-hak sipil warganya. Kemudian, bagaimana pemerintah mencukupkan kebutuhan warga negara dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Sebab, Wahyudi memandang jika relasi yang terjalin antara negara dan warga selama ini hanya sebagai hubungan administratif saja.
Hal pertama yang ia ubah dengan jabatan yang dimiliki, adalah pola relasi antara pemerintah desa dengan masyarakat. Ia mulai mengubah pola relasi tersebut dengan cara memperluas dimensi pelayanan dalam ruang pemerintahannya.
“Ketika seorang anak tidak bisa sekolah, ketika seorang ibu hamil tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan itu jadi urusannya negara,” ujarnya.
Tak hanya itu, cara dan kebiasaan usang yang sudah turun temurun di lingkungan kerjanya juga turut diubah.
Ia mengungkapkan pernah pada awal masa kepemimpinan sempat membuat heboh pegawai kelurahan lantaran selalu datang lebih pagi dan pulang lebih sore daripada karyawan lainnya. Tidak hanya itu, mantan ketua senat mahasiswa fakultas farmasi UGM ini bahkan tidak segan untuk turun tangan membersihkan WC atau toilet.
Hal tersebut ia lakukan untuk memberikan contoh keteladanan kepada anak buahnya. Dari hal-hal kecil untuk membangun keteladanan itu ia berharap bisa memupuk kepercayaan masyarakat kepada aparat pemerintahan.
Bagi Wahyudi, seorang pemimpin harus memiliki lima kemampuan dasar untuk bisa menjalankan pemerintahan dengan baik. Yakni, kapasitas regulasi, kapasitas ekstraksi, kapasitas distribusi, kapasitas responsif dan kapasitas jaringan yang kemudian dibingkai dengan keteladanan.
Sampai hari ini, Wahyudi masih dengan siap sedia membersihkan toilet jika ia melihat tempat tersebut dalam kondisi kotor.
Mantan Ketua Komisariat PMII Komisariat UGM ini menyampaikan cita-citanya agar desa menjadi tempat hidup yang layak dan bermartabat. Dimana setiap warga bisa merasakan hidup yang tidak hanya berorientasi pada materi.
Misalnya saja merasa hidup aman, relasi sosial yang baik, dan sebagainya. Wahyudi juga sempat menyampaikan, bahwa desa adalah masa depan dunia. Sebab, desa memiliki tiga komoditas penting yang dibutuhkan masyarakat di masa depan. Diantaranya adalah air yang bersih, udara yang segar, dan sumber pangan yang sehat.
Ia menilai jika tiga komoditas tersebut kedepannya akan menjadi sangat mahal. Ketika mampu menjaga tiga hal tersebut, sama dengan menjaga masa depan dunia.
“Paling berat itu kita harus mengucapkan sumpah. Diucapkan atas nama Tuhan, demi Allah saya bersumpah, Sudah tidak ada lagi yang perlu diperjuangkan selain menjalankan amanah,” tukasnya.
Bagi Wahyudi, mengucapkan sumpah untuk mengemban amanah sebagai seorang kepala desa merupakan hal yang paling sulit. Setelah mengucapkan sumpah untuk menjalankan amanahanya, Wahyudi merasa ada tali gantungan yang melingkar di lehernya. Saat ia berbuat salah atau tidak menjalankan amanahnya dengan baik, sama dengan ia menarik tali gantungan di kepalanya.
Sudah dua periode menjabat sebagai kepala desa, Wahyudi tidak pernah sedikitpun memiliki cita-cita untuk mengisi jabatan yang lebih tinggi. Jika ia saja merasa tali gantungan sebagai kepala desa sudah cukup berat, bagaimana ia berani mengambil tali gantungan yang lebih besar dan lebih tinggi.
Lockdown berbuah penghargaan
Enam bulan berjibaku dengan pandemi, Panggungharjo menerima penghargaan sebagai salah satu dari 21 desa paling responsif menghadapi pagebluk dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Wahyudi sendiri saat itu merasa terkejut lantaran pihaknya tidak pernah mendaftarkan desanya itu untuk mengikuti kompetisi apapun, tiba-tiba ia menerima pemberitahuan penghargaan tersebut.
Disinggung mengenai penanganannya terhadap pandemi Covid-19, Wahyudi menyebut sejak awal pemerintah mengumumkan adanya kasus pasien positif covid-19, ia lantas membentuk Satgas Penanganan Covid-19 atau yang akrab disebut tim Panggung Tanggap Covid-19 (PTC-19).
Saat terjadi kasus tiga orang positif pertama di desanya, Wahyudi lantas melakukan lockdown di dua Kawasan RT tersebut. Hal tersebut dilakukan tidak semata-mata untuk menurunkan resiko penularan, namun, juga untuk mencegah terjadinya kesenjangan sosial diantara masyarakat setempat. Pasalnya tiga orang pertama yang terpapar covid-19 di Panggungharjo merupakan seorang Nasrani. Wahyudi berfikir, jika mereka dibiarkan hanya isolasi sendiri, orang-orang itu akan menyandang dua status sebagai masyarakat yang termarjinalkan. Yakni sebagai non muslim sekaligus penderita covid-19 pertama di desa tersebut.
“Ketika dia itu covid, dia akan menyandang dua minoritas. Minoritas sebagai non-muslim dan minoritas penyandang covid. Sehingga kemungkinan untuk bergeser isu itu kan tinggi,” ujar Wahyudi.
Untuk mencegah terjadinya stigma yang melenceng, Wahyudi lantas melakukan karantina dua RT dalam kawasan tersebut. Dengan kebijakan itu, ia berharap masyarakat bisa saling merasakan beban satu sama lain. Meskipun dengan memberlakukan kebijakan itu, ada banyak hal yang juga harus ia penuhi. Salah satunya adalah kebutuhan pokok penduduk yang menjalani karantina selama 14 hari tersebut.
Platform dukung dan lapor
Sejak awal pandemi, PTC 19 sudah membentuk platform dukung dan lapor untuk penanganan covid-19. Melalui kanal dukung, penduduk bisa memberikan bantuan maupun dukungan untuk penanganan covid. Dari program dukungan itu juga Wahyudi akhirnya bisa memenuhi kebutuhan warga yang menjalani karantina.
PTC 19 sudah mulai bekerja dua minggu sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya kasus covid-19 pertama di Indonesia. Berbekal informasi dari berbagai pihak, Wahyudi mencoba mengambil langkah yang setidaknya bisa mencegah terjadinya penyebaran virus corona di wilayahnya.
Pada platform lapor, ia mengajak warga untuk secara aktif melaporkan kondisi kesehatannya. Dari situ, penduduk bisa dikategorikan sebagai tidak rentan, cukup rentan, rentan, dan sangat rentan. Setelah dikategorikan, masyarakat akan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhannya.
“Yang kita lakukan intervensi pertama memang dampak sosial, karena ada perubahan perilaku yang tentunya itu mensyaratkan pranata sosial baru,” terangnya.
Awalnya, Wahyudi menginisiasi untuk dilakukan dekontaminasi secara demonstrative untuk menggedor kesadaran masyarakat, bahwa mereka tengah berada di situasi krisis. Selanjutnya, ia mendorong masyarakat untuk melakukan pranata sosial baru untuk mengatur aktifitas-aktifitas yang bisa dilakukan seperti biasa dalam situasi pandemi.
Diantaranya mengatur tata cara bagaimana melakukan peribadatan, menerima tamu dan berkumpul-kumpul. Menurutnya, penting untuk membangun pranata sosial baru untuk menyesuaikan dengan kondisi yang saat ini. Ia menilai, hal tersebut lantas yang menyelamatkan mereka untuk tetap bisa hidup berdampingan tanpa adanya stigma atau resistensi dari masyarakat. Baik kepada warga yang terpapar covid-19, maupun pada prosesi pemakaman jenazah pasien covid-19.
Selain itu, Wahyudi juga melakukan mitigasi dari sektor ekonomi, sejak akhir Maret hingga awal April pihaknya sudah mendistribusikan lebih dari 2000 paket untuk masyarakat. Dimana tidak semua paket sembako itu berasal dari dana pemerintah. Ada juga yang berasal dari masyarakat melalui mode dukung. Dari mode tersebut juga, Wahyudi bisa memetakan berapa jumlah relawan aktif, dan jumlah masyarakat yang membutuhkan dukungan. Saat ini, ia sudah menghentikan pembagian sembako dari pemerintah desa, lantaran sudah banyak skema bantuan yang diberikan baik dari pemeritah daerah maupun pusat.
Setelah melalui enam bulan terkungkung pandemi, secara klinis Pemerintah Desa Panggungharjo fokus tiga hal. Yakni, merawat yang sakit, membantu keluarga pasien dan melindungi yang rentan. Ketika ada yang sakit, sebisa mungkin Wahyudi memastikan warganya itu langsung mendapatkan perawatan. Termasuk untuk kasus pasien positif covid-19 nomor 30 di desanya, pemerintah desa mengantar sendiri pasien ke tempat karantina. Ia melakukan hal itu dengan segala resiko yang mungkin dialami.
Pondok karantina dan pasardesa.id
Selanjutnya, melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Panggung Lestari pemerintah desa juga menyediakan tempat karantina sementara berupa homestay yang bisa disewa oleh masyarakat. Wahyudi menjelaskan jika sebagian warganya merupakan pendatang atau perantau. Sehingga ketika terjadi lockdown di beberapa wilayah, beberapa warganya yang merantau memilih pulang ke wilayahnya. Untuk mencegah terjadinya penolakan dari warga ketika ada pendatang, pihaknya menyewakan homestay murah untuk dijadikan tempat karantina sementara.
“Kita tidak mungkin memaksakan masyarakat untuk menerima,” imbuhnya.
Wahyudi mengakui bahwa saat ini masyarakat berada di situasi yang tidak mudah, begitu juga dengan pemerintah desa dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk mendistribusikan bantuan melalui Dana Desa. Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI) cabang Bantul sendiri sempat melakukan aksi protes lantaran merasa tidak mampu untuk melanjutkan distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa tahap 4, 5, dan 6. Namun, Wahyudi menilai jika hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah desa.
Ia bisa memahami ketika terjadi penolakan, karena desa sendiri kerap dijadikan tumpuan. Menurutnya, akan berbeda jika data masyarakat yang menerima bantuan sesuai dengan yang seharusnya.
Panggungharjo sendiri menjadi satu dari lima desa di Bantul yang mendistribusikan bantuan secara non tunai. Wahyudi menyampaikan, jika hal itu dilakukan untuk mengatur pemanfaatan bantuan. Dari sekian banyak warga miskin yang terdaftar dalam data, hanya sebagian saja yang lantas menerima bantuan.
Agar penerima manfaat dari bantuan tersebut lebih luas lagi, Wahyudi lantas memaksa masyarakat agar dana BLT hanya bisa dibelanjakan di warung-warung desa. Sehingga sebisa mungkin uang tersebut mengalir selama mungkin di desa.
Hal tersebut kemudian yang menjadi alasan pemerintah desa Panggungharjo membuat platform pasardesa.id untuk mempertemukan barang-barang yang tertahan di warung, dengan sebagian warga yang menerima bantuan. Cara itu juga bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya konflik atau kecemburuan sosial di tengah masyarakat.