SuaraJogja.id - Pakar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyu Yun Santoso menyampaikan pendapatnya mengenai UU Cipta Kerja dilihat dari perspektif Aspek Lingkungan Hidup. Setidaknya ada 7 poin kritis yang ia sampaikan dari draft terbaru UU yang dibahas dalam paripurna.
Sejak awal pada bulan Februari pembahasan mengenai Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sudah banyak dibicarakan. Bahkan muncul juga catatan-catatan untuk undang-undang tersebut. Sementara, Omnibus Law lainnya mengenai perpajakan justru jarang dibicarakan.
Pembahasan mengenai UU Cipta Kerja menjadi semakin ramai diperbincangkan lantaran pembahasannya yang tetap dilanjutkan di tengah situasi pandemi. Wahyu menjelaskan, jika dari sisi pemerintah sebenarnya Omnibus Law bukanlah hal baru. Sejak periode keduanya, Jokowi sudah mulai mengenalkan hal tersebut.
Jika dijelaskan dengan bahasa hukum, Wahyu menerangkan Omnibus Law merupakan sebuah hukum yang merasuk dalam banyak aspek. Kata bus bisa diartikan sebagai sebuah bus yang melewati banyak rute. Kehadiran Omnibus Law sendiri selalu disinggungkan dengan kontroversi apakah banyak manfaatnya atau tidak.
Baca Juga:Dejan Antonic dan Aaron Evans Segera Kembali ke Skuat PSS Sleman
Merangkum banyak hukum menjadi satu, Wahyu mempertanyakan mengenai kesepakatan pemahaman antar pihak yang terkait dalam undang-undang itu. Kedua, Omnibus Law juga kerap dikenal sebagai sebuah peraturan yang anti demokrasi. Karena mencakup isu-isu sosial yang sebenarnya bisa saling diperdebatkan.
"Nah, permasalahannya yang kemudian muncul adalah kita tidak benar-benar mengenal konsep undang-undang payung. Bahwa ada undang-undang yang dijadikan rujukan ya memang ada. Tapi tidak ada satu undang-undang yang memayungi sekian banyak undang-undang di Indonesia itu tidak ada," ujar Wahyu.
Selanjutnya Wahyu menjelaskan bahwa ia masih menyebutnya sebagai draft UU. Sebab, setelah disahkan masih membutuhkan waktu 30 hari kerja untuk bisa diterapkan. Namun, jika sebelum waktu itu presiden sudah tandatangan maka UU itu akan tetap berjalan. Proses penolakannya sendiri juga tidak bisa seketika ditolak lantas batal menjadi UU.
Secara pribadi, Wahyu menilai draft tersebut mengusung konsep yang bagus. Ia sendiri menyatakan dukuangannya untuk peraturan yang berniat mempermudah pengurusan izin tersebut. Hanya saja, pembuatan draft ini dinilai terburu-buru, dengan cakupan terlalu luas, tidak transparan, dan manipuulatif.
Beberapa persoalan yang Wahyu rangkum diantaranya, adanya 77 UU direvisi dan 2 UU dicabut dalam 11 klaster pembahasan berbeda satu dengan lainnya paradigma dan konteks pelaksanaan. Dirangkum dalam 15 Bab, 186 Pasal dan 905 halaman. Terdapat 460 PP dan 9 Perpres baru yang harus disusun sesuai rujukan.
Baca Juga:Muncul Klaster Kantor di Sleman, Total Ada 62 Orang Positif Covid-19
PP dan perpres sebagai peraturan pelaksana harus diterbitkan paling lama 3 bulan. UU ini juga terkesan sangat ambisisus dan irrasional. Misalnya UU 32 Tahun 2009 yang mengamanatkan 18 materi PP dan setelah sebelas tahun, baru melahirkan 4 PP. Resiko coordination failures UU ini juga dinilai sangat tinggi.
"Jadi setidaknya dari 460 PP dari sektor lingkungan hidup itu sekurangnya ada 9 PP yang wajib disusun untuk pelaksanaan," imbuhnya.
Wahyu juga memiliki setidaknya 7 catatan yang ingin disampaikan. Pertama, yakni Naskah yang dinilai tidak akademis. Dari tebalnya jumlah halaman yang terlihat akademis, jika dilihat dari daftar pustakanya saja dinilai sebagai sesuatu yang tidak bermutu. Sebab, hanya merujuk pada 9 buku, 5 jurnal, 1 thesis, 1 kamus, 52 peraturan dan UU, dan 12 website.
Dari 9 buku yang digunakan, tidak ada satupun yang menyinggung mengenai lingkungan hidup. Kedua, perizinan yang dilakukan juga berbasis resiko. Yakni pemberian perizinan berusaha dan pekaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha atau kegiatan. Dalam UU Cipta Kerja pasal yang mengatur mengenai perizinan dan resiko akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Aspek yang dinilai meliputi kesehatan, keselamatan, lingkungan, pemanfaatan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).
Catatan kritisnya, untuk pendekatan yang berbasis resiko, membutuhan dukungan basis data yang kuat, menyeluruh dan integral. Sementara database Indonesia sendiri dinilai sangat lemah. Pendekatan berbasis resiko juga semestinya mempertimbangkam resiko lain yang tidak hanya berbentuk fisik saja. Seperti resiko hukum. reputasi, dan masyarakat.
"Kenapa investasi di negara kita terhitung lambat, dilihat permasalahannya bukan pada perijinan administrasi tapi lebih kepada korupsi sepertinya," terang Wahyu.
Jika dibandingkan persepsi resiko yang diterapkan oleh Indonesia dengan OECD, Wahyu menyuimpulkan apa yang dianggap beresiko tinggi di negara OECD tidak dianggap sama dan bahkan tidak diatur di Indonesia. Lubang besar pada pendekatan resiko ini juga tidak disebutkan siapa yang akan menjadi pengawasan dan penentu resiko dalam berbagai sektor.
Selanjutnya ia menyampaikan bahwa permudahan perizinan tidak sama dengan permudahan dampak lingkungan. Sebab satu tipe tidak sesuai untuk semua aspek. Karena ada isu berbeda yang dibahas dan perbedaan ketersediaan data yang dimiliki.
Perizinan lingkungan yang disebut dihapus namun diubah menjadi persetujuan dinilai Wahyu menimbulkan kerancuan. Ia mempertanyakan apakah bisa disamakan antara izin dengan persetujuan. Secara makna, Wahyu menilai bahwa perizinan merupakan persetujuan legal antar pihak yang identik dengan adanya komitmen.
"Kemudian yang menjadi krusial adalah Komisi Penilai Amdal (KPA) dihilangkan. Memang di dalam draft terakhir, draft yang 905 halaman tersebut. KPA dihilangkan kemudian 'digantikan' adanya lembaga uji kelayakan lingkungan," tukasnya.
Membahas mengenai amdal, Wahyu memberikan catatan kritis bahwa penghapusan izin lingkungan sama dengan persetujuan terhadap legalisasi keruwetan penerapan OSS. ia juga mempertanyakan peran lembaga uji kelayakan pusat dapat feasible dan rasional untuk seluruh persoalan Amdal.
Lihat pemaparan selengkapnya DISINI
Selanjutnya, Wahyu menyampaikan mengenai isu pelemahan kewanangan pemerintah daerah. Misalnya dalam hal perizinan yang digantikan oleh pemerintah pusat. Mungkinnya timbul potensi sengkarut. Beban pemerintah daerah juga bertambah, namun mungkinkah setiap wilyah untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi secara bersamaan dan setara.
Ia berpesan agar bangsa Indonesia jangan sampai terjebak dengan Natural Resource Curse Hypothesis. Dimana negara-negara dengan SDA yang melimpah justru yang kaya adalah orang-orang dari luar. Yakni, orang-orang yang memiliki modal.
Wahyu juga merasa pro dan kontra mengenai aspek pengawasan dan penegakan hukum. Ia mempertanyakan apakah masyarakat dilibatkan langsung. Dalam penegakan hukum, strict liability dimaknai tidak identik dengan kewajiban mencegah. Tidak adanya izin lingkungan dan penghapusan gugatan administratif dinilai berdampak pada pelemahan hak hukum admininstratif.