Mungkin karena saya nyerocos terus itu ya terus dibilang "Mbak ini saya Teguh, kita kehilangan kontak, kita tidak bisa menghubungi." Saya langsung matikan, saya setel TVOne itu gambarnya sudah beda. Untuk kalut itu saya enggak karena buat saya itu bukan kepastian. Jadi saya cuma bilang ke orang tua saya begini. Saya kemudian telepon sopir saya dan mengajak ke Jogja. Jadi saya cuma posisi berdua sama sopir, saya memutuskan ke Jogja.
Saya berangkat sekitar jam 19.00 WIB. Lepas dari Secang saya mulai masuki rumah sakit, setiap rumah sakit saya masuki. Jam 20.00 WIB itu anak saya telepon, katanya "dompet Bapak sudah ketemu." Ada foto anak saya. Kemudian saya bilang ke dia, kalau itu memang dompetnya bapak, kita harus mempersiapkan kondisi yang terburuk.

Kebetulan suami saya aktif di paguyuban UGM yang buat nasrasni itu, nah saya ditelepon, ditunggu di rumah sakit yang ada di Pakem. Nah saya menunggu di situ sama sahabat saya dan sahabatnya Wawan itu. Saya duduk di trotoar itu ada tujuh ambulans turun, bener-bener saya hitung itu ada tujuh. Kemudian saya bilang ke temen saya, "Om, kok enggak ada yang belok ya." Temen saya jawab, "iya ya kok enggak ada yang belok." Baru saja temen saya mingkem itu dia dapat telepon.
Waktu itu yang saya dengar cuman, "tenan iki, wes pasti, wes pasti [benar ini, sudah pasti]’" Terus akhirnya kita turun ke Sardjito itu sekitar jam 23.00 WIB. Baru sampai itu, saya enggak tahu ditelepon sama wartawan siapa, ditunggu di forensik. Sudah mak deg itu hati saya. Yang masuk itu sopir sama sahabat saya, enggak lama kemudian keluar cuma bilang "kamu teteg [kuat hati] gak? Kalau gak teteg biar saya saja yang masuk."
Baca Juga:Aktivitas Merapi Meningkat, Desa Bersaudara Siapkan Lokasi Pengungsian
Saya bilang "enggak, saya harus mastiin sendiri itu suami saya apa bukan." Saya melangkahi kantong mayat itu ada sembilan, saya buka ‘sreettt’ suamiku apa bukan ini, karena enggak kelihatan, berdebu. Rambutnya sudah hilang, telinganya berdarah, masih saya congkel-congkel itu. Itu saya punya bajunya 10 tahun yang lalu, belum saya buka. Ada di trash bag. Saya bawa ke mana-mana itu. Utuh itu, suami saya itu utuh, bagus. Orang kan salah persepsi dikiranya hancur. Akhirnya di bagian sepatu itu dibersihkan terus temennya saya nanya, "Ning ini sepatunya siapa?" Oh iya bener, sepatunya Wawan. Suamiku ini.
Saya enggak nangis, bukannya gimana, cuma enggak tahu ya, waktu itu saya enggak bisa nangis, kemudian dikeluarkan dompet ada fotonya anak-anak. Sudah itu saya keluar, diinterogasi ciri khusus dan sebagainya sampai pagi. Jam 05.00 WIB itu baru Mbah Maridjan dibawa turun. Jam 06.00 atau jam 07.00 WIB itu baru dimandikan. Saya ditanyai, "mau lihat apa enggak?" Saya bilang enggak mau. Saya cuma lihat dari kejauhan. Cuma badannya kan keras to karena dia posisi lagi mangap karena lagi telepon.
Itu saya dikasih rekamannya itu, dia bilang ‘panasss’ gitu terus 'lep' hilang. Dia mangap dan tangannya begini [membentuk siku seperti tangan saat sedang menelpon], terus dipatah. Waktu dimandikan, mungkin tegangannya tinggi jadi memang ngelupas semua. Begitu di peti sudah ditutupi kapas, itu pokoknya tubuhnya kan pakai [kaus] lengan pendek, yang tertutup itu bagus, yang terbuka itu melepuh.
Sekitar jam 09.00 WIB itu saya bawa pulang pakai ambulans dari Angkatan Udara, jadi cepet. Itu hari Rabu, terus dimakamkannya Kamis.
Sebelum insiden terjadi, apa kabar terakhir yang Ibu dapat dari suami?
Baca Juga:Rumahnya Diterjang Awan Panas, Bagong Selamat Berkat Lemari Tua
Suami saya itu kebiasaan kalau liputan selalu bilang, "nanti kalau sudah selesai saya telepon." Jadi waktu itu dia telepon, "saya itu keluar kantor sekitar pukul 13:30 WIB" kalau enggak salah, kemudian landing jam 16.00 WIB itu, terus dia bilang mau ketemu orang di Kentungan. Sudah itu terakhir komunikasi. Enggak kontak saya lagi, dan ada beritanya itu jam 17:00 WIB.