Rumahnya Diterjang Awan Panas, Bagong Selamat Berkat Lemari Tua

Kaki dan tangan Bagong melepuh saat sembunyi di dalam lemari lantaran menahan terjangan awan panas.

Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 03 November 2020 | 13:18 WIB
Rumahnya Diterjang Awan Panas, Bagong Selamat Berkat Lemari Tua
Ilustrasi erupsi merapi. [Ema Rohimah / grafis suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Motor bebek merk Jupiter melaju santai dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Kota Yogyakarta ke rumahnya di Pedukuhan Ngancar RT 4/RW 6, Kalurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Bersama tetangganya, lelaki yang kala itu berusia 21 tahun berencana pulang untuk mengambil pakaian ganti.

Tiba di rumah yang terletak di lereng Merapi, pria bernama Jumarno ini mengetuk pintu dan masuk ke dalam. Ayah Jumarno, Gitodaryono membukakan pintu dan menanyakan keadaan neneknya yang terbaring di RS PKU Muhammadiyah. Tak hanya berdua, kakek Jumarno, Mirso Sarwono juga berada di rumah itu.

Perbincangan keduanya sangat singkat. Jumarno yang akrab disapa Bagong itu kemudian beristirahat karena kelelahan.

Tepatnya Kamis tanggal 28 Oktober 2010, Jumarno, Gitodaryono dan kakeknya, Mirso Sarwono tetap bertahan di dusun Ngancar meski keadaan Merapi pada saat itu telah meletus.

Baca Juga:Bus TransJogja Kecelakaan di Sleman, Mobil Partai yang Jadi Lawan Disoroti

Ingatan tersebut menjadi hal yang tidak dilupakan Bagong sebelum berhadapan langsung dengan awan panas atau Wedhus Gembel. Ya, Bagong adalah salah seorang penyintas saat Gunung Merapi mengalami erupsi 2010 silam.

Bagong merasakan langsung panasnya Wedhus Gembel hingga tangan, kaki, punggung dada dan mukanya melepuh. Beruntung nyawanya selamat berkat sebuah lemari berukuran 2x1,5 meter.

"Waktu itu kami pikir keadaannya sudah tenang. Karena tanggal 26 Oktober 2010 Merapi meletus dan memang tidak mengenai kampung (Ngancar) kami. Selain itu jaraknya (Ngancar) cukup jauh dari tempat Mbah Maridjan ditemukan meninggal (Pedukuhan Kinahrejo)," kata Bagong ditemui SuaraJogja.id, Sabtu (31/10/2020).

Sambil sesekali mengerenyitkan dahi, Bagong perlahan mencoba membuka ingatannya saat detik-detik awan panas menerjang dirinya yang berada di dalam rumah.

Waktu itu menunjukkan sekitar pukul 23.30 wib. Bagong yang memilih beristirahat di atas tikar ditemani ayah dan kakeknya sudah mendengar suara gemuruh dan guncangan besar akibat Merapi yang meletus secara eksplosif.

Baca Juga:Soal Kompetisi, PSS Sleman Desak PSSI dan PT LIB Segera Gelar Pertemuan

Bagong muda, terbangun karena ayah dan kakeknya memanggil namanya. Namun dirinya tak langsung menggubris, hanya membuka mata sebentar dan memilih tidur kembali.

Di saat itulah, wajah dan badannya terasa panas. Ia menggambarkan awalnya seperti tidur di bawah panas matahari yang sedang terik-teriknya.

"Itu sudah panas rasanya, saya baru terbangun dan lantai rumah juga sangat panas. Akhirnya saya mencoba membuka pintu dan melihat sudah ada abu setinggi mata kaki di luar. Ayah saya juga mulai mengerang panas. Kami semua panik," kata Bagong mengingat kembali bencana tersebut.

Walau awan panas tampak menerjang, hingga seisi rumahnya dipenuhi abu vulkanik, toh Bagong beserta ayah dan kakeknya tak bergeming. Mereka bersikeras tetap bertahan di dalam rumah.

Di saat ia dan ayahnya sibuk mencari tempat aman untuk bertahan dari gempuran awan panas, sang kakek justru keluar rumah dan berteriak mencari pertolongan. Namun tak beberapa lama, suara kakeknya menghilang.

"Mbah saat itu malah keluar untuk mencari pertolongan. Tapi tidak lama suaranya hilang. Kami berdua melihat ada satu lemari yang bisa menjadi tempat perlindungan," kata dia.

Lantai rumah sudah seperti panasnya solder, Bagong dan ayahnya tak kuat menahan panas. Lemari yang dia lihat sebelumnya dibuka dan semua barang di dalamnya dikeluarkan, Bagong masuk ke lemari di bagian dasar. Sambil meringkuk, dirinya berusaha menahan hawa panas dari Wedhus Gembel.

umarno menunjukkan ketika dirinya masuk ke sebuah lemari ketika Wedhus Gembel dari erupsi Gunung Merapi menerjang pedukuhannya Ngancar,  4/RW 6, Kalurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]
umarno menunjukkan ketika dirinya masuk ke sebuah lemari ketika Wedhus Gembel dari erupsi Gunung Merapi menerjang pedukuhannya Ngancar, 4/RW 6, Kalurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

Begitupun ayahnya, meski tidak masuk ke dalam lemari, ayah Bagong menyelamatkan diri dengan cara bersembunyi di sudut ruangan dengan menutup daun pintu.

Peristiwa yang dialami terjadi tengah malam. Di dalam lemari ia sempat mendengar suara bambu terbakar hingga runtuhan beberapa bangunan. Tak hanya itu, gemuruh hingga guncangan juga ia rasakan selama di dalam lemari.

Beruntung meski terjadi guncangan, rumah miliknya tidak roboh. Hanya beberapa perkakas rusak dan barang berbahan plastik meleleh.

Bagong mengingat bersembunyi di dalam lemari semalaman hinggga Jumat 29 Oktober 2010 dini hari. 

Berjibaku menahan panasnya Wedhus Gembel, Bagong hanya bisa berdoa. Pikirannya saat itu hanya selamat. Pasalnya beberapa waktu sebelum erupsi Merapi, Bagong sudah melamar istrinya. Sehingga ada tanggungjawab yang harus dia kerjakan yaitu mengikat janji suci di pelaminan.

Rasa putus asa diakuinya ada, pikiran bahwa ini adalah akhir hidup juga muncul selama dia menahan panas hingga tubuhnya melepuh. Bagong juga merasakan bahwa tidak akan ada yang bisa menyelamatkan ia dan ayahnya pada situasi itu.

Banyak pikiran di kepala membuat dia semakin frustasi. Perlahan Bagong merasa pusing, hingga akhirnya dia tak sadarkan diri menahan panas Wedhus Gembel.

"Setelah putus asa itu, saya langsung merasa pusing, akhirnya pingsan dan tidak ingat lagi," kata dia.

Tuhan nampaknya masih memberi kesempatan hidup kepada Bagong. Setelah beberapa jam pingsan, Bagong mulai terbangun ketika ayahnya meminta untuk mengambilkan sarung. Ayah Bagong ingin mencari kakeknya yang tadi keluar dan berteriak-teriak.

Niat itu dia urungkan karena hawa panas di luar rumah masih terasa. Bagong tak mengingat betul apakah saat itu sudah pagi atau masih dini hari. Semuanya terlihat samar karena debu vulkanik yang memenuhi rumahnya.

Tak berapa lama, dengan menahan pedih lantaran tangan dan kakinya melepuh, Bagong merangkak keluar lemari memanfaatkan mangkok besar dan kursi busa sebagai pijakan untuk menghindari panas lantai. Sementara ayahnya masih mondar mandir di dalam rumah untuk mencari pertolongan.

Tak ada yang mengetahui jika di pedukuhan ini masih terdapat orang selamat. Hingga akhirnya ada suara motor dan ribut para relawan yang melintas.

"Ayah saya yang mendengar itu langsung berteriak tolong. Termasuk saya yang sudah merasa dehidrasi dan kulit melepuh. Saya masih ingat kata-kata yang saya dengar dari relawan, iya sebentar kami bantu, tunggu dulu," ungkapnya.

Tepat pukul 09.00 wib, dirinya melihat relawan membuka pintu rumahnya, ada anggota berseragam TNI, PMI dan yang membawa tandu masuk ke dalam.

Perlahan tapi pasti, Bagong mendapat pertolongan. Ia dan ayahnya diangkut dengan tandu dan dibawa hingga ke dalam mobil ambulans.

Bagong dan Gitodaryono langsung dibawa ke rumah sakit. Keduanya masuk ke dalam UGD dan mendapat pertolongan pertama. Bagong mendapat suntikan bius hingga dirinya tak sadarkan diri.

Terbangun dari reaksi obat bius yang perlahan menghilang, Bagong sudah berada di ICU, banyak perban yang membalut dirinya. Sebuah ventilator terpasang di mulut pria tersebut.

Hampir 6 bulan dirinya menjalani perawatan di rumah sakit. Dalam perawatan itu, dirinya tak mengetahui jika ayahnya meninggal dunia 4 hari usai dievakuasi oleh relawan. Sedangkan kakek Bagong, dinyatakan tewas di halaman rumahnya dengan kondisi gosong karena Wedhus Gembel.

Bagong mengalami luka bakar 9,5 persen. Meski sedikit, hal itu mengganggu aktivitasnya karena tangannya sudah terbakar.

10 tahun berlalu, Bagong yang kini berusia 31 tahun mulai kembali menata hidupnya lagi. 

Meski masih dihantui trauma akan erupsi yang merenggut keluarganya, toh hal tersebut nyatanya tak menyurutkan niatnya untuk kembali tinggal di kawasan lereng Merapi. 

Bagong bersama istrinya saat ini menempati rumah di Timur rumah almarhum ayahnya yang hanya berjarak 300 meter.

Jumarno alias Bagong saat ditemui di kediamannya Pedukuhan Ngancar, RT 4/RW 6, Kalurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.
Jumarno alias Bagong saat ditemui di kediamannya Pedukuhan Ngancar, RT 4/RW 6, Kalurahan Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.

"Tapi meski dekat saya hampir tidak pernah menginap di rumah itu, karena masih trauma. Saya memilih pindah dan membangun rumah sendiri bersama istri," ujar dia.

Lebih jauh, meski sudah mampu kembali beraktivitas seperti biasa, Bagong masih berharap jika bisa mendapat perawatan yang lebih baik. Kondisi kaki dan tangannya yang melepuh cukup mengganggu dirinya saat bekerja.

"Dulu sempat akan operasi kulit. Sudah saya siapkan uangnya. Tapi saya kena hernia dan dananya dialihkan untuk operasi ini. Sekarang hanya bisa menunggu dananya terkumpul kembali," kata dia.

Sementara itu, menyadari hidupnya berkawan dengan bahaya, Bagong kini makin siaga. Berbekal handy talkie yang dimiliki, Bagong kini rutin menyimak informasi mengenai status Merapi dari frekuensi yang dibagikan oleh BPBD dan pos pengamatan Merapi.

Disinggung mengenai kondisi Merapi saat ini, Bagong tak memungkiri jika gunung yang hampir merenggut nyawanya itu kembali menunjukkan aktivitasnya. Ia mengaku dalam beberapa bulan terakhir merasakan adanya guncangan dan gempa kecil.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak