Kerajinan Bambu Sepi Peminat, Ninik Ganti ke Rotan agar Dapur Tetap Ngebul

Ninik menyebutkan bahwa memang peminat kerajinan bambu terus turun bersamaan sejak pandemi Covid-19.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 30 November 2020 | 07:15 WIB
Kerajinan Bambu Sepi Peminat, Ninik Ganti ke Rotan agar Dapur Tetap Ngebul
Seorang penjual kerajinan bambu hanya duduk menanti pembeli yang tak kunjung datang di showroom kerajinan bambu di Sundari, Tirtoadi, Mlati, Sleman, Minggu (29/11/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Usaha kerajian bambu mayoritas warga Pedukuhan Sundari, Tirtoadi, Mlati, Sleman belum pulih dari hantaman pandemi Covid-19. Hal itu membuat beberapa warga mulai mencari cara lain agar tetap bisa membuat dapur tetap ngebul.

Ninik Sarini menjadi salah satu warga yang mulai melirik kerajinan berbahan dasar rotan untuk menambah potensi keuntungan. Menurutnya, saat ini kerajinan bambu masih sangat sepi peminat, sedangkan rotan, walau tak banyak, ada sedikit hasil.

"Ya kalau produksi bambunya tetap jalan, tapi memang kebanyakan hanya kalau ada pesanan yang masuk saja. Sekarang mulai jualan pernak-pernik dari rotan," kata Ninik saat ditemui SuaraJogja.id di showroom produknya, Minggu (29/11/2020).

Ninik menyebutkan bahwa memang peminat kerajinan bambu terus turun bersamaan sejak pandemi Covid-19. Usaha bambu bahkan sempat mandek sepenuhnya hingga Juni lalu.

Baca Juga:Badut Syariah: Semangat Tak Boleh Surut di Pandemi

Menyiasati hal itu, Ninik memperluas pasarnya dengan menghadirkan produk dari kerajinan rotan. Produk-produk itu diambil dari pabrikan di Bandung.

"Kalau saya mulai sehabis Lebaran baru bisa jualan lagi. Saat itu masih terima pesanan dari langganan saja untuk dijual lagi, tapi ya satu bulan belum mesti satu set laku, padahal kita biasanya panen waktu Lebaran, tapi tahun ini tidak," ucapnya.

Disampaikan Ninik, omzet per bulannya anjlok hingga 75 persen. Hal itu terlihat dari jumlah pesanan yang selalu di masa Lebaran beberapa tahun belakang.

Sebelum pandemi Covid-19, kata Ninik, permintaan bisa mencapai 20-30 set kursi bambu dalam sebulan. Namun sekarang, lima set pun tidak bisa terjual atau malah tidak terjual sama sekali.

”Nah semenjak menyediakan rotan, pemasukan mulai ada meski dikit-dikit,” ujar wanita 44 tahun itu.

Baca Juga:Carlos Ghosn Prediksi Nissan Tidak Akan Bertahan Lama

Ninik menilai, tidak semata-mata pandemi Covid-19 saja yang menurunkan minta pembeli kerjainan bambu. Namun, ada faktor lain, semisal pertimbangan dan perhitungan dari muatan kontainer.

Menurut keluhan yang diterimanya dari para pengangkut kontainer itu, ukuran dan berat bambu kurang menguntungkan ketimbang membawa produk rotan, yang lebih ringkas. Belum lagi melihat harga produk bambu di pasaran, yang kini juga murah.

”Bambu ini makan ruang kalau di kontainer, kalau rotan kan bisa muat banyak. Lebih cocok saja sesuai harga," tuturnya.

Ninik menduga, meningkatnya persaingan produksi kerajinan bambu di pasaran membuat tidak sedikit perajin yang memilih mundur. Selain itu, kesulitan bahan baku juga mulai dirasakan oleh beberapa pihak.

"Mayoritas yang masih bertahan sekarang itu adalah generasi penerus di keluarganya, yang sudah turun temurun menggeluti kerajinan bambu ini," ungkapnya.

Ninik mengungkapkan, masa kejayaan kerajinan bambu itu dirasakan pada periode 2003 hingga 2005. Saat itu bahan baku masih berlimpah dan peminatnya pun banyak.

”Bahkan hasil sekali angkut satu kontainer bisa untuk ngreyen kendaraan,” tutur permpuan yang sudah memulai usahanya tahun 2000an ini.

Selain menambah produksi rotan sebagai barang dagangannya, Ninik juga mengaku telah mulai sedikit demi sedikit merambah pasar online. Dibantu sang anak, beberapa pesanan sudah ada yang datang dari market place tersebut.

Sementara itu, kondisi serupa juga dialami oleh Sri Rahayu, perajin bambu lainnya di pedukuhan  tersebut. Namun berbeda dari Ninik, ia lebih memilih untuk bertahan dan berfokus pada produksi kerjainan bambu saja.

"Saya fokus di bambu tapi misal ada pesanan rotan ya bisa melayani. Soalnya memang rotan, modalnya juga harus lebih besar," kata perempuan 37 tahun ini.

Diakui Sri, dibandingkan dengan awal-awal sejak pandemi Covid-19 mulai muncul, peminat kerajinan bambu memang sangat sepi. Baru sekitar dua bulan belakangan ini muncul beberapa pesanan lagi walaupun tak banyak.

”Pesanan seperti kere dan gazebo sekarang mulai masuk," sebutnya.

Sri menegaskan akan tetap mencoba sekuat tenaga untuk mempertahankan usaha milik keluarganya ini. Walaupun masih terhitung baru, tapi usaha yang diteruskan dari ibunya ini akan tetap menjadi tumpuan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

”Ini usaha turun temurun yang sekarang kami coba pertahankan,” tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak