Diakui Tomi, awalnya memang akan ada beberapa pandangan yang berbeda dari pihak-pihak tertentu, termasuk keluarga. Saat pertama mengenal punk, kata Tomi, keluarga di Balikpapan sempat bingung dengan tingkah lakunya.
Sebab saat itu, ia senang memberi barang-barang bekas. Hal itu yang kemudian dipertanyakan oleh orangtuanya. Belum lagi melihat penampilan dan segala macam, kebingungan orangtua juga semakin terlihat.
"Pasti bingung tapi karena bisa menciptakan dialog ya lama-lama dibiarkan. Tidak pernah ditentang hanya dipertanyakan," akunya.
Buku belum dianggap penting
Baca Juga:Cari Tahu Manfaat Tanaman Obat, Yuk Kunjungi Perpustakaan Herbal
Tomi, yang saat ini berfokus pada penerbitan buku dan juga menulis bukunya sendiri, menilai bahwa buku masih belum dianggap penting oleh masyarakat secara umum. Hal itu sangat terlihat dari cetakan buku yang bisa dihasilkan oleh penerbit indepeneden khusus.
"Dari sekitar 200an juta orang di Indonesia, mau nyetak 1000 buku aja masih sulit. Kenapa gitu? Karena buku tidak dianggap penting. Tidak perlu jauh-jauh, jumlah mahasiswa aja, bisa dihitung yang memang membaca buku," kata Tomi.
Ketika ditanya mengenai tingkat literasi masyarakat Indonesia, diakui Tomi juga tidak terlalu buruk. Artinya masyarakat tetap membaca namun tidak secara spesifik membaca buku. Orang akan cenderung membaca sesuatu di internet saja. Menurutnya hal ini terjadi karena membaca buku yang tidak dipopulerkan juga.
"Kita bangsa peniru, para influencer di medsos itu juga jarang melakukan kampnye tentang membaca buku. Walaupun bukan salah mereka juga tapi ini lebih rumit. Tidak perlu juga sebenarnya untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu," ucapnya.
Tantangan lain datang dari mudahnya pembajakan buku oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Namun hal ini juga membuat Tomi dilema. Sebab gara-gara punk juga Tomi tidak bisa tegas terhadap pembajakan itu sendiri.
Baca Juga:Sebarkan Toleransi Lewat Seni, Puluhan Seniman Melukis Bareng di UIN Sunan
Tomi mengungkapkan bahwa jika mayoritas teman-teman yang berada di industri buku tentu akan memihak anti pembajakan. Sedangkan ia sendiri masih berada dalam dua sisi. Berada di tengah-tengah, tidak sepenuhnya anti dan juga tidak sepenuhnya terima.
"Ini karena dulu semangat punk salah satunya anti copyright. Terus aku juga tumbuh dengan literatur bajakan. Di samping karena sulit akses dan ketidaktahuan juga waktu itu," tuturnya.
Namun semakin ke sini Tomi, semakin sadar bahwa ia melihat banyak pembajak itu justru datang dari industri besar. Industri yang berada lebih di atas atau malah lebih kaya dari penerbit aslinya.
Hal itu membuatnya prihatin karena memang masih ada penerbit yang bahkan setengah mati untuk menghidupi penerbitannya.
"Maka dulu sempet tulisan tentang bajak bijak. Saat itu ada respon yang bilang kalau aku bisa ngomong gitu karena belum penah dibajak. Eh akhirnya tiba waktunya juga buku sendiri dibajak. Ternyata setelah ditelusuri yang bajak adalah akun kecil bukan industri besar," sebutnya.
Menurutnya situasi akan berbeda jika ia tidak mengenal kultur punk sejak awal. Namun dengan kondisi yang sudah ada saat ini disikapi Tomi sebagai sebuah landasan untuk terus berpijak dan berkembang di masa mendatang.