Semangat Punk Tomi, Independensi Harus Terus Dihidupkan demi Ciptakan Karya

Jauh sebelum itu, ketertarikan Tomi dengan dunia punk diawali dengan musik-musik yang dirasa cocok hingga melekat di telinga.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 30 November 2020 | 09:25 WIB
Semangat Punk Tomi, Independensi Harus Terus Dihidupkan demi Ciptakan Karya
Tomi Wibisono dijumpai di Perpustakaan Rumah Kata Jogja - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Saat ini Perpustakaan Rumah Kata berada di sebuah kontrakan yang berada di permukiman, tepatnya di daerah Candi Karang, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Koleksinya pun sudah mencapai hampir lebih dari 4.000 buku, belum digabungkan dengan buku-buku yang dijual.

Lalu apa hubungannya dengan punk? Menurut Tomi, semua yang ia kerjakan selama ini didasari oleh semangat itu, semangat punk, semangat kemandirian, anti-spesialis di mana siapa pun boleh merayakan sesuatu. Karya-karya Tomi, mulai dari zine, majalah, perpustakaan, hingga buku, dilandasi oleh semangat itu.

Tomi menuturkan, banyak definisi yang bisa diberikan kepada punk itu sendiri. Namun, ia memilih melihat punk sebagai subkultur karena punk masih berada di dalam bagian budaya yang lebih besar.

"Kalau pemaknaan pribadi punk ini yang ngajarin buat mengajarkan kemandirian tidak tergantung pada apa pun. Aku bisa bikin majalah penerbitan dan lain-lain itu juga berangkat dari semangat punk itu," sebutnya.

Baca Juga:Cari Tahu Manfaat Tanaman Obat, Yuk Kunjungi Perpustakaan Herbal

Misalnya saja, zine punk yang dibuat Tomi itu, meskipun suka membaca buku, tapi saat itu ada rasa ketidakpercayaan diri padanya untuk menuliskan sesuatu. Namun dengan perkenalannya pada punk dan memaknai semangat kemandirian tersebut, lahirlah zine itu dan berkembang ke majalah hingga penerbitan buku.

Dari tangan Tomi, sudah 12 edisi zine punk yang telah lahir. Untuk majalah sendiri, sudah ada 7 edisi, masih dengan tambahan situs web. Selain itu, juga masih ada 20-an terbitan yang telah dihasilkan dengan 1 buku yang ditulis.

"Kalau dari zine pindah ke majalah itu, aku pengin namanya orang nulis itu menuju pada keterbacaan yang luas. Nah kalau zine sendiri, kala itu masih terlalu segmented ke komunitas punk. Seharusnya teks itu bisa dibaca lebih luas," jelasnya.

Walaupun memang saat ini majalah cetak untuk penyebaran info menurutnya sudah tidak terlalu relevan, tetapi hal lain seperti majalah yang sebagai bentuk romantisme itu sendiri yang masih dianggap menarik.

"Kita bikin majalah saat tren majalan saat itu sedang turun. Waktu Gramedia Grup nutup majalah-majalahnya, tapi memang dulu dianggap sebagai perayaan dan meromantisir bentuk fisik itu tadi," ucapnya.

Baca Juga:Sebarkan Toleransi Lewat Seni, Puluhan Seniman Melukis Bareng di UIN Sunan

Lalu saat ini majalah mulai kembali meredup dan bergeser menjadi sebuah hobi. Sekarang, Tomi lebih fokus untuk menghasilkan karya dengan media buku. Menurutnya perpindahan ini karena menanggap buku lebih bisa berumur panjang dibandingkan dengan dua media sebelumnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak