SuaraJogja.id - Penularan penyakit HIV di wilayah Kabupaten Sleman masih didominasi dari usia produktif. Tercatat dari 2014 sampai dengan Juni 2020 rentan usia 20-39 tahun selalu berada pada grafik tertinggi.
Kepala Seksi Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular Dinkes Sleman Dulzaini, menjelaskan pada tahun 2018 tercatat secara kumulatif ada 90 kasus HIV dari rentan usia 20-39 tahun. Angka kumulatif tersebut menurun menjadi 84 orang pada tahun 2019.
Sementara itu sampai dengan pertengahan tahun 2020 atau tepatnya bulan Juni lalu angka tersebut baru menyentuh 31 orang. Sedangkan kasus terbaru di Sleman sendiri per November lalu tercatat sebanyak 91 HIV dan 8 AIDS.
"Kalau total angka kasus HIV AIDS dihitung sejak 2014 hingga saat ini mencapai 1338 HIV dan 354 AIDS. Jumlah angka memang terus naik soalnya ini data komulatif," ujar Dulzaini, awak media, Rabu (2/11/2020).
Baca Juga:Tak Ada Liga, Eks Striker PSS Sleman dan PSIM Kini Main Sinetron
Dulzaini menuturkan terkait dengan angka resiko penularan HIV pada tahun 2020 ini terbanyak dari kelompok homoseksual dengan 20 kasus HIV per bulan Juni 2020. Jumlah tersebut hanya terpaut lima angka dari kelompok heteroseksual yang berada di angka 15 kasus.
Untuk menekan angka-angka tersebut, pihaknya telah secara intensif melakukan sosialisasi kepada 25 Puskesmas se-Kabupaten Sleman. Sosialisasi itu juga menyasar hingga ke tingkat masyarakat serta bekerja sama dengan kader kesehatan setempat.
"Pendekatan itu terus dilakukan dengan meningkatkan pelayanan yang ada. Bahkan tidak menutup dimungkinkan bisa langsung menghubungi petugas untuk kami datangi," tuturnya.
Terkait dengan perkembangan layanan HIV di Kabupaten Sleman sendiri sudah lebih berkembang. Hingga saat ini tercatat sudah ada 7 layanan Perawatan dan Pengobatan (PDP) untuk Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA).
"Di luar rumah sakit seperti yang ada di Sleman, Prambanan, dan Sardjito, Puskesmas Tempel 1 juga sudah bisa memberikam pengobatan ARV. Saat ini kita sudah menyiapkan 7 puskesmas lagi. Walaupun baru satu tapi harapannya nanti setelah kita membuka layanan seluas-luasnya itu temen-temen ODHA bisa datang ke sana untuk memeriksakan diri begitu juga dengan kelompok rentan karena memang tanpa dipungut biaya juga," ungkapnya.
Baca Juga:Pandemi Covid-19, Dinkes Sleman Tetap Maksimalkan Posyandu untuk Balita
Dikatakan Dulzaini bahwa memang HIV itu tidak bisa lantas dikatakan sembuh karena memang tubuh akan tetap punya virus. Namun virus itu bisa ditekan dengan obat anti virus atau antiretroviral (ARV) untuk pengidap HIV.
"Sudah ada ukuran nantinya. Nah kalau virus di orang bersangkutan bisa ditekan seperti itu dia tidak menularkan walaupun semisalkan dia seorang pengidap HIV atau ODHA. Itu sudah terbukti," jelasnya.
Zaini menegaskan bahwa HIV bukan penyakit keturunan. Jika ada ibu pengidap HIV dan kebetulan anaknya juga sama, itu bukan karena menurun tapi lebih kepada terpapar.
"Maka dari itu, penyakit HIV ini sangat bisa untuk dicegah," ucapnya.
Sementara itu Pakar HIV Dokter Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito Jogjakarta Yanri Wijayanti Subronto, menuturkan masih ada banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa mendekati ke target tersebut. Salah satu cara yang penting untuk dilakukan adalah dengan bekerja secara bersama-sama.
"Menuju tahun 2030 yang seharusnya kita tidak punya masalah besar terhadap HIV. Tetapi salah satu caranya adalah kita harus bersama-sama. Tidak bisa HIV itu diselesaikan dari bidang kesehatan saja. Ini adalah isu kemanusiaan, multisektor, atau multibidang. Apa yang perlu kita lakukan sekarang adalah meningkatkan kolaborasi dan solid," kata Yanri.
Yanri menyebut faktor penghambat tereleminasinya HIV di tengah masyarakat merupakan akibat dari masih adanya stigma diskriminasi. Hal ini yang membuat HIV masih terus langgeng dan menjadi persoalan besar tersendiri.
Padahal stigma diskriminasi itu sebetulnya bisa diturunkan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara. Mulai dari pendidikan serta pelatihan kepada masyarakat hingga mencoba memahami dan memberi pemahaman dengan lebih baik.
"Sebetulnya sudah tidak perlu ada lagi itu stigma diskriminasi karena itu justru menghambat dan harus dihilangkan. Bukan hanya yang dari tingkat masyarakat saja tapi dari tingkat para pengambil kebijakan sampai kepada implementator, serta para nakes," ucapnya.
Bukan tanpa alasan, menghilangkan stigam diskriminasi itu ditujukan supaya masyarakat menjadi lebih terbuka. Artinya nanti masyarakat bersedia untuk melakukan tes untuk mendeteksi secara dini penularan HIV itu sendiri.
Jika masyarakat mulai terbuka dan bersedia untuk melakukan tes, petugas juga bisa langsung segera memberikan terapi sedini mungkin ketika yang bersangkutan positif HIV. Hal itu, kata Yanri, sudah seharusnya dimulai dari suasana yang nyaman tanpa adanya stigma.
"Kalau kita bisa membuat lingkungan yang nyaman, orang menjadi mau tes. Itu juga agar dia masih bisa terdeteksi pada stadium awal untuk mendapatkan terapi. Karena kalau HIV tidak diterapi, kita tahu menuju kemana. Jelas akan menjadi fatal. Nah orang-orang mau tes kalau kami juga membuka layanan yang ramah juga, tidak menjudge dan mendiskriminasi," paparnya.
Dengan begitu, Yanri menyampaikan virus HIV itu nantinya akan habis dan tidak menularkan kepada yang lain. Jika dalam istilah medis disebutkan sudah undetectable atau virus sudah tidak terdeteksi sehingga untraceable atau tidak menularkan.