Pandemi Covid-19 Berlarut, Jumlah Orang Stres di Jogja Meningkat

Anak di Sleman mengalami depresi seusai ibunya meninggal lantaran di-Covid-19-kan

Galih Priatmojo
Senin, 08 Februari 2021 | 16:26 WIB
Pandemi Covid-19 Berlarut, Jumlah Orang Stres di Jogja Meningkat
Ilustrasi stres akibat pandemi Covid-19. [Ema Rohimah]

SuaraJogja.id - Situasi pandemi Covid-19 yang berlarut berdampak pada kondisi ekonomi dan psikis masyarakat. Bahkan tak sedikit di antaranya yang terdampak berujung pada kematian.

Hal itu terjadi di Kabupaten Bantul, dimana seorang wanita 75 tahun bernama Pawiro dilaporkan nekat mengakhiri hidupnya lantaran depresi akibat situasi pandemi Covid-19 yang berlarut pada Kamis (7/1/2021).

Korban diketahui tewas mengapung di sumur rumahnya Pedukuhan Polosiyo RT 2, Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Bantul. Pawiro yang lebih dikenal dengan sapaan Ceplis, ditemukan oleh tetangganya setelah bau busuk yang menyeruak di sekitar rumah dia.

Ketua RT 2 Polosiyo, Purwanto menjelaskan Ceplis awalnya normal seperti orang kebanyakan. Selama 6 tahun tinggal di Polosiyo tak menunjukkan gejala gangguan jiwa atau depresi.

Baca Juga:Kasus Covid-19 di DIY Tembus 21.254, Sri Sultan Curhat Begini

"Kami beraktivitas seperti biasa di sana. Ibu Ceplis juga kerap ikut pengajian ibu-ibu, dan arisan. Saya juga sering berkomunikasi dengan dia," jelas Purwanto kepada SuaraJogja.id, Rabu (20/1/2021).

Ceplis yang berprofesi sebagai buruh pembuat sapu ijuk tinggal hanya sendiri di rumah miliknya. Kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal sendiri-sendiri.

Perubahan perilaku yang ditunjukkan Ceplis muncul seiring datangnya pandemi Covid-19. Berawal dari kegiatan menjenguk bayi di wilayah Sleman.

Satu rombongan warga Polosiyo RT 2, berangkat dari pedukuhan menuju rumah bayi tersebut. Setelah kembali, warga diberitahu jika ibu bayi terkonfirmasi positif Covid-19 karena terpapar dari karyawan klaster Indogrosir pada Mei 2020.

Tracing dilakukan hingga ke rumah Ceplis. Purwanto menjelaskan, petugas gugus tugas lengkap dengan hazmat dan alat pelindung diri (APD) mendatangi rumah masing-masing warganya termasuk Ceplis.

Baca Juga:Kasus COVID-19 di DIY Masih Tinggi, Sri Sultan Larang Pembukaan Sekolah

"Pertama kemunculan kasus Covid-19 itu kan membuat orang jadi was-was. Apalagi jika ada ambulan dan petugas berpakaian lengkap seperti itu, pikiran kami sudah takut. Apalagi ada 1 warga kami yang positif Covid-19," kata dia.

Kendati demikian hasil tracing dan pengujian rapid tes kepada para warga di Polosiyo tidak ada yang menunjukkan reaktif.

Usai peristiwa itu, Ceplis menunjukkan rasa takut berlebih. Kadang, kata Purwanto, ibu dua anak itu berhalusinasi dikejar-kejar oleh orang tidak dikenal. Padahal tidak ada orang yang benar-benar mendatangi dirinya.

Ketakutan Ceplis juga diceritakan kepada Purwanto serta tetangga lain. Bahkan beberapa kali berusaha untuk meninggalkan rumah. Entah untuk pergi jauh atau memang berniat mengakhiri hidup.

Wanita bernama Pawiro alias Ceplis ditemukan tewas di dalam sumur dan dievakuasi tim Polsek Srandakan serta SAR BPBD Bantul di Pedukuhan Polosiyo RT 2, Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul, Kamis (7/1/2021). (SuaraJogja.id/HO-Polsek Srandakan)
Wanita bernama Pawiro alias Ceplis ditemukan tewas di dalam sumur dan dievakuasi tim Polsek Srandakan serta SAR BPBD Bantul di Pedukuhan Polosiyo RT 2, Kalurahan Poncosari, Kapanewon Srandakan, Kabupaten Bantul, Kamis (7/1/2021). (SuaraJogja.id/HO-Polsek Srandakan)

Stres Keluarga di-Covid-19-kan

Kisah memilukan lainnya dialami keluarga Wawan. Dua anaknya mengalami beban mental setelah ibunya yang meninggal dunia dicap akibat Covid-19.

Wawan bercerita istrinya diketahui mengalami kondisi kesehatan yang memburuk akibat pneumonia. Sempat dirawat di PKU Gamping, Wawan meminta istrinya segera dirujuk atau dibawa ke PKU Kota guna mendapat perawatan lebih intensif

"Lalu Om yang tadi mengantar bilang ke dokter yang menangani tapi usulan untuk mengirim ke Kota ditolak. Alasannya kondisi sedang tidak stabil. Akhirnya kondisinya terus memburuk sampai akhirnya meninggal dunia," ujarnya.

Setelah dinyatakan meninggal dunia, Wawan dan keluarga diberikan pilihan. Pilihan untuk dimakamkan secara umum atau dengan menggunakan protokoler pemakaman Covid-19. 

Mengingat hasil tes cepat antigen yang diawal menyatakan bahwa sang istri negatif Covid-19, Wawan memilih untuk dilakukan pemakaman secara umum. Namun tidak lama berselang, ia diberi kabar lagi bahwa pemakaman harus dilakukan menggunakan protokoler Covid-19. 

"Hal ini sempat membuat ramai, sebab tidak ada hubungan Covid-19 kok harus dimakamkan dengan protokoler Covid-19. Dengan alasan tes awab PCR belum keluar hasilnya. Takut terjadi sesuatu maka harus protokoler. Saya mengalah, akhirnya pada Sabtu 16 Januari 2021, istri dimakamkan pada pukul 11.30 siang sesuai protokoler pemakaman Covid-19," terangnya.

Beberapa hari berselang, salah seorang kader dusun menghubungi Wawan untuk meminta surat kematian dan keterangan dari PKU Gamping. Ditambah dengan data diri miliknya, istrinya dan kartu keluarga. 

Kabar mengejutkan bahwa, kader dusun yang menghubungi Wawan ini menyatakan bahwa istrinya positif Covid-19 saat meninggal dunia. Wawan yang tak terima dengan kabar tersebut meminta penjelasan lebih lanjut terkait kabar itu. 

Sebab pihak rumah sakit atau PKU Gamping saja saat itu belum berani memberi statement atau pernyataan bahwa istrinya meninggal dengan status positif Covid-19. Dikatakan si kader dusun, itu hasil tersebut didapat dari puskesmas.

"Sekitar satu jam setelah dihubungi oleh kader tersebut dari puskesmas memberi tahu saya. Intinya menyatakan kalau istri saya positif Covid-19. Ketika ditanya hasil itu dari mana, dijawab oleh puskesmas dari Dinkes Sleman secara resmi," ucapnya.

Agar lebih meyakinkan, Wawan meminta bukti secara fisik yang menyatakan bahwa sang istri meninggal akibat terpapar Covid-19. Namun ternyata pihak puskesmas belum bisa memberikan bukti tersebut. 

"Katanya belum ada, saya bilang padahal di dusun kami semua orang sudah ribut, kalau istri saya positif Covid-19 dan itu sumbernya dari puskesmas. Pihak puskesmas hanya bilang akan diberikan kalau sudah ada bukti fisiknya nanti," sebutnya.

Wawan menjelaskan, tidak tega melihat keluarga istrinya, keluarganya sendiri hingga anak-anaknya mendapat respon yang kurang baik di masyarakat. Akhirnya terjadi kesepakatan antara pihaknya dengan pihak puskesmas. 

"Kami memutuskan saat itu esok pagi akan melakukan tes antigen di PKU Kota yang lebih netral. Puskesmas menyarankan untuk karantina mandiri dulu, baru nanti hari Jumat 22 Januari akan diberikan tes antibodi gratis. Tapi waktu itu terlalu lama untuk penderitaan anak-anaknya dan setelah dihitung lagi oleh puskesmas ternyata bisa," tuturnya.

Akhirnya pada Selasa 19 Januari 2021, Wawan dan kedua anaknya menjalani tes antigen dan hasilnya dinyatakan negatif. Hasil itu langsung Wawan kirimkan ke pada puskesmas dan pihak RT tempatnya tinggal. 

Hingga saat itu, hasil dari swab PCR mendiang istrinya belum juga keluar. Baru akhirnya pada sekitar sore harinya, ia mendapat semacam versi bajakan atau tidak resminya dari rumah sakit bahwa hasil PCR istri negatif Covid-19. 

Ternyata hasil itu sesuai dengan hasil resmi yang dikeluarkan oleh PKU Gamping yang menyatakan mendiang istrinya negatif Covid-19. Hasil tes yang keluar pada Rabu 20 Januari 2021 itu langsung dikirimkan ke pihak puskesmas dan saudara-saudaranya.

"Saya ya emosilah, karena anak-anak saya sudah kehilangan ibunya masih kayak gitukan. Saya marah saat menghubungi puskesmas, mereka bilang akan memberikan surat klasifikasi dari Dinkes. Namun buat apa? Apakah akan menyelesaikan masalah? Tidak cukup minta maaf, karena minta maaf dengan saya itu percuma, yang ngomong itu bukan saya tapi di luar orang-orang yang menyebarkan," ucapnya. 

Menurut Wawan, akan lebih baik jika klarifikasi itu mendatangi langsung orang yanh menyebarkan berita bahwa istrinya itu positif Covid-19. Lalu disusul dengan datang ke dukuh setempat serta para kadernya yang sempat mengabarkan hal serupa.

"Agar sesuai jalur saat ia menyebar hoax dan kenyataannya sekarang," tandasnya. 

Bahkan disampaikan Wawan, bukan hanya istrinya yang telah difitnah terkena Covid-19. Setelah itu pun, saat akan melakukan pengajian bersama, ada komandan dari sebuah ormas yang menghalangi orang-orang yang datang. 

Padahal tempat yang digunakan untuk mengaji itu berbeda dengan rumah yang selama ini ditinggali, Wawan bersama keluarganya. Dan selama istrinya sakit, yang bersangkutan hanya berhubungan dengan Wawan dan anak-anaknya saja tidak sempat bersinggungan dengan keluarga yang lain. 

"Rumah sudah dibedakan, bahkan saat pemakaman juga tidak mampir kerumah tapi langsung ke makam dengan protokoler Covid-19. Namun komandan salah satu lembaga masyarakat itu tadi juga berpesan kepada Kyai di wilayah situ, untuk tidak boleh datang atau mengaji di rumah yang bersangkutan karena istri saya positif Covid-19," sambungnya.

Lebih miris lagi, sang Kyai, mengumumkan kabar itu di masjid kepada jemaah yang hadir. Intinya mengimbau bahwa tidak boleh dekat-dekat dengan keluarga Wawan karena istrinya meninggal terpapar Covid-19. 

Wawan menyebut padahal hasilnya pun belum pasti tapi sudah diumumkan seperti itu. Ketika hasilnya keluar, hingga saat ini tidak ada permintaan maaf kepada Wawan dan keluarga dari pihak-pihak tadi. 

Permintaan maaf hanya datang dari puskesmas dan itu pun juga melalui sambungan telepon. Disebutkan Wawan, suara-suara yang membicarakan kalau istri saya positif Covid-19 masih ada. 

"Berarti istilahnya mereka itu lempar batu sembunyi tangan. Harapan untuk diklarifikasi itu tidak ada. Malah saya yang klarifikasi. Walaupun hanya dari medsos, mulai dari status saya, anak-anak saya, saudara saya, semua saya gunakan," tuturnya.

Wawan yang mempunyai dua orang anak itu tidak memungkiri bahwa kejadian yang menimpa keluarganya berpengaruh kepada psikis anak-anaknya. Terlebih anak keduanya yang memang dekat dengan sang ibu.

"Anak saya dua, yang besar sudah kuliah semester 6, yang kecil kelas 1 SMP nah dia yang dekat dengan ibunya. Jelas kejadian kemarin itu berpengaruh kepada psikis anak saya juga, sebab temannya kan tidak hanya satu RT saja," ungkapnya. 

Bagaimana tidak, anaknya yang masih duduk di bangku SMP harus kehilangan ibunya dengan keadaan yang difitnah sedemikian rupa. Perubahan perilaku itu juga semakin dirasakan Wawan dalam beberapa waktu terakhir semenjak kejadian itu.

Ilustrasi mayat/ kamar mayat/ jenazah. (Shutterstock)
Ilustrasi mayat/ kamar mayat/ jenazah. (Shutterstock)

Saat ini, anak keduanya itu tidak berani pulang ke rumah tempat tinggalnya. Disampaikan Wawan, anaknya itu memilih untuk tinggal bersama Om dan neneknya yang memang tidak jauh dari rumahnya. 

"Sampai sekarang dia itu tidak berani pulang ke rumah, memilih untuk bersama om dan simbahnya yang hanya beda RT. Setelah kejadian itu sama sekali, teman-temannya pun tidak ada yang datang. Tidak ada yang menemani, sehingga mainnya cuma dengan adik sepupunya. Dan itu juga di rumah saja tidak berani keluar," jelasnya.

Padahal kata Wawan, sebelumnya anaknya itu biasa beraktivitas di rumah. Bahkan tidak jarang ia keluar rumah untuk membeli makanan ikan. 

"Tapi setelah beredar kabar itu. Namanya anak kecil ya tambah down lagi," tambahnya.

Merespon kondisi anaknya yang seperti itu, Wawan selalu hadir untuk membesarkan hatinya. Termasuk saat sebelum akhirnya memilih untuk berangkat melangsungkan tes cepat antigen tersebut.

"Saya besarkan hatinya, jadi sebelum berangkat swab antigen itu saya beri pengertian. Kalau dia tidak ditenangkan pasti dia sudah mengamuk. Tapi saya coba tenangkan akhirnya ia setuju untuk menjalani tes antigen," katanya.

Begitu juga setelah tes antigen tersebut dilakukan, ia kembali dihibur dan dibujuk untuk jalan-jalan. Baik itu untuk membeli baju atau perlengkapan yang diperlukannya. 

Pandemi Covid-19 menambah jumlah orang depresi

Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Bantul menyebutkan jika kasus depresi yang ada di Bantul mencapai ratusan, termasuk kasus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Namun hal itu tidak semua karena Covid-19.

Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Dinsos P3A Kabupaten Bantul, Tunik Wusri Arliani menjelaskan jika persoalan yang ditangani instansinya kebanyakan ODGJ yang terlantar.

Pihaknya mengaku tidak ada kajian tentang orang yang depresi karena Covid-19. Namun ada laporan orang stres atau depresi yang terjadi selama 2020. Sedikitnya ada lima yang menjadi perhatian Dinsos.

"Jika kondisi covid-19 itu memang ada yang depresi. Tapi apakah penyebabnya karena Covid-19 belum kami kaji hingga ke sana. Januari 2021 kemarin ada 3 orang yang mendatangi kami," ujar Tunik ditemui SuaraJogja.id, Sabtu (23/1/2021).

Ia menyebut bahwa orang atau keluarga yang terindikasi mengalami depresi lebih memilih membawa ke rumah sakit khusus kejiwaan untuk penanganan. Sehingga data yang masuk ke Dinsos tidak begitu banyak.

Menanggapi kasus kematian yang erat dengan unsur bunuh diri di Polosiyo RT 2, Tunik mengatakan perlu kajian lebih dalam apakah benar korban memilih mengakhiri hidupnya karena situasi pandemi ini.

Adanya penyakit mental atau depresi bisa dipicu karena sebelumnya korban memiliki sakit depresi namun sudah sembuh. Karena faktor pandemi, depresi itu muncul kembali.

Tunik menambahkan, selain faktor tersebut. Depresi karena keturunan bisa terjadi. Misal, orang tua korban pernah mengidap gangguan jiwa atau depresi. Sehingga menurun kepada generasi di bawahnya.

Secara faktanya, memang pandemi Covid-19 menambah jumlah orang depresi. Tunik menjabarkan persoalan paling terlihat karena masalah ekonomi yang dialami warga yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

"Di 2020 itu pas banyak perusahaan tutup, orang juga banyak kena PHK. Mulai dari situ banyak yang terganggu mentalnya," kata Tunik.

Pasien stres di Puri Nirmala melonjak

Penambahan kasus depresi di tengah pandemi covid-19 dibenarkan juga oleh instansi rumah sakit yang menangani gangguan jiwa di Yogyakarta. Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala mencatat ada penambahan pasien depresi dan stress mencapai 30-40 persen.

Direktur Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala, dr. Fiddina Mediola Sp.KJ menuturkan selama tahun 2020 jumlah pasien baru dalam sebulan mencapai 30 orang. Jika dirata-rata per hari ada satu orang baru yang mengalami depresi dan stres.

Jumlah tahun 2020 lebih tinggi dibandingkan tahun 2019, dimana jumlah perbulannya RS setempat menerima lebih kurang 20 pasien baru karena depresi.

"Memang pada tahun 2020 menambah jumlah pasien baru yang mengalami depresi dan cemas. Jadi apapun efek samping negatif Covid-19 kepada lingkungan sosial itu menjadi 1 masalah timbulnya depresi," ujar dokter Diola ditemui SuaraJogja.id, Jumat (29/1/2021).

Diola menjelaskan penyebab depresi di tengah pandemi covid-19 cukup beragam. Adanya tekanan masyarakat tetap berada di rumah lalu adanya PHK yang membuat orang kesulitan ekonomi.

Ia juga menambahkan, orang-orang yang sebelumnya mengalami gangguan jiwa berat namun sudah pulih, bisa kembali kambuh karena stressor (permasalahan) dampak dari Covid-19.

Direktur Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala, dr Fiddina Mediola, Sp. KJ ditemui  wartawan  di ruang kerjanya, Jumat (29/1/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]
Direktur Rumah Sakit Khusus Puri Nirmala, dr Fiddina Mediola, Sp. KJ ditemui wartawan di ruang kerjanya, Jumat (29/1/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

"Misal dia sudah stabil, namun masih mengkonsumsi obat. Karena mungkin di PHK sehingga tidak bisa bekerja, jadi muncul lagi (depresi)," katanya.

Faktor lainnya yang memicu depresi adalah stigma masyarakat. Ketika ada satu orang terkonfirmasi Covid-19. Keluarga orang tersebut tentu akan mendapat pandangan yang sama karena memiliki kemungkinan terpapar virus, sehingga dijauhi.

Perubahan perilaku orang yang depresi juga bisa terlihat dengan mudah. Dokter Diola menjabarkan ciri-ciri terlihat jika orang lebih banyak merenung, sedih, tidak bergairah untuk beraktivitas. Selain itu konsentrasi menurun, merasa sendiri bahkan tidak berguna terindikasi mengalami depresi.

"Ciri-ciri lainnya jika depresi dia mengurung diri, tidak mau bertemu orang, menangis dengan waktu yang lama bahkan menjauhi lingkungan sekitar," ujarnya.

Pada perkembangan Covid-19 saat ini ciri-ciri depresi bisa ditunjukkan orang dari unggahan di media sosial. Ia menjelaskan ada istilah cry for help atau mencari perhatian.

Pada ciri-ciri itu, orang merasa ingin bunuh diri untuk menarik perhatian orang lain. Kendati demikian, kata Diola, orang tersebut meminta bantuan. Maka dari itu perlu didekati untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan.

Kasus bunuh diri di Bantul yang dipicu karena Covid-19, kata Diola sudah masuk dalam tahap gangguan jiwa berat. Biasanya, pasien memiliki halusinasi yang tidak bisa dipahami oleh orang di dekatnya.

"Jika memiliki niat atau percobaan bunuh diri sudah termasuk gangguan jiwa berat. Itu harus dilakukan rawat inap untuk pemulihannya. Pertama kami berikan obat-obatan untuk mengurangi agresifitasnya termasuk pikiran realistiknya. Setelah itu baru kami lakukan psikoterapi," ujar dia.

Lebih lanjut, pasien depresi kebanyakan usia produktif, berkisar usia 20-50 tahun. Diola juga menyebut jika mahasiswa banyak yang berobat ke RS Puri Nirmala.

"Kebanyakan stressor atau permasalahannya karena tekanan tugas yang banyak. Mendapat banyak tugas online, selalu di depan laptop, tidak ada tatap muka, tidak ada diskusi bersama. Karena tujuannya bertemu bukan hanya diskusi. Jadi misal antara satu orang butuh tepukan, atau sentuhan langsung," ujar dia.

Sleman tak ada lonjakan

Berbeda dengan data yang tercatat di Puri Nirmala Yogyakarta, di wilayah Sleman tidak diketahui adanya peningkatan jumlah orang stres akibat terdampak Covid-19.

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia sebagai salah satu fasilitas kesehatan untuk kasus gangguan jiwa pun menyatakan pandemi Covid-19 tetap tidak menimbulkan lonjakan pasien baru baik yang rawat jalan ataupun yang rawat inap.

Direktur Utama RSJ Grhasia Akhmad Akhadi mengatakan, jika mengacu pada mekanisme pemeriksaan gangguan jiwa itu mengenal dengan ada yang disebut predisposisi, predileksi dan trigger. 

Dijelaskan Akhmad, predileksi dan predisposisi memiliki pengertian yang hampir sama. Yakni faktor-faktor resiko yang mempengaruhi kesempatan terjadinya gangguan jiwa itu muncul lebih besar. 

Contoh misal trauma psikis yang berat, kemudian sifat dari seseorang. Dikatakan Akhmad, menurut banyak laporan orang introvert itu lebih beresiko menderita gangguan jiwa daripada yang ekstrovert. 

"Sementara untuk trigger atau pemicunya itu ya macam-macam. Salah satunya misalnya kehilangan pasangan, pekerjaan, di situlah kemudian termasuk pandemi. Ketika ada pandemi itu bukan pada pandeminya, tapi pada dampak langsung dari pandemi itu," tuturnya. 

Akhmad mengatakan akibat pandemi banyak orang yang kemudian terdampak langsung, di samping penderita yang terpapar langsung. Namun ada juga kemudian orang-orang yang pendapatannya berkurang akibat kebijakan yang diambil saat pandemi, misal harus di rumah, aktivitas perekonomian harus dibatasi dan lain sebagainya.

Menurutnya, pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini sebetulnya tidak berpengaruh secara bermakna. Hal itu dapat dilihat dari riwayat kunjungan rawat jalan, terkhusus pada pasien baru yang juga tidak mencolok. 

"Jadi data orang atau pasien yang baru sekali datang melakukan kunjungan itu tidak mencolok. Kalau kita lihat di bulan Januari ada 302 orang baru, tapi pasien lamanya 2460 orang. Kemudian di Maret dan April saat mulai pandemi Covid-19, pasien baru hanya 355 orang, kalau dibandingkan dengan bulan sebelumnya naik hanya sekitar 53 orang yang baru. Tetapi pasien lamanya 2465 orang. Nah sehingga pasien baru ini kita lihat tidak ada kemudian peningkatan yang sangat mencolok. Selama ini fluktuatif dengan tidak ada peningkatan yang sangat signifikan atau mencolok dan masih didominasi pasien lama. Jadi kalau ada pertanyaan apakah pandemi Covid-19 berdampak langsung dengan meningkatnya orang dengan gangguan jiwa, jawabannya tidak," ucapnya. 

Justru, kata Akhmad, salah satu dampak pandemi Covid-19 yang dirasakan adalah kunjungan pasien baik yang rawat jalan maupun rawat inap justru menurun. Terkhusus di awal pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia tepatnya di bulan Maret, April, dan Mei.

Penurunan kunjungan ini dapat disebabkan banyak faktor. Salah satunya termasuk dengan kekhawatiran masyarakat terpapar Covid-19 apalagi di rumah sakit. 

Itu juga yang menyebabkan masyarakat berpikir untuk tidak melakukan format pelayanan seperti biasa di fasilitas kesehatan  yang ada. Pilihan masyarakat akan sepenuhnya untuk lebih memilih berada di rumah atau meminimalisir kontak dengan orang lain. 

Selain itu meskipun memang belum terbukti karena dampak langsung, namun yang pasti pandemi menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi atau aktivitas ekonomi masyarakat. Sehingga mengakibatkan secara langsung menurunnya daya beli dan membuat orang juga menjadi berhemat. 

"Jadi untuk orang yang ke rumah sakit kalau yang masih bisa ditunda meskipun biaya rumah sakit itu difasilitasi atau ditanggung oleh BPJS tapi tetap ada uang untuk transpor dan lainnya. Itu yang menyebabkan kunjungannya menurun," ujarnya. 

Akhmad memaparkan pasien yang dirawat inap sepanjang tahun 2019 sejumlah 1485 orang sementara di tahun 2020 turun menjadi 1484. Jika dilihat dari penurunan selama setahun itu dapat dikatakan masih relatif stabil.

Liputan khas ini dikerjakan reporter SuaraJogja.id: Muhammad Ilham Baktora dan Hiskia Andika Weadcaksana

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini