SuaraJogja.id - Awal bulan Februari yang identik dengan hari kasih sayang atau Valentine, justru kali ini diselimuti isu krusial soal kudeta.
Bukan perkara main-main, dua kudeta ramai menghiasi timeline sosial media hingga jadi headline media massa.
Kudeta yang pertama yaitu gerakan militer di Myanmar yang berusaha merebut kekuasan dari Aung San Suu Kyi.
Dipicu isu adanya kecurangan dalam pemilihan umum, Aung dan sejumlah tokoh Partai National League of Democracy ditahan pada Senin pekan lalu. Otoritas pemerintahan pun diambil alih sepenuhnya oleh militer.
Bersamaan dengan itu, kudeta nyatanya juga muncul di panggung politik tanah air. Lewat siaran pers secara langsung, Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono menghembuskan adanya upaya pengambilalihan paksa kepemimpinan partai berlambang bintang mercy tersebut.
Geger gedhen pun tak terelakkan. Mirip kudeta cinta yang viral lewat ucapan Vicky Prasetyo, kudeta ala AHY ini pun jadi sorotan.
Hembusan soal kudeta itu makin memanas setelah putra sulung mantan Presiden SBY itu menuding adanya campur tangan orang Istana yang ikut campur urusan dapur Partai Demokrat. Tudingan itu belakangan mengarah pada Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko.
kata Kudeta diketahui menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perebutan kekuasaan (pemerintahan) secara paksa. Istilah kudeta secara harfiah berasal dari bahasa Prancis.
Menurut sejarawan Edward Luttwak dalam bukunya Kudeta: Teori dan Praktik Penggulingan Kekuasaan (1999), ada tiga tipe upaya perebutan kekuasaan secara paksa.
Ia menyebutnya dengan putsch, pronounciamiento serta coup atau kudeta.
Menurutnya, putsch biasanya terjadi ketika terjadi perang atau pascaperang yang biasa dilakukan satu faksi angkatan darat, lalu pronounciamiento merupakan kudeta militer ala Spanyol atau Amerika latin yang melibatkan seluruh tentara. Sedangkan coup melibatkan selain militer bisa pula orang sipil.
Kudeta membutuhkan bantuan intervensi massa atau kekuatan bersenjata yang besar. Prasyarat kudeta: a) krisis ekonomi berkepanjangan diikuti pengangguran besar-besaran, b) perang yang lama atau kekalahan besar dalam bidang militer/diplomatik, c) instabilitas kronis di bawah sistem multipartai.
Lantas jika mengacu pada prasyarat tersebut tepatkah kisruh yang menimpa Partai Demokrat bisa disebut sebagai kudeta?
Menurut pakar linguistik UGM, Suhandono, makna kata seringkali mengalami perkembangan. Begitu pula dengan makna kudeta yang dalam beberapa pekan terakhir santer dibicarakan.
"Kita meminjam kata itu lalu sekarang dipakai untuk makna yang sedkit berbeda tetapi mirip dengan makna semula seperti yang digunakan dalam kasus di Partai Demokrat," ucapnya kepada SuaraJogja.id.
Pemilihan kata kudeta untuk mendeskripsikan kisruh di partai Demokrat, menurutnya tak salah. Sebab, dengan kata itu orang lebih dapat memahami apa yang tengah terjadi di Partai berwarna biru laut tersebut.
"karena dengan kata itu orang dapat memahami apa yang terjadi di Partai Demokrat, itu artinya kata tersebut diterima," ucapnya.
Internal partai bobrok mudah diobok-obok
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono menyebut bahwa upaya kudeta atau konflik di internal partai seperti yang kiwari dialami Partai Demokrat merupakan sesuatu yang lumrah.
Menurutnya, jika berbicara soal partai politik di manapun, mereka merupakan istitusi yang sarat kepentingan. Sehingga tak bisa dinafikkan apabila banyak perebutan kepentingan di dalamnya yang kemudian memicu kudeta.
"Partai negara itu kan bicara struktur dan infrastruktur politik yang didalamnya sarat kepentingan. Dan adalah sesuatu yang lumrah apabila konflik terjadi sebab ada banyak ke pentingan di dalamnya," terangnya.
Ia menerangkan, sebelum muncul kisruh di Partai Demokrat, situasi serupa juga terjadi di sejumlah partai lainnya, dari Golkar, PDI hingga PPP.
Lantas mengapa partai dengan basis massa yang besar mudah sekali diobok-obok hingga muncul kisruh di internal?
Tunjung mengungkapkan, bahwa banyak partai lemah di struktur internalnya.
"Ya, kalau mereka kuat dan solid di internal, masalah-masalah seperti yang terjadi di Demokrat harusnya bisa diselesaikan secara internal dan senyap," ujarnya.
Kelemahan kedua yakni proses rekruitmen anggota partai yang kurang baik hingga kaderisasi yang tak berkesinambungan.
"Ketiga, dengan tak ada kaderisasi yang baik, hal itu memicu sebagian partai kebingungan mencari pengganti pucuk pimpinan hingga harus mencari figur lain di luar partai. Ini yang kemudian memicu konflik," katanya.
Merujuk dengan apa yang terjadi di partai Demokrat, Tunjung melihat gelagat bahwa langkah yang diambil AHY selaku pimpinan partai mengumumkan secara frontal terkait kisruh di internal partai ini bisa diduga merupakan skenario dari persiapan menghadapi pemilu 2024.
Tetapi, ia menekankan jika langkah yang diambil AHY ini merupakan perjudian besar. Sebab, kudeta yang dihembuskan bisa berimplikasi pada nasib mereka di 2024 mendatang.
"Cara AHY ini dengan mempublikasikan adanya upaya kudeta bisa berimplikasi besar jika tujuannya untuk pemilu 2024. Ini gambling ya, bisa jadi popularitasnya naik sekarang, tapi ini juga kalau gagal diselesaikan soal isu kudeta ini, maka tak menutup kemungkinan akan jadi masalah. Nasib mereka di Pemilu mendatang jadi taruhannya," jelasnya.
Partai Demokrat paling seksi
Ahli hukum Tata Negara dan pengamat politik, Refly Harun sepakat bahwa hembusan AHY soal kudeta itu merupakan skenario untuk menghadapi Pemilu 2024.
Tetapi, ini bukan saja sarat kepentingan untuk Partai Demokrat, melainkan juga pihak-pihak lain yang punya target di pemilu 2024 mendatang.
Menurut analisis Refly, mengapa Partai Demokrat jadi sasaran kudeta, tak lain lantaran mereka saat ini merupakan Partai di luar pemerintahan bersama PKS dan juga PAN. Tetapi, dari ketiganya yang masuk spektrum kiri hanya Partai Demokrat.
"Sederhananya begini, kita tahu bahwa partai yang ada saat ini cuma tiga yang berada di luar istana, dari partai yang tiga ini yang dalam spektrum kiri itu hanya Demokrat. Maka sebenarnya jauh lebih mudah mengambil Demokrat dari pada PKS, karena PKS partai yang ideologis, sehingga mengambil PKS jauh lebih berat, karena PKS pasti mensyaratkan ideologi kanannya," kata Refly di channel YouTubenya, Selasa (2/2/2021).
Sedangkan PAN, bisa dibilang merupakan partai kanan tetapi cenderung lebih moderat. Apalagi PAN selama ini juga sudah dianggap punya hubungan nan harmonis dengan Istana.
"Kita tahu PAN sudah sangat bersahabat dalam tanda kutip dengan pemerintahan Jokowi ini. kita tahu Zulhas telah katakan tidak mendukung pembahasan RUU pemilu yang tentu ini merupakan sikap presiden Jokowi," terangnya.
Menurutnya, dengan mengambil Demokrat, tentu dianggap strategis untuk hegemoni penguasaan partai politik untuk menentukan arah perpolitikan kedepan.
"Karena kalau misalnya Demokrat bisa dilumpuhkan di wing oposisi tinggal PKS aja sendirian, maka itu akan jauh lebih mudah apalagi Presidential Threshold dipertahankan maka hegemoni politik kiri itu akan semakin kuat," tukasnya.