Bukan Hukum Mati, Busyro: Edhy dan Juliari Layak Dihukum Seumur Hidup

Sebelumnya Wamenkumham menyebut 2 menteri yang korupsi di masa pandemi covid-19 layak mendapat hukuman mati.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 18 Februari 2021 | 15:05 WIB
Bukan Hukum Mati, Busyro: Edhy dan Juliari Layak Dihukum Seumur Hidup
Penampakan rekonstruksi kasus suap eks Mensos Juliari P Batubara terkait penyaluran bansos Corona. (Suara.com/Welly Hidayat).

SuaraJogja.id - Belum lama ini Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut bahwa dua mantan menteri di Kabinet Indonesia Maju, yakni mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak untuk dijatuhi ancaman hukuman mati. Menurutnya hal itu layak dilakukan setelah keduanya melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19.

Mantan Ketua KPK Busyro Muqqodas ikut angkat bicara terkait pernyataan tersebut. Ia menilai hukuman yang layak diterima untuk kedua mantan menteri itu bukan hukuman mati namun justru bisa diganti dengan hukuman penjara seumur hidup.

"Untuk dua [mantan] menteri itu saya cenderung hukuman [penjara] seumur hidup seperti Akil Mochtar dulu," kata Busyro saat dihubungi awak media, Kamis (18/2/2021).

Busyro mengatakan landasan konsep filosofis dari statement pemerintah tersebut adalah tentang isu korupsi terkait dua pejabat yang semuanya merupakan pembantu presiden. Bahkan jika dilihat sudah ada kasus di periode pertama yang melibatkan bekas Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi dan eks Menteri Sosial lama Idrus Marham.

Baca Juga:Wamenkumham Sebut Eks Mensos Bisa Dituntut Mati, PDI Perjuangan Meradang

"Nah kasus itu menjadi catatan yakni bahwa kasus korupsi itu merupakan jenis contoh korupsi politik atau state capture corruption yang dilakukan justru oleh perwakilan partai politik pusat yang sedang diamanati sebagai Menteri di kabinet," ujar Busyro saat dikonfirmasi awak media, Kamis (18/2/2021).

Sehingga kasus itu berada dalam episentrum kekuasan pemerintah dan partai politik (parpol). Sebab memang partai politik yang menunjuk orang-orang tersebut.

Dengan kondisi tersebut, Busyro menyarankan untuk lebih berfokus pada pembuktian akar masalahnya. Pasalnya beberapa waktu yang lalu pun pernyataan tentang hukuman tersebut juga sudah pernah diutarakan.

"Menurut hemat saya berdasarkan data di KPK dulu 4 tahun kami di sana dan mempelajari periode Pak Antasari juga itu kan korupsi politik itu sudah ada contoh-contohnya. Lalu kami lakukan kajian saat itu akar masalah adalah aspek hulu yaitu demokrasi transaksional yang itu sumbernya Undang-Undang Parpol, Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada," terangnya.

Busyro menegaskan ketiga undang-undang tersebut berperab krusial dalam menjadikan kekuasaan atau pemerintah yang korup. Bermula dari pemilu atau pilkada itulah, kekentalan suap sudah mulai dapat dirasakan.

Baca Juga:Jadi Wamenkumham, Edward Omar Diminta Tak Banyak Ngoceh Kasus

Pemilu dan Pilkada, kata Busyro menjadi ajang transaksional itu yang menghasilkan birokrasi pusat dan daerah yang korup. Dari sana persoalab itu muncul dan menjatuhi hukuman mati bukan menjadi jawabannya.

"Jadi kalau sekarang mau tuntutan hukuman mati itu tidak menyelesaikan masalah. Karena akar masalahnya tidak pernah diungkit-ungkit, tidak pernah dipermasalahkan dan DPR yang otomatis juga didukung pemerintah kan mayoritas parpol tidak menghendaki revisi Undang-Undang pemilu dan pilkada itu tadi. Nah itu jadi bukti yang aktual," tegasnya.

Disampaikan Busyro, tuntutan hukuman mati terhadap koruptor sejauh ini belum memiliki akar filsafat yang memang kuat. Terlebih lagi penjatuhan hukuman atau vonis itu memerlukan proses yang cukup panjang hingga akhirnya bisa diterima oleh Presiden.

"Tuntutan hukuman mati itu sifatnya elementer tidak memiliki akar filsafat. Tidak memiliki konsep yang filosofis. Jadi hanya reaksi saja dan itu tidak akan menimbulkan efek jera," tegasnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Presiden juga memiliki andil yang besar untuk memutuskan vonis hukuman mati tersebut dapat dilakukan atau tidak. Saat ini, kata Busyro yang menjadi pertanyaan adalah berani tidaknya Presiden tidak memberi grasi kepada dua menteri yang berasal dari partai dominan partai pendukung koalisi.

Sehingga Busyro menuturkan penyelesaian kasus korupsi politik itu harus dibuktikan secara mendalam dari hulu permasalahannya. Bukan hanya menyetuh hilir yang sejak lama memang masih dilakukan.

Pimpinan KPK sekarang, kata Busyro, tertantang berat kejujurannya, dengan dihadapkan situasi terkait berani tidaknya menelisik TPPU sampai ke induk parpol yaitu PDIP dan Gerindra.

"Mending itu daripada hukuman mati yang saya juga ragu hukuman mati itu juga syaratnya apa bisa terpenuhi dan apakah hakim berani. Sampai sekarang belum ada hukuman mati untuk koruptor itu," tandas pria yang juga merupakan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM dan Kebijakan Publik tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini