SuaraJogja.id - Langkah DPRD Sleman yang mendorong anggaran pengadaan jaring di sawah untuk menangkap burung pipit mendapat berbagai macam respon.
Rencana tersebut di satu sisi dianggap dapat mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Namun di sisi yang lain para petani di Sleman menyatakan cukup terganggu dengan kehadiran burung pipit di masa panen padi. Bahkan burung pipit tersebut sudah masuk dalam taraf meresahkan seperti hama lainnya semisal tikus.
"Wong tikus itu sebenarnya tidak makan [tanaman padi] cuma merusak yang makan justru burung pipit itu," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sidomulyo Jumeni saat dihubungi awak media, Jumat (26/3/2021).
Jumeni menyebut bahwa memang jika petani memanen padi secara serempak dalam jumlah yang banyak kerugian itu belum akan terasa. Namun keganasan burung pipit itu akan dirasakan oleh petani ketika hanya memanen beberapa spot padi saja.
Baca Juga:Masjid Agung Sleman Siap Jadi Lokasi Imunisasi COVID-19
"Ya sebenarnya kalau pas nanem padi serempak itu tidak terasa tapi kalau panen padinya itu tidak serempak atau hanya spot-spot itu bisa habis dimakan burung pipit itu," tuturnya.
Diyakini Jumeni, dari sisi habitat burung pipit tidak akan habis. Oleh sebab itu langkah-langkah untuk menangkap burung pipit itu pun bukan menjadi masalah yang besar.
"Dijaring pun tidak masalah. Habitat masih ada, kalau dipasang jaring nanti cuma berkurang kalau secara alam masih. Taruhlah ada 1000 ekor burung lalu yang terjaring nanti hanya 40 persennya saja," terangnya.
Menurutnya saat ini pemasangan orang-orangan sawah untuk mengusir rombongan burung pipit itu tidak lagi efektif. Pasalnya burung pipit hanya takut pada barang yang bergerak saja.
Mengenai anggaran yang diajukan untuk pengadaan jaring sebesar Rp100 juta lebih, kata Jumeni masih dalam jumlah yang wajar. Menurutnya akan lebih baik jika rencana itu dilakukan uji coba dulu guna melihat seberapa efektifnya langkah tersebut.
Baca Juga:Gelandang Anyar Persib Farshad Noor Bertolak ke Sleman pada 26 Maret
"Kalau anggaran hanya Rp100-Rp300 juta itu wajar untuk anggaran DPRD. Biar percobaan dulu, kalau itu ngga berhasil itu baru dikritisi tidak apa-apa, tapi ratusan juga saya kira wajar untuk bantu petani. Jadi memang harus seimbang antara hama dan lingkungan. Ini nanti habibat burung pipit juga tidak habis," tandasnya.
Senada, Ketua Forum Petani Kalasan, Janu Riyanto menyebut bahwa burung pipit atau emprit itu memang cukup merugikan petani. Pasalnya rombongan burung emprit kerap memakan bulir padi yang masih tergolong muda.
"Kami mempunyai pendapat bahwa burung emprit sangat merugikan petani. Burung emprit memakan bulir padi yang masih muda," kata Janu.
Bahkan, kata Janu, tidak jarang petani harus menunggu tanaman padinya di sawah agar tidak menjadi santapan burung pipit. Para petani tidak ingin hasil panen padinya terus berkurang.
"Untuk menghalau [burung pipit] petani harus merugi waktu. Ya untuk menunggu padi yang belum masak dari pagi hingga sore. Saat ini burung emprit sudah di atas ambang batas, kasihan petani keluar biaya banyak untuk bisa panen," ucapnya.
Sementara itu Pakar dan pengamat burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Pramana Yuda menuturkan bahwa burung pipit selama ini memang sudah dianggap sebagai hama padi. Namun demikian belum terdapat kajian lebih lanjut terkait tingkat kerugian yang ditimbulkan.
"Selama ini memang kita mengangap burung pipit telah menjadi hama padi. Namun belum ada kajian yang mendalam seberapa tingkat kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini mestinya dijawab dulu, sebelum memutuskan perlu dikendalikan dengan penangkapan," jelas Yuda.
Menurut Yuda, petani sebenarnya sudah cukup pandai dalam menghadapi hama burung dengan memedi sawah dan lainnya. Hingga sekarang juga ada pemasangan jaring yang berada di atas sawah untuk meminimalisir serangan burung pipit.
Beberapa tempat di Bali, kata Yuda, dapat digunakan sebagai percontohan perihal kontrol populasi burung pipit. Di sana petani justru membuat sarang buatan untuk burung pipit, lalu setelah menetas kemudian dipanen.
Burung pipit yang dipanen itu nantinya akan dikonsumsi oleh masyarakat. Walaupun memang sekarang praktik ini juga sudah mulai jarang dilakukan.
"Cara terakhir ini contoh bentuk kontrol populasi. Cara-cara sejenis bisa dikembangkan bersama dengan petani, tidak perlu dibasmi," ujarnya.
Yuda mengatakan bahwa sebenarnay burung pipit adalah pemakan biji, terutama biji rumput yang berpotensi jadi gulma pertanian. Selain itu burung piput juga memakan buah berry, nektar sehingga juga berperan sebagai penyebar biji dan penyerbuk, serta kadang makan seranga juga.
"Peran ekologis ini belum banyak dikaji juga. Penangkapan burung yang marak juga mengangu keseimbangan populasi burung emprit. Burung pentet dan burung pemangsa lain sekarang sudah jarang karena diburu. Bisa jadi itu yang menyebabkan perkembangan emprit cepat dan berpotensi menjadi hama," paparnya.
Sebelumnya diberitakan bahwa Yayasan Wahana Gerakan Lestari Indonesia (Wagleri) menuntut dan menyarankan DPRD Sleman meninjau kembali upaya anggaran pembiayaan program pembasmian burung pipit. Hal tersebut bertujuan agar pengambil kebijakan tidak salah langkah dalam mengambil keputusan dalam upaya perlindungan keanekaragaman hayati dan menjaga kesehatan ekosistem alam.
Ketua Pengurus Wagleri Hanif Kurniawan mengatakan bahwa kebijakan yang saat ini ada tentang pembasmian burung pipit itu tidak didahului oleh kajian secara ilmiah. Padahal di Yogyakarta terdapat puluhan kampus serta pihak yang berkompeten untuk bisa dilibatkan dalam memberikan solusi.
"Kajian ekologisnya seperti apa kan tidak ada. Apakah kita mau mengulang kebodohan kebijakan Mao Zedong di China kan gitu. Bagaimana kemudian pembasmian burung piput itu malah menjadi malapetaka di sana. Dan ini Jogja loh dengan beberapa puluh kampusnya, kenapa tidak kemudian mereka dilibatkan untuk kemudian kita jajaki dan memberikan solusi terbaik," kata Hanif.
Hanif menuturkan burung pipit ini sangat penting bagi ekosistem yang ada. Pasalnya burung pipit atau yang dikenal emprit ini bisa menjadi makanan bagi predator lain.
Selain itu, pembasmian burung pipit juga dinilai tidak tepat sebab diketahui bahwa burung bertubuh mungil tersebut tidak selalu memakan padi. Rumput hingga gulma yang biasanya menggangu petani pun dapat dijadikan sebagai makanan.
"Nah ini yang tidak pernah terkalkulasi dan diperhatikan. Makanya kita ketika ada kajian ilmiah tentang itu baik melalui kampus di Jogja atau melalui lembaga ilmu pengetahuan di Indonesia itu kan pasti ketemu jalannya," terangnya.