SuaraJogja.id - Jalan hidup seseorang terkadang seperti laju sebuah roller coaster yang bisa sewaktu-waktu naik kemudian tetiba melaju turun dengan begitu cepat. Situasi tersebut seperti yang dirasakan salah satu penghuni Lapas Kelas II B Cebongan Sleman, berinisial AS (36) yang menjalani hidup sebagai seorang mualaf.
Keputusan AS menjadi mualaf terhitung semenjak ia mendekam di Lapas Cebongan selama delapan bulan lalu. Ia mengaku keputusan untuk mualaf bukan karena ikut-ikutan atau didorong oleh teman satu selnya. Melainkan kesadaran AS pribadi, yang dipicu dilematika spiritualitasnya, saat ia masih bisa menghirup kehidupan bebas di luar jeruji besi.
"Sebelum masuk ke sini, saya ibarat tidak punya agama. Muncul keinginan untuk masuk Islam. Lalu setelah masuk sini [lapas], menjalani kehidupan di sini, masuk Islam," kata dia, kala dijumpai di teras masjid Lapas, Rabu (5/5/2021).
Benar-benar memulai menjadi seorang muslim dari nol, AS merasa kini dirinya punya pedoman hidup, punya tujuan hidup dan lebih tenang.
Baca Juga:Tak Ada Overcapacity, Jumlah Warga Binaan Lapas Cebongan Turun Saat Pandemi

AS, yang sempat mengenyam bangku kuliah di sebuah kampus swasta Sleman itu punya tekad. Bila kelak ia keluar dari Lapas, ia ingin benar-benar jauh dari tabiat yang dulu. Karena AS memandang, menjadi seorang muslim maka sudah paham, apa-apa yang dilarang dan apa-apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
Ia berharap, setiap masing-masing orang bisa beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan. Agar secara tidak langsung, bisa menimbulkan kontrol diri untuk menjauh dari tindak kejahatan.
"Mau mencuri ingat Allah, maka tidak jadi mencuri," kata AS yang bertambah usia tiap 5 September ini.
Setelah memeluk Islam, AS ingin terus memperbaiki diri. Hari ke hari ia harus semakin baik. Maka, ia memilih untuk belajar salat dan belajar mengaji.
AS mau tak mau, harus belajar Al Quran dari nol. Bahkan ia sudah berhasil lulus enam jilid Iqro'.
Baca Juga:Petugas Gabungan Gelar Razia di Lapas Cebongan, Ini yang Ditemukan
Tak gengsi ia mengakui, ada kesulitan yang ditemui saat mempelajari huruf-huruf Al Quran. Salah satunya membaca panjang pendek huruf. Tapi ia punya cita-cita, setelah jago membaca iqro', maka ia akan membaca Al Quran.
"Saya ingin cepat khatam Al Quran," ujar AS, matanya berbinar saat berbicara kali ini.
Lelaki yang sudah pernah merantau ke sejumlah tempat di luar Pulau Jawa itu mengingat-ingat. Bahwa ada pengalaman emosional tersendiri yang ia rasakan kala mempelajari huruf hijayah.
"Susah untuk menghafalnya, selain itu ada panjang pendek. Saya sempat mikir 'Kenapa to kok harus panjang pendek?', Sempat hampir putus asa," kata dia.
Kesulitan dan tantangan itu, nyatanya tak mengendurkan semangat AS. Ia terus mempelajari huruf hijayah dan memfasihkan lafal. Sebab ia tahu, membaca iqro' begitu mengena batinnya, membuatnya tenang.
Setelah belajar iqro', AS mengikutinya dengan belajar salat dan hafalan surah pendek. Rasa tenang semakin memenuhi batinnya.
Ia menyebut, ada beberapa surat pendek yang sudah berhasil ia hafalkan. Mulai dari Al Fatihah, Al Fil, Ad Dhuha, surat An nas. Dari beberapa surat tersebut, Al Fatihah menjadi surat favoritnya.
"Dalam surat Al Fatihah, ada kekuasaan Allah. Dulu saya berpikiran Tuhan itu sebetulnya ada atau enggak, ternyata Allah itu ada," tuturnya.
Rutin mempelajari bacaan dan cara membaca Alquran, membuat AS perlahan bisa mengontrol dirinya. Ia tak menolak menyebut, bahwa dirinya sebelum ini bisa disebut sebagai orang yang temperamental.
"Sebagai muslim saya ingin umrah. Saya ingin belajar ngaji, salat. Step by step saya ingin lebih baik. Setelah umrah saya ingin haji," ucapnya.
AS merupakan warga binaan yang diganjar hukuman bui selama tiga tahun, akibat nekat melanggar pasal 372 KUH Pidana (penggelapan).
"Sedihnya berada di sini, saya tidak mau menceritakan pada siapapun. Saya hanya akan cerita baik-baiknya saja," tuturnya.
Bagi AS, puasa Ramadhan ternyata bukan puasa yang terlalu sukar untuk ia lalui. Menurut dia, puasa daud yang punya tingkat kesulitan jauh lebih tinggi. Kebetulan, ia kerap belajar menjalani puasa daud bersama rekan sekamarnya.
"Sering kelupaan, karena hanya berselang satu hari saja. Jadi kelupaan, kadang makan gitu, minum," ucapnya.
Selain AS, ada juga warga binaan berinisial S. Usianya hampir menyentuh setengah abad. Kala rambutnya mulai memutih berada di lapas, S memilih menggojlok dirinya menjadi seorang hafidz yakni penghafal ayat suci Al Quran.
Surat yang ada dalam 30 juz Al Quran berhasil dilahapnya, memori seorang yang nyaris lansia tak menjadi kerikil bagi S untuk menghafal ayat demi ayat karena intinya adalah fokus penuh.
"Belum semuanya [hafalan saya] sempurna. Misalnya An Naba, banyak tantangannya, kadang salah ya diulangi lagi," tuturnya.
S tak ingin di batas usianya yang semakin pendek seperti sekarang, ia hanya menghabiskan hidup sia-sia. Ia ingin hidup dengan semakin mendekat pada Allah.
"Awalnya saya pesimis [bisa menghafal], tapi daripada sia-sia di sini, paling tidak ada kegiatan yang bermanfaat," curhat S, yang berada di Lapas Cebongan sejak Desember 2019 itu.
S menyatakan dengan jujur, bahwa saat pikiran tidak fokus, ia akan sukar sekali ayat-ayat Al Quran yang sedang ia coba hafalkan.

"Jadi saya sesekali leren (istirahat). Wudhu, bacaan saya praktikkan waktu salat," kata S, yang sebelumnya merupakan muslim yang terbata-bata saat membaca Al Quran.
Staff Pembinaan Kepribadian Muslim Lapas Cebongan, Sri Mulyadi mengatakan, ada perbedaan yang ia rasakan, kala mengajarkan mengaji bagi warga binaan dibanding mengajar orang non warga binaan.
Hal itu ia rasakan, tak lain karena warga binaan kerap punya fokus yang terbelah. Biasanya, karena warga binaan terpikir keluarga, atau bahkan disebabkan adanya kasus yang belum kelar.
"Misalnya seorang pencuri motor sekaligus pencuri mobil. Kasus pencurian motor yang menjeratnya sudah diputus, lalu saat ia sebentar lagi akan bebas, perkara curi mobil yang ia lakukan malah naik [disidangkan]. Pikiran pasti kacau saat belajar mengaji," tutur dia.
Melihat tantangan itu, Sri Mulyadi punya strategi khusus dalam mengajar dan mendampingi warga binaan mengaji. Strategi itu, diawali dengan lebih dahulu mengenal karakter tiap santri warga binaan. Baru menentukan teknik mengajarnya.
"Posisikan diri kita sebagai orang tua mereka, telaten, istiqamah, tidak bosan, harus kebal. Alhamdulillah bisa. Bila menemui kesulitan, berdiskusi dan minta didoakan oleh guru atau ulama," lanjut dia.
Kontributor : Uli Febriarni