“Tapi kalau yang mepet tol malah turun. Enggak ada yang mau beli. Banyak contoh di sekitar sini tanah yang tidak terjual. Kebanyakan enggak mau, mungkin karena akses, lalu jangka panjangnya juga ada polusi sehingga terganggu. Ada yang menjual, mepet tol, dulu sudah laku, sudah jadi, tapi dibatalkan,” ungkapnya.
Di Pundong 3, hampir semua lahan merupakan tanah warisan, yang sebagian besar penghuninya masih memiliki hubungan darah. Pekik dan keluarga besarnya merupakan warga asli Pundong 3. Dengan pembangunan tol ini, ia harus kehilangan tanah warisan di lokasi aslinya.
Menurutnya, semua warga penerima ganti rugi memprioritaskan uang yang didapat untuk membeli lahan pengganti. Namun ia juga tidak menampik warga tetap membeli barang konsumtif seperti mobil.
“Karena memang dapat ganti ruginya juga banyak. Kalau dapatnya pas-pasan kayaknya juga berpikir untuk [mencari] tempat tinggal saja,” kata dia.
Baca Juga:Kasus Positif Covid-19 di DIY Bertambah 795 orang, Paling Banyak dari Sleman
Warga terdampak lainnya, Budi Sunarso, mengungkapkan sampai saat ini belum mendapatkan duit ganti rugi. Menurutnya hal ini terjadi karena ia termasuk warga yang telat menandatangani persetujuan pelepasan lahan, sehingga berpengaruh pada waktu penerimaan uang ganti rugi.
“Dulu ketika menerima besaran ganti rugi, saya melihat teman-teman dulu gimana. Kalau sudah pada tanda tangan aku ya tanda tangan. Tapi kalau teman-teman belum, aku ikut yang belum. Tapi ternyata cuma satu-dua orang yang belum. Kebanyakan sudah,” katanya.
Akhirnya ia ikut tanda tangan di detik-detik akhir. Hal ini mempengaruhi proses validasi yang juga kemudian terlambat. Meski demikian ia telah dijanjikan pencairan uang ganti rugi akan dilaksanakan pada September mendatang.
Lahannya yang terlibas tol sebesar 360 meter persegi tanpa bangunan di atasnya, sehingga ia menerima sekitar Rp1 miliar. Ia juga telah menyiapkan lahan pengganti tak jauh dari lokasi lahannya saat ini.
“Di sekitar sini saja. Ini masih nego,” katanya.
Baca Juga:Bupati Sleman Siapkan Skenario Uji Coba Pembukaan Destinasi Wisata
Ia langsung ingin membeli lahan pengganti karena menurutnya tanah merupakan warisan leluhur. Tanah warisan di mata dia adalah harta pusaka yang tidak boleh dialihkan.
“Kalau saya menjual sekarang, berarti merampas hak anak-cucu. Harus tetap dipertahankan. Syukur kalau bisa dikembangkan,” kata dia.