ICR: 46 Persen dari 1.171 Responden Perempuan Anggap Korupsi Hal Biasa di Masyarakat

korupsi itu merupakan hal yang biasa dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 28 September 2021 | 18:35 WIB
ICR: 46 Persen dari 1.171 Responden Perempuan Anggap Korupsi Hal Biasa di Masyarakat
Ilustrasi korupsi. (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Indonesia Corruption Research (ICR) membeberkan hasil riset mengenai survei persepsi perempuan terhadap korupsi di Indonesia. Hasilnya mengejutkan, setidaknya 46 persen responden menganggap bahwa korupsi adalah hal yang wajar dilakukan.

Koordinator ICR Astri Wulandari mengungkapkan bahwa survei itu didapat dari 1.171 responden perempuan yang ada di 34 provinsi di Indonesia. Responden yang terlibat dalam survei itu berasal dari rentang usia 17-45 tahun.

"Dalam pertanyaan yang diajukan apakah korupsi itu merupakan hal yang biasa dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Nah temuannya adalah 46 persen responden itu hampir setengahnya, mereka menjawab setuju," kata Astri kepada awak media, Selasa (28/9/2021).

Dari prosentase itu, dijelaskan Astri bisa ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar perempuan menganggap korupsi memang menjadi hal yang lumrah atau biasa terjadi di dalam kehidupan masyarakat. 

Baca Juga:Kasus Korupsi Pengadaan Tanah Munjul, Mahasiswa hingga Wiraswasta Diperiksa KPK

Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi dan Multimedia Universitas Mercu Buana Yogyakarta itu mengatakan bahwa dalam riset ini dibagi menjadi tiga dimensi. Pertama adalah dimensi situasi, dimensi pemersepsi dan dimensi objek.

Di dalam dimensi situasi itu, diajukan bertanya apakah korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Disampaikan Astri, ada sebanyak 31 persen responden yang menjawab setuju.

"Sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa bagi 31 persen responden ini yang mana adalah perempuan itu tadi berpendapat bahwa permasalahan korupsi di Indonesia itu telah membudaya dan bahkan telah mengakar. Sehingga itu menjadi susah untuk dilepaskan," ucapnya. 

Astri menyebut bahwa responden itu terdiri dari 4 kalangan atau latar belakang. Mulai dari pelajar atau mahasiswa yang paling banyak, lalu disusul pegawai swasta, pegawai negeri sipil (PNS) dan yang paling sedikit wiraswasta. 

Ditanya mengenai penyebab tingginya persepsi perempuan terhadap korupsi dianggap hal biasa, kata Astri, jika melihat dari hasil riset yang telah dilakukan. Perempuan masih melihat bahwa gerakan anti korupsi di Indonesia itu belum mengakar kuat.

Baca Juga:Mantan Ketua MK Jimly Asshidiqie Beri Kesaksian di Sidang Korupsi Masjid Sriwijaya

Khususnya di seluruh lapisan masyarakat sehingga membuat tindak perilaku korupsi dianggap menjadi hal yang biasa.

"Karena di lingkungan mereka itu bukan sesuatu yang tabu. Mungkin bahkan mereka melihat seniornya atau bahkan mungkin sudah tercipta atmosfer atau iklim seperti itu," ungkapnya. 

Sementara itu, Peneliti ICR Catur Nugroho mengungkapkan dari survei yang juga dilakukan terkuak bahwa sebesar 5,6 persen responden pernah menerima gratifikasi dan tidak melaporkannya.

Ditambah pula masih ada 2,7 persen responden pernah menerima suap, dan 4,9 persen responden pernah melakukan pungutan liar atau pungli. 

"Temuan ini memberikan gambaran bahwa masih cukup banyak perempuan di Indonesia yang melakukan tindakan dan perilaku koruptif di lingkungan kerja dan masyarakat," ujar Catur.

Catur berharap dengan hasil riset ini dapat menjadi perhatian dari seluruh pemangku kepentingan. Khususnya terkait dengan hal-hal pemberantasan korupsi.

Terutama bagi pemerintah dan KPK agar dapat semakin memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. 

“Peran Presiden di sini sangat penting dalam memberikan dukungan dan penguatan terhadap KPK sebagai lembaga anti-korupsi yang menjadi harapan masyarakat,” tandasnya.

Sebelumnya diberitakan sepanjang tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) sejumlah kepala daerah. Terbaru adalah Bupati Kolaka Timur Andi Merya.

Andi Merya ditangkap di Kolaka Timur, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), pada Selasa (21/09/2021) sekira pukul 22.00 WITA. Ia menjadi bupati perempuan kedua ditangkap KPK.

Penangkapan Andi ini banyak disesalkan sebab Ia menjabat belum genap empat bulan. Perempuan ini dilantik pada Senin 14 Juni 2021 lalu oleh Gubernur Sultra H Ali Mazi.

Andi Merya ditangkap diduga terkait kasus korupsi di Kolaka Timur. Perempuan kelahiran 23 Agustus 1984 itupun menjalani pemeriksaan dan segera digelandang ke KPK di Jakarta.

Sebelum Andi Merya, bupati perempuan lain yang juga tertangkap OTT KPK adalah Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari. Tantri ditangkap bersama suaminya, Hasan Aminuddin di rumah dinasnya beberapa waktu silam.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak