SuaraJogja.id - Pemda DIY akhirnya mengundang sejumlah perwakilan warga Malioboro dan sejumlah stakeholder untuk menyampaikan masukannya terkait protes dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY). Dalam pertemuan di Kantor Gubernur DIY, Rabu (03/11/2021), Pemda meminta masukan mereka terkait Pergub Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka, termasuk larangan berunjuk rasa di kawasan Malioboro.
Pemda juga mengundang perwakilan ARDY dalam pertemuan tersebut. Namun ARDY menolak undangan sosialisasi tersebut dengan alasan bertentangan dengan asas kepatutan.
"Banyak masukan yang kami dapat dari pkl (pedagang kaki lima-red) dan warga malioboro lainnya untuk harmonisasi pergub [nomor 1 tahun 2021].Kami mengundang ARDY tapi sampai siang tidak ada yang datang. Karena kita sebenarnya tidak melarang aksi unjuk rasa namun hanya melarang aksi itu dilakukan di kawasan malioboro,," ujar Asek Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum Setda DIY, Sumadi, Rabu siang.
Menurut Sumadi, Pemda akan melakukan revisi pergub berdasarkan masukan dari warga Malioboro. Diantaranya perubahan nomenklatur terkait jarak yang diperbolehkan dalam aksi unjuk rasa di Istana Negara atau Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Baca Juga:Siap-siap, Pemkot Yogyakarta Terapkan Durasi Kunjungan di Malioboro November Ini
Dalam pasal 5 Bab II Pergub 1 Tahun 2021 awalnya disebutkan, penyampaian pendapat di muka umum harus berada di radius 500 meter dari pagar atau titik terluar kawasan Malioboro dan Istana Kepresidenan. Setelah melalui perubahan nomenklatur, maka radius aksi unjuk rasa berkurang menjadi 150 meter dari titik terluar atau pagar Istana Kepresidenan.
"Jadi nantinya ada perubahan radius itu dari istana negara. Yang penting tidak menganggu ketertiban umum dan roda perekonomian malioboro," ungkapnya.
Kepala Bagian Hukum Biro Hukum Setda DIY, Adi Bayu Khistianto menambahkan, selain perubahan nomenklatur radius unjuk rasa, masyarakat Malioboro juga meminta dilibatkan dalam pengamanan kawasan Malioboro. Pemda diminta menyiapkan tempat-tempat khusus diluar Malioboro untuk digunakan dalam penyampaian pendapat di muka umum.
"Malioboro kan kawasan strategis yang dalam ketentuannya tidak diperkenankan untuk unjuk rasa. Karenanya dari masukan [warga malioboro], pemda menyiapkan tempat khusus untuk demo diluar kawasan malioboro," jelasnya.
Secara terpisah Koordinator ARDY, Yogi Zul Fadhli dalam keterangan tertulisnya menyampaikan penolakan untuk bertemu Pemda DIY kali ini. Undangan yang mereka dapat dinilai bertentangan dengan asas kepatutan karena dikirim dalam waktu kurang dari 16 jam dari waktu acara.
Baca Juga:Swab Antigen Acak Dilaksanakan di Malioboro, Pemkot Jogja Belum Temukan Kasus Covid-19
"Padahal lazimnya surat undangan dilayangkan minimal tiga hari sebelumnya dan diserahkan langsung kepada pihak yang dituju, yang biasanya disertai dengan tanda terima. Apalagi ini undangan formal yang bersifat kedinasan, yang seharusnya tidak sekadar dikirim lewat pesan WhatsApp," tandasnya.
Sebagian unsur peserta yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut juga dinilai kedudukannya bermasalah. Sebab didatangkannya aparat-aparat negara yang jelas tidak netral posisinya.
Diantaranya Komandan Korem (Danrem ) 072 Pamungkas yang jelas-jelas tidak ada kepentingannya dengan urusan sipil, justru diundang oleh gubernur. Padahal pasca reformasi, fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada kredo dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sudah dihapuskan. Artinya, tugas tentara hanya terkait dengan pertahanan dan tidak lagi terlibat urusan sosial politik.
Pergub terkait larangan demonstrasi ini menyasar lima kawasan, Malioboro hanya salah satunya. Sekalipun demikian, ternyata unsur masyarakat yang diundang, sebagian besar hanya komunitas di sekitar Malioboro.
Gubernur tidak melibatkan elemen masyarakat yang berasal dari gerakan buruh, petani, perempuan, difabel, mahasiswa dan lainnya yang selama ini intensif menyuarakan aspirasinya di ruang-ruang publik, di Yogyakarta. Undangan ini semakin aneh karena gubernur tidak mengajak kampus atau akademisi, termasuk pusat studi HAM, atau lembaga-lembaga yang fokus di isu demokrasi, yang ada di Yogyakarta, yang tentunya memiliki kompetensi terkait dengan substansi pergub ini.
"BPS Provinsi DIY, tidak diundang. Padahal pada 2019, BPS DIY merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) untuk Provinsi DIY mengalami penurunan, salah satunya adalah variabel kebebasan berpendapat dan partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan," ungkapnya.
Padahal, lanjut Yogi, ORI Perwakilan DIY sangat jelas menyebutkan, saran tindakan korektif adalah meninjau kembali Pergub DIY Nomor 1 tahun 2021, bukan sekedar diskusi publik. Acara yang dihelat oleh gubernur hari ini terkesan cuma jadi ajang sosialisasi dan boleh jadi cuma forum legitimasi semata.
"Oleh karena itu, ARDY memutuskan tidak hadir dan memilih menunggu hingga 30 hari setelah terbitnya LAHP tepatnya 20 November 2021 agar gubernur taat LAHP ORI DIY dengan tinjau ulang dan segera cabut pergub maladministrasi tersebut," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi