SuaraJogja.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat pada 2020 ada 141 kasus korupsi di desa. Dari angka tersebut, sebanyak 132 kepala desa dan 50 perangkat desa terjerat kasus korupsi.
Sementara itu, pada semester I tahun 2021, ada 62 kasus korupsi di desa. Dari 62 kasus ini, 61 kepala desa dan 24 perangkat desa terlibat.
Kendati demikian, menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepala desa bukan penyelenggara negara dan itu bukan kewenangan KPK untuk menindak. Karena itu, pihaknya berkoordinasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) supaya laporan dugaan kasus korupsi ditindaklanjuti.
"Paling tidak dilakukan klarifikasi, jangan-jangan ini calon kepala desa atau kades yang kalah dalam pemilihan atau masyarakat yang kecewa dengan pelayanan di kantor desa," papar dia saat penetapan desa anti korupsi di Kampung Mataram, Panggungharjo, Sewon, Bantul pada Rabu (1/12/2021).
Baca Juga:KPK Ungkap Ada Ribuan Laporan Terkait Dugaan Penyimpangan Dana Desa
KPK baru akan menindak kades kalau ada hubungannya dengan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum. Seperti yang terjadi beberapa bulan lalu ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) Bupati Probolinggo, Jawa Timur.
"Ada sekitar 20 orang yang ditangkap, itu belum jadi kepala desa. Baru akan menjadi calon pelaksana tugas (plt) kepala desa," ungkapnya.
Ia menyampaikan, untuk jadi Plt kades mereka mau dan bersedia menyetor sejumlah uang.
"Pasti harapannya kalau sudah ditunjuk sebagai Plt kades ada sesuatu yang bisa diambil," katanya.
Peluang kades untuk melakukan korupsi semakin besar lantaran sekarang setiap desa mengelola dana desa sebesar Rp1,6 miliar. Jumlah uang yang diambil semakin besar mengingat masa jabatan kades enam tahun.
Baca Juga:Bupati Serang Wanti-wanti Kades Terpilih Soal Dana Desa, Singgung Soal Pertanggungjawaban
"Jadi selama enam tahun itu ada dana desa hampir mencapai Rp10 miliar. Kalau bisa mengambil 10 persen saja, artinya per tahun bisa dapat sekitar Rp900 juta," katanya.
Ia mengumpamakan, semisal untuk jadi kades dia menghabiskan uang Rp500 juta, dia masih untung Rp400 juta.
"Itu informasi yang kami terima saat ada pemilihan kepala desa. Untuk sekadar jadi kontestan mereka sudah jor-joran uang ratusan juta karena punya pikiran seperti itu (korupsi),"
Adapun kasus yang paling banyak ditangani adalah penyelewengan dana desa. Kasus ini, menurutnya, banyak dijumpai di luar Pulau Jawa.
"Datang saja ke desa tersebut, bisa dicek berapa dana desa, mana laporan pertanggungjawabannya, mana wujud dari pengeluaran yang sudah dilakukan. Rata-rata mereka lemah secara administrasi," jelasnya.
Penyebab terjadinya penyelewengan dana desa, sambungnya, karena mereka belum paham tentang aturan. Dia menduga karena banyak perangkat desa yang tidak lulus SD.
"Mereka baca UU saja enggak pernah, apalagi dengan aturan yang berbelit-belit itu. Dan ketika ada penyimpangan aparat penegak hukum datang menindak," terang dia.
Ia tak menampik merasa bersalah jika menindak seseorang yang dia tidak paham apa kesalahannya. Untuk itu, mereka perlu diajari soal administrasi hingga mengelola dana desa yang baik.
"Dana desa prinsipnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan oleh masyarakat desa," tambahnya.