SuaraJogja.id - Dunia pariwisata kembali lagi tercoreng. Dalam satu unggahan media sosial (medsos), salah satu warganet mencurahkan uneg-unegnya karena ditipu tukang becak Malioboro. Warganet yang awalnya diminta membayar Rp 20 ribu untuk berkeliling Malioboro akhirnya terpaksa membayar Rp 80 ribu.
Aksi nuthuk tarif becak ini membuat Paguyuban Becak Motor Yogyakarta (PBMY) pun membuat gerah. Meski pelakunya bukan merupakan anggota PBMY, kasus tersebut mencoreng nama tukang becak di Malioboro.
Apalagi saat ini sudah ada lebih dari 1.700 tukang becak di DIY, terutama di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Bila kasus nuthuk tersebut terus saja berulang maka dikhawatirkan akan merugikan tukang becak yang jujur.
"Becak jogja kan tidak PBMY, kami tidak bisa menindak tegas [pelaku]. Namun setiap ada pertemuan bersama, kami selalu sosialisasikan jangan sampai merugikan penumpang," ujar Ketua PBMY, Parmin di Malioboro, Senin (18/04/2022).
Baca Juga:Terinspirasi Malioboro, Ribuan Warga Riau Mengaji di Trotoar Pekanbaru
Menurut Parmin, selama ini memang tidak ada standar harga untuk tarik becak di Malioboro. Akhirnya hal itu yang menyebabkan oknum tukang becak akhirnya nuthuk tarif becak mereka.
Meski tidak ada standar tarif, tukang becak menyepakati harga bagi penumpang. Sebut saja tarif penumpang dari Malioboro ke pusat oleh-oleh sebesar Rp10 ribu hingga Rp 20 ribu. Sedangkan tarif dari Malioboro ke Keraton Yogyakarta antara Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu pulang pergi.
"Tapi ya namanya ada tukang becak yang nakal akhirnya mengambil tarif tinggi," ungkapnya.
Karenanya untuk mengatasi kejadian yang sama, Parmin meminta Pemda ataupun Pemkot Yogyakarta menertibkan tukang becak. Diantaranya setiap tukang becak wajib memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA).
Dengan demikian aktivitas tukang becak bisa terpantau titik-titik mangkalnya. Termasuk saat melayani penumpang ke sejumlah destinasi wisata.
Baca Juga:Susuri Malioboro dengan Ontel dan Kostum Pahlawan, Kodja Bagikan Takjil di Titik Nol Kilometer
"Dari situ kan bisa ketahuan kalau misalnya nuthuk dan akhirnya bisa diberi sanksi," tandasnya.
Sementara Kepala Dinas Pariwisata DIY, Singgih Rahardjo pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Dinas Pariwisata kabupaten/kota dan Dinas Perhubungan dan Satpol PP DIY untuk menyiapkan destinasi wisata di DIY. Tidak hanya sarana dan prasarana namun juga ekosistem pariwisata seperti keberadaan tukang becak di destinasi wisata.
"Kita melalukan koordinasi untuk menghindarkan berbagai keluhan wisatawan yang sempat terjadi. Seperti becak yang nuthuk yang terus berulang. Kita minta mitigasinya, antisipasinya supaya tidak terjadi lagi praktik yang merugikan pariwisata," jelasnya.
Singgih menambahkan, para tukang becak sebagai bagian dari dunia pariwisata DIY seharusnya menetapkan tingkat kewajaran saat memberikan tarif ke penumpang. Mereka tidak boleh semena-mena menerapkan tarif tanpa kesepakatan.
Bila tukang becak tidak menunjukkan sikapnya sebagai bagian dari DIY sebagai kota budaya dan pariwisata, maka hal itu akan kontraproduktif pengembangan pariwisata di kota ini. Tukang becak perlu menunjukkan kejujuran dalam melayani penumpang bila tidak ingin ditinggalkan wisatawan.
"Komitmen diawal harus ada karena pariwisata kan sensitif ya," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi