SuaraJogja.id - Sebuah rumah yang berdinding semen tua dengan rekahan di sejumlah sisinya, lalu pintu-pintu dan jendela berkelir hijau, menjadi pemandangan estetik di tengah Padukuhan Pundong II, Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman.
Bangunan ini populer dengan sebutan Ndalem Mijosastro. Ditetapkan sebagai cagar budaya melalui SK Bupati Sleman No: 14.7/Kep.KDH/A/2017, tertanggal 6 Februari 2017. Tepat di dinding bagian depan rumah, ada spanduk piagam penghargaan dari Gubernur DIY dan tertera No. 136/PG/2015 sebagai pelestari warisan budaya.
Cagar budaya itu kini bersanding dengan lahan proyek tol Jogja-Bawen yang sudah bersih dan rata tanah. Serta sejumlah orang berhelm kuning khas pekerja proyek, yang sedang berdiskusi di area rimbun.
Sementara itu, dari tengah pendopo kayu berlantai tegel kuning pucat, tepat seberang Ndalem Mijosastro, seorang lelaki berkemeja biru menyambut Suara.com. Dia bernama Widagdo Marjoyo.
Baca Juga:Laga Perdana Tak Mudah, PSS Sleman Tingkatkan Power di Pantai Depok
"Ayah saya itu dulu petugas kepolisian, dia anggota Polri bertugas di Sukabumi, lalu eyang memintanya pulang," sebuah cerita meluncur dari bibir Widagdo, sembari duduk santai kala itu, Selasa (19/7/2022).
"Suatu pagi, ayah saya yang sudah pulang dari tugas kepolisian, mandi di sini [rumah]. Dari utara datang pasukan Belanda dan ayah saya ditangkap, lalu dibawa entah ke mana," lanjut Widagdo lagi.
Kemudian, Mijosastro, --sang ayah--, sempat ditahan oleh Belanda selama tiga bulan, sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke pihak keluarga.
"Ayah saya juga cerita, ia diminta Belanda memanggul dan mengangkat mayat-mayat yang bersimbah darah dan menaikkannya ke truk," imbuh lelaki kelahiran 1954 ini.
Demikian salah satu penggalan cerita Widagdo mengenai ayahnya, pejuang kemerdekaan, selaku pemilik pertama Ndalem Mijosastran.
Baca Juga:Pelatih PSS Sleman Sebut Laga Perdana Liga 1 Tidak Mudah
Ndalem Mijosastran adalah rumah warisan keluarga yang jatuh menjadi milik adik bungsunya, Wibi Nurbiyantoro. Sedangkan Widagdo anak kedua Mijosastro.
Cerita belum selesai sampai di sana. Widagdo kembali merangkai patahan-patahan sejarah, bahwa rumah yang berstruktur limasan khas Jawa yang ada di seberang rumahnya itu, pernah menjadi pos pejuang kemerdekaan. Tak terkecuali ayahnya ikut andil di sana.
Waktu itu kurun waktu sekitar 1948, rumah yang dibangun oleh eyangnya, Mangundimejo tersebut dibakar oleh Belanda.
Di masa Agresi Militer II, Belanda yang ingin menghancurkan Jogja punya markas di kawasan Cebongan. Mengetahui Ndalem Mijosastro jadi markas musuhnya, maka rumah itu dibumihanguskan.
Hingga kemudian Mijosastro dan istri tercintanya, Rahayu, membangun kembali rumah itu pada 1958. Masa-masa Widagdo cilik masih suka rewel kalau ditinggal bapak ibunya kerja.
Rumah itu bukan sekadar cagar budaya semata untuk Wid, --panggilan karib Widagdo--. Tapi ada bagian-bagian rumah yang mengisi pengalaman dan cerita hidupnya sebagai anggota penghuni Ndalem Mijosastran.
Dengan senyum yang tersembunyi di balik maskernya, Wid terkenang saat ia dimomong oleh tukang kayu yang membangun Ndalem Mijosastran.
"Namanya pak Kartorebo. Saya ingat betul dia dulu membangun rumah itu sambil momong saya. Waktu almarhum masih hidup, beliau selalu cerita 'Dulu waktu kamu kecil, saya yang momong'," kenang Wid.
Di dalam rumah mahakarya Kartorebo itu pula, Wid dan tujuh saudara pernah tidur bersama dalam satu amben bambu sederhana. Di salah satu kamar, sisi timur.
Namun spot favorit Wid dari Ndalem Mijosastran adalah pendopo. Bagian yang sarat struktur Jawa kuno dan kerap jadi tempat warga setempat beraktivitas selama ini. Baik itu pengajian, bersih dusun, pelatihan program pemerintah dan lainnya.
Demikian juga halamannya yang luas, kerap dimanfaatkan warga sekitar sebagai lokasi beragam kegiatan hingga area parkir.
Belum Sepakat Harga, Pagar Sudah Roboh
Widagdo Marjoyo serta saudara-saudaranya kini hanya bisa menyimpan rasa heran dan menyayangkan.
Beberapa hari lalu, pagar Ndalem Mijosastran yang dibangun pada sekitar 1980 harus hancur terkena alat berat tim proyek tol Jogja-Bawen. Padahal, belum ada kesepakatan harga ganti untung dan teknis relokasi bangunan antara keluarga waris dan tim proyek.
Padahal, tim proyek dan warga sama-sama sudah mengetahui bahwa di area proyek ada yang dinamakan zona hijau dan zona merah. Zona hijau berarti klir dan bisa dibersihkan (land clearing), sedangkan zona merah masih belum bisa dibersihkan.
"Saya nilai itu kecerobohan, proyek sudah meminta maaf. Mereka sempat menawarkan untuk dibangun kembali seperti awal, saya menolak," ungkapnya.
Wid mengungkap, ada beberapa poin yang menyebabkan belum adanya kesepakatan harga ganti untung dan teknis relokasi bangunan, antara keluarga pewaris Ndalem Mijosastran dan tim proyek tol.
Walaupun sebetulnya, satu keluarga Mijosastro sudah satu suara untuk persoalan rumah tersebut.
Pada intinya, tidak apa-apa Ndalem Mijosastran dipindahkan, ke lokasi berjarak sekitar 100 meter dari titik awal. Bahkan rekomendasi dan izin pemindahan bangunan juga sudah terbit dari pihak berwenang.
"Tapi ada kesepakatan yang berubah dari pihak tim proyek. Ada poin yang kami tidak bisa menerimanya. Dulu dengan PPK awal sudah ada kesepakatan, tapi PPK mengalami perubahan, jadi berubah lagi [kesepakatannya]," sesal dia.
Poin-poin itu antara lain belum disepakatinya nilai nominal ganti untung. Keluarga ahli waris ingin proyek mengganti seluruh bagian Ndalem Mijosastran. Sedangkan proyek hanya akan melakukan penilaian appraisal terhadap area terdampak tol saja.
Keluarga menginginkan Ndalem Mijosastran saat dipindah bentuknya masih satu kesatuan utuh sebagai limasan. Saat dibangun kembali kala direlokasi, kembali utuh pula.
"Agar tidak berubah fungsi dan filosofinya. Kalau tidak utuh ada yang hilang, tidak sesuai aslinya," kata dia.
Wid menyebut, sebuah limasan Jawa memiliki empat 'sirah'. Terdiri dari rumah pokok, gandhok, pringgitan dan dapur, sumur dan kamar mandi.
Hingga kini, belum ada titik temu atas belum adanya kesepakatan pembebasan lahan di Ndalem Mijosastran.
"Bagian rumah yang terdampak tol itu separuhnya," ucapnya.
Keluarga Rela Asalkan Sesuai Kesepakatan Awal
Wid mengungkap, awal-awal ia tahu Ndalem Mijosastran terkena tol, ia sudah berkirim surat ke Bupati Sleman, Dinas Kebudayaan Sleman, Gubernur DIY agar bisa mempertahankan cagar budaya tersebut.
Tapi karena tidak bisa, maka keluarga merelakan rumah bersejarah itu direlokasi. Asalkan, kesepakatan yang sudah ada di awal dilaksanakan oleh kedua belah pihak, keluarga dan tim proyek tol Jogja-Bawen.
"Kami tidak menentang proyek tol ini, tidak. Kami sebagai warga negara taat mendukung, karena ini demi kepentingan negara. Asalkan asas kemanfaatan untuk masyarakat juga tidak hilang dan kelestarian juga terjaga," sebutnya.
Ia menyebut, dalam konteks ini, pemerintah punya dua kewajiban yang tidak bisa berat sebelah dalam mengimplementasikannya.
"Pertama, melanjutkan pembangunan infrastruktur. Tapi ada juga kewajiban melestarikan cagar budaya. Tidak boleh membeda-bedakan, harus ada komitmen melestarikan," tegasnya.
Salah Satu Hartanya Terancam Digeser Tol, Ini Tanggapan Pemkab Sleman
Kala dijumpai di lokasi berbeda, Kepala Seksi Warisan Budaya Benda Dinas Kebudayaan Sleman Endah Kusuma Wardani mengatakan, Ndalem Mijosastran diperkirakan dibangun pada 1930.
Karena terdampak tol, maka bangunan cagar budaya tersebut akan dipindahkan, bukan dihancurkan.
"Ada kepentingan negara yang lebih besar. Selagi tidak hancurkan dan menghapus, masih kami bolehkan
Keluarga masih mau mempertahankan, dari pihak pemerintah [proyek tol] juga tidak dihancurkan," tambahnya.
Tak ada sejarah yang akan berubah dengan adanya relokasi Ndalem Mijosastran. Tetap akan ada poin-poin lain yang bisa dipelajari dari adanya rumah tersebut.
Misalnya saja mengenai struktur rumah limasan Jawa, mengenai kayu, mengenai filosofi. Karena cagar budaya bukan hanya menyimpan nilai sejarah. Melainkan juga ilmu pengetahuan, agama dan lain-lain
Belum disepakatinya nilai ganti untung pembebasan lahan dan bangunan Ndalem Mijosastran, ditengarai menjadi belum dapat dipindahkannya limasan tersebut.
Sementara itu, Humas PT JJB, Banu Subekti mengatakan progres konstruksi tol untuk keseluruhan seksi 1 (Sleman- Banyurejo) baru 0,4%.
Hingga kini, masih terus dilakukan tahap pembersihan lahan dan pekerjaan persiapan jalan kerja.
Kontruksi awal rencananya baru mulai dilakukan pada September mendatang.
Ia menambahkan, tim di lapangan sejauh ini tak menemukan situs tertentu maupun peninggalan sejarah di titik-titik land clearing dan pengerasan area proyek.
Kontributor : Uli Febriarni