SuaraJogja.id - "Kalaupun akhirnya finansialmu abis untuk berbagi, tetapi hatimu kaya. Menurutku itu lebih berharga dari uang," sebuah kalimat ringan tapi menohok itu membuka percakapan SuaraJogja.id dengan Miftah Rizaq, kala disambangi di Upajiwa Creative Art & Gallery, Senin (15/8/2022) siang.
Sosok yang diketahui sebagai seniman lukis itu belum lama ini tengah viral. Musababnya lantaran kicauannya di media Twitter yang mempromosikan makan gratis di gallerynya, begini kira-kira bunyinya:
Mas Mbak yang di area Jogja dan mungkin lagi susah banget, gak usah takut. Kalo cuma masalah gak bisa makan, silahkan datang ke galeri/studio saya. Kita makan bareng seadanya. Gak perlu malu, pekewuh, atau rikuh. Saya tau betul gimana rasanya kelaparan karena keadaan.
Cuitan yang kemudian mencuri perhatian itu bukan main-main atau sekadar untuk memboost like atau komentar ke akunnya. Cuitan itu nyata ajakan makan bersama dan tak perlu sungkan untuk didatangi.
Baca Juga:Tandang ke PSS Sleman, Pelatih Persib Bandung Wanti-wanti Tekanan Suporter Tuan Rumah
"Itu saya padahal mencuit ya mengajak saja, enggak tahu kok bisa jadi rame begitu. Hape saya sampai jebol," ujarnya.
Saat ditemui, Miftah menyebut cerita susah makan di masa dululah yang mendorongnya bersama pasangannya Dina untuk mengajak banyak orang makan gratis bersama, di Upajiwa Creative Art & Gallery.
Upajiwa berdiri dalam area permukiman warga, di Jl. Ngapak - Kentheng No.KM 6, RT.06/RW.17, Nogosaren, Padukuhan Kradenan, Kalurahan Banyuraden, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman.
Di dalam ruang tamu galeri itu, Miftah yang baru pulang dari belanja kanvas dan cat sedang duduk di atas lincak bambu ruang tamu galerinya.
Rokok yang terselip di antara jarinya sesekali disesap. Sembari sedikit 'menertawakan penderitaannya', antusias ia mengisahkan nasib berat seorang Miftah, pada sekitar 2005 hingga 2007.
Baca Juga:Pelaku Desa Wisata di Sleman Ingin One Hotel One Village Digencarkan
Pelukis asal Semarang, Jawa Tengah ini masih ingat betul bahwa lidahnya pernah mengecap nasi dan garam sebagai suatu hidangan mewah. Menurutnya, kala itu, tak ada apa-apa yang bisa dimakan dengan layak selain dua komoditas tadi.
Hingga kemudian, lelaki yang pernah merantau ke Jakarta itu mendatangi sebuah warung.
"Ke warung minta roti yang sudah basi, sudah ada jamurnya di beberapa sisinya kan. Terus biar anget-anget dan ngeboongin (membohongi) mulut ama perut ya disetrika aja," ungkapnya, masih dengan senyum seulas.
Menurutnya, cerita tadi telah cukup mewakilkan gambar titik terendah hidup seorang Miftah.
"Semoga enggak ada lagi orang yang merasakan itu. Itu jadi motivasi saya untuk bisa bantu orang sebisanya," tambahnya.
Lahir dari keluarga berlatar Jawa, menurut Miftah setiap ada orang yang beranjangsana ke rumah, kita akan mengajak mereka makan.
Tak perlulah tamu, bahkan saat kita masak dan masakan itu matang, di waktu bersamaan ada orang lewat, --tetangga atau siapapun--, maka akan diajak makan oleh tuan rumah.
"Basa Jawane diampirke (bahasa jawanya diminta mampir). Yuk mampir makan dulu yuk. Walaupun akhirnya cuman sekadar minum air putih, ngeteh, ngopi," tuturnya.
Miftah menyebut, untuk orang-orang yang ingin datang dan makan bersama dengan ia dan keluarga, tak perlu ragu, sungkan apalagi malu.
Setiap yang datang akan disambut tangan terbuka, ramah bahkan akan 'dipaksa makan'. Tak terkecuali Suara.com yang berkunjung. Sampai tiga kali diajak makan, apalagi tempe goreng garit panas sudah matang. Kuah sup ayam baru kelar meletup-letup dari dalam wajan.
"Kami di sini tidak akan ngejudge (menghakimi), tidak akan bertanya masalah yang sedang kamu hadapi apa. Intinya silaturahmi, saatnya makan jam makan, pasti tak suruh makan. Sesederhana itu sih," kata dia.
Perut Kosong dan Tak Punya Duit Kombinasi Jelek
Lebih lanjut, Miftah menegaskan bahwa satu yang perlu dipahami tak ada hidangan yang akan sengaja dibuat spesial hanya untuk menyambut anda datang.
"Apa yang kami makan ya apa yang akan teman-teman makan. Tidak ada yang dispesialkan. Kalau mau mewah ya restoran, bos," kelakarnya.
Ia meyakini, sebetulnya ada banyak teman-teman kita di luar sana yang punya beban pikiran, bahkan hanya sekadar ceritapun takut.
Tapi di sisi lain ia juga tak menampik, orang-orang kerapkali hanya butuh didengar ceritanya. Bukan untuk dicarikan solusi konkrit.
"Kadang cuman butuh teman cerita, curhat yang dengerin aja. Ya kalau saya lagi-lagi, sembari makan. Perut kosong dan enggak punya duit itu kombinasi yang jelek banget," ucapnya.
"Seenggaknya kalau udah makan itu satu masalah selesai, laparnya dah hilang, gitu. Jadi tidak usah takut buat datang, niatkan silaturahmi. Silaturahmi kan menumbuhkan rezeki, mungkin ya rezekimu ya makan," kata dia.
Menurut dia, rezeki bagi manusia bukan semata-mata bentuknya uang. Melainkan banyak komponen lain.
"Misal kita dapat Rp1 juta, itu dianggap rezeki. Di luar Rp1 juta itu bukan rezeki, ya gak gitu bos. Makan itu rezeki, air minum rezeki. Di situ saya ingin ajak teman-teman untuk lebih kalem," ucapnya.
Semua orang punya masalah, lanjut dia. Ia juga punya masalah, demikian juga rekannya. Tetapi kita perlu meyakini bahwa kita tidak pernah sendirian.
"Ketika masalahmu ditambah lapar, ya masalahmu jadi tambah satu," terangnya.
"Nah tak ilangin satu masalah deh, kita makan bareng-bareng," imbuhnya.
Teman-teman di sekitar kita banyak yang malu untuk mengakui bahwa mereka belum makan di hari itu.
"Paling dia jawab 'Sudah makan, sudah, sudah'. Kalau aku sih rumusnya kalau orang dateng ke rumah, jam makan ya makan. Dia kapan [sudah] makannya, orang siangnya baru sekarang. Ngeyel pokoknya. Apalagi tamu kan bawa berkah," ungkapnya.
"Ketika kamu ke sini, aku tidak akan tanya kamu sudah sembahyang apa belum. Yang tak tanya, kamu udah makan belum?," sebutnya.
Urusan teman sudah sembahyang atau belum adalah urusan teman kita dengan Tuhannya, lanjut Miftah. Sedangkan beda urusannya bila ada yang bertamu kepada kita dan tamu itu belum makan.
"Itu urusanku sama makhluknya Gustiku," tegas Miftah.
Semangatnya Bisa Menular
Istri Miftah, Dina Setiyawati berharap semangat berbagi yang mereka miliki bisa menular ke lebih banyak orang.
Buat mahasiswa atau siapapun, yang temannya datang kepadanya, tanyakan sudahkah mereka makan.
"Temanmu itu mungkin enggak berani ngomong dia belum makan dari pagi," terangnya.
Dina yang pernah kos saat menuntut ilmu di Jogja dan Purwokerto ini cukup keras dalam menempa hidupnya. Hidup dalam kondisi berkekurangan pangan bukan sesuatu yang baru dan mengejutkan baginya.
Ia tahu rasanya makan nasi padang seharga Rp5.000 per bungkusnya, lalu dimakan berdua.
"Jadi, elu udah keluar dari rumah ya elu harus struggle. Tanpa ortu lu tahu gimana lu di sana. Yang penting rumah tahunya kamu kerja, makan," tegasnya.
"Enggak perlu kamu bilang 'Mah aku belum makan'. Enggak perlu. Loh, kamu sudah keluar rumah ya kamu bertanggungjawab dengan dirimu sendiri," beber perempuan berambut sebahu ini.
Makan adalah sebuah kebutuhan dasar manusia. Setiap hari kita butuh makan, maka tak salah bila kita dengan sesama teman saling peduli menyoal yang satu itu. Belum lagi, kita tak pernah tahu apa saja yang sudah dilalui orang dalam menjalani hidup mereka.
"Kadang ada justru dari kita malah ceng-cengin (meledek) teman yang belum makan karena tidak punya uang. 'Masak kanggo mangan tok ra nduwe duit! (Masak hanya untuk makan saja tidak punya uang!)'," tuturnya.
"Hey, kamu enggak tahu kondisiku seperti apa," imbuh Dina mengelus dada.
Daripada Jauh-jauh Berdonasi, Lebih Baik Lakukan Tindakan Sama Bagi Sekitarmu
Dina, --perempuan yang dinikahi Miftah ada akhir 2021 itu--, punya prinsip sama dengan Miftah.
Awal mereka membiasakan betul berbagi makan gratis kepada tamu, memang dimulai sekitar Juli 2022. Saat pameran Upajiwa diselenggarakan.
Kala itu setiap tamu yang datang ke galeri, diajak makan bersama. Demikian juga tamu, kenalan baru dari Majid, --salah satu tim galeri--.
Tetapi, yang sesungguhnya jadi motivasi mereka terus untuk sekuat tenaga mengajak banyak orang makan bersama, adalah tradisi Jawa.
Tradisi yang menekankan, setiap tamu harus dijamu. Siapapun yang datang ke rumah akan dihidangkan apapun yang juga dikudap oleh tuan rumah. Tak jarang pula dengan pangan yang justru lebih nikmat, ketimbang yang biasa ditelan tuan rumah.
Sependek ingatan Dina, ia punya tamu pameran yang merupakan anak kos. Usai ditawari makan, teman mereka satu itu sempat menolak. Tapi, Dina memberikan pengertian.
"Ayok lah makan bareng, setidaknya nanti di kos kamu tidak usah makan lagi, uang makan kamu bisa diplot makan untuk jadwal berikutnya atau keesokan hari," ucap Dina mengulang.
Tak ada pos tambahan khusus yang ia siapkan untuk jamuan bersama gratis ini, imbuh Dina. Sebab pada prinsipnya mereka menyediakan makan gratis sebagai jamuan biasa. Semampu mereka.
"Ini seperti bila tetangga ke rumah. Apa yang ada, itu yang akan kami hidangkan. Kami tidak memaksakan harus membuat sejumlah sekian porsi, tidak, kami tidak memaksakan diri," kata dia.
Hal itu pula yang membuat pasutri ini menolak donasi, terlebih dalam bentuk uang atau bahan makanan dalam jumlah besar.
"Kalau donasi nanti beban, kalau ditanyain. Jadi ya kami semampunya saja. Orang datang, bertamu ya jamuan biasa saja, tidak berlebihan," ucapnya.
Menu yang disajikan untuk tamu makan gratis, sama dengan apa yang dimakan Miftah, Dina dan timnya. Tak ada menu yang harus ayam atau menu tertentu. Mood, ketersediaan bahan masak di rumah, di warung, bahkan keinginan yang muncul secara impulsif adalah penentu keputusan menu apa yang akan dimasak di hari itu.
Menolak donasi juga diamini oleh Miftah. Menurut dia, rasa tanggungjawab atas donasi dari orang luar menjadi tekanan tersendiri bagi mereka. Walau tak dipungkiri, ia menerima dengan baik, seandainya ada yang ingin membantu masak bersama dan membawa sedikit bahan.
"Misalnya mau bantu beras, enggak perlu sampai bawa sekarung juga," ucapnya.
"Daripada jauh-jauh [donasi] ke sini, sebelah rumahmu saja, pasti ada yang butuh. Yakin deh, kecuali kamu tinggal di perumahan elit. Kalau cuman di kampung, pasti ada terdekatmu yang membutuhkan, utamakan mereka, yang terdekat," jelasnya, lebih jauh.
Berbagi Adalah Seni Hidup
Menyuguh menu makan gratis bagi orang yang lapar, sejatinya salah satu impian Miftah.
Dari dulu ia ingin punya galeri, studio lukis pribadi dan sanggar lukis.
"Dan ingin punya angkringan gratis untuk orang. Entah orang lewat atau siapa yang datang, silakan makan, gratis. Lalu pelan-pelan diwujudkan dari sini (makan bareng gratis di rumah)," kata dia.
"Kalau ditanya sampai kapan saya berbagi, ya sampai sudah tidak bisa lagi, saya meninggal. Tidak ada dan sama sekali tidak menemukan alasan untuk berhenti," lanjutnya.
Rasa syukur dapat mewujudkan impian ini semakin bertambah dengan adanya Dina yang menurut dia, mampu mengerti betul kondisi Miftah.
Miftah memandang, menyelaraskan kebutuhan keluarga sendiri dan berbagi adalah seni hidup yang menarik buat seorang laki-laki.
"Di tengah tuntutan ekonomi, anak banyak, sekolah dan lain-lain. Seniman hidupnya kan begitu, buat beberapa orang jauh dari kata mapan. Akhirnya tak syukuri, rasa syukur lebih besar ketika bisa berbagi," paparnya.
Ia mengajak banyak orang yang datang ke galeri untuk melakukan hal sama, berbagi.
"Supaya kita yang sering dipandang sebelah mata ini bisa melakukan hal yang berguna aja, gitu," lanjutnya.
Tapi satu hal penting lain lagi yang harus dicamkan, oleh kita yang akan bertamu ke rumah Miftah dan Dina. Mereka tidak akan mau memberikan bantuan di luar kemampuan dan kapasitas mereka.
"Ada yang pernah minta bantuan, dia minta bantuan finansial katanya karena terlilit riba. Wah saya langsung saja jawab, kalau membantu makan saya bisa. Kalau uang, saya tidak bisa bantu," tandasnya di akhir obrolan.
Kontributor : Uli Febriarni