Hingga kemudian, lelaki yang pernah merantau ke Jakarta itu mendatangi sebuah warung.
"Ke warung minta roti yang sudah basi, sudah ada jamurnya di beberapa sisinya kan. Terus biar anget-anget dan ngeboongin (membohongi) mulut ama perut ya disetrika aja," ungkapnya, masih dengan senyum seulas.
Menurutnya, cerita tadi telah cukup mewakilkan gambar titik terendah hidup seorang Miftah.
"Semoga enggak ada lagi orang yang merasakan itu. Itu jadi motivasi saya untuk bisa bantu orang sebisanya," tambahnya.
Baca Juga:Tandang ke PSS Sleman, Pelatih Persib Bandung Wanti-wanti Tekanan Suporter Tuan Rumah
Lahir dari keluarga berlatar Jawa, menurut Miftah setiap ada orang yang beranjangsana ke rumah, kita akan mengajak mereka makan.
Tak perlulah tamu, bahkan saat kita masak dan masakan itu matang, di waktu bersamaan ada orang lewat, --tetangga atau siapapun--, maka akan diajak makan oleh tuan rumah.
"Basa Jawane diampirke (bahasa jawanya diminta mampir). Yuk mampir makan dulu yuk. Walaupun akhirnya cuman sekadar minum air putih, ngeteh, ngopi," tuturnya.
Miftah menyebut, untuk orang-orang yang ingin datang dan makan bersama dengan ia dan keluarga, tak perlu ragu, sungkan apalagi malu.
Setiap yang datang akan disambut tangan terbuka, ramah bahkan akan 'dipaksa makan'. Tak terkecuali Suara.com yang berkunjung. Sampai tiga kali diajak makan, apalagi tempe goreng garit panas sudah matang. Kuah sup ayam baru kelar meletup-letup dari dalam wajan.
Baca Juga:Pelaku Desa Wisata di Sleman Ingin One Hotel One Village Digencarkan
"Kami di sini tidak akan ngejudge (menghakimi), tidak akan bertanya masalah yang sedang kamu hadapi apa. Intinya silaturahmi, saatnya makan jam makan, pasti tak suruh makan. Sesederhana itu sih," kata dia.