SuaraJogja.id - Johnson Panjaitan, selaku kuasa hukum Brigadir J menyoroti penanganan kasus yang menyeret Irjen Ferdy Sambo yang dianggap jalan di tempat.
Johnson menyatakan, penanganan kasus tersebut sedikitnya berjalan di dua trek, dan yang saat ini sedang diproses dan dikomunikasikan ke khalayak adalah proses kode etik.
"Tapi kode etik yang ditampilkan itu tidak transparan. Karena yang diperlihatkan adalah soal sidang dan hukumannya," terangnya, di Mapolda DIY, Senin (12/9/2022).
"Padahal ini obstruction ya. Obstruction ini jauh lebih berbahaya ketimbang soal pembunuhan berencananya itu. Karena ini menyangkut institusi," kata dia.
Sayangnya, menurut Johnson, transparansi dan akuntabel yang dikatakan oleh pihak kepolisian hanya menampilkan soal sidang dan pencopotan personel.
"Kita tidak hanya butuh hukuman yang berat untuk membersihkan, karena ini bukan cuma soal pembersihan, tapi juga soal intitusinya. Karenanya itu, pola-polanya bagaimana dia melakukan obstruction of justice dan bagaimana berjaringan," ucapnya.
"Karena ini bukan oknum, saya khawatir juga kalau institusi. Tapi kalau jumlahnya 97, mau bilang bagaimana?," lanjut Johnson.
Apalagi tindakan pembunuhan berencana itu dilakukan oleh 'polisinya polisi'.
Johnson juga menyoroti istri Brigjen Hendra Kurniawan, Karo Paminal Propam Polri (Seali Syah) yang beberapa waktu belakangan aktif melakukan pembelaan-pembelaan untuk suami.
"Tapi tidak secanggih PC (Putri Chandrawati, istri Sambo)," ungkap Johnson.
Secara substansial, masalah dalam kasus ini ada dua. Yang satu mengenai pelanggaran pasal 340 KUH Pidana dan kedua yakni bagaimana institusi ini terutama yang berhubungan dengan Satgasus.
"Dalam konteks Satgasus, ini jadi berlapis-lapis dan banyak tanda tanya. Kenapa tanda tanya? Pertama, sampai sekarang saya tidak mendapatkan rekening dan handphone. Padahal handphone itu juga rekening dan sebagainya kan," imbuhnya.
Menurut Johnson dua benda penting itu hilang karena adanya tindak menghalang-halangi penanganan hukum (obstruction of justice).
"Saya bukan hanya obstructionnya! Ngomong mau memberantas judi online, dapat, terbukti kan. Tapi kan praktiknya transfer-transfer. Kok tidak ada rekening gendut? Senjata bagaimana?, mengerikan loh," lanjut dia.
Uji Kebohongan Langkah Tak Perlu
Lebih jauh ia menerangkan, secara resmi baru kasus ini masuk pelimpahan tahap pertama dan berlama-lama, tidak sesuai dengan apa yang ia dengar. Dari yang awalnya ditarget kelar 17 Agustus 2022 kemudian mundur menjadi Oktober 2022.
Ditambah lagi, ada uji kebohongan kepada sejumlah tersangka. Padahal, semua pihak sudah tahu kebohongan yang dilakukan oleh Sambo, PC dan teman-temannya.
"Sudah pro justicia, tidak perlu pakai mesin, katanya pakai mesin jujur gitu? Kalau jujur mah berkasnya cepat ke pengadilan. Tapi ini pemainnya mengerikan dan bau busuk, mafia," ungkapnya.
Jaringan pembela PC disebut Johnson juga terhitung profesional dalam keterlibatan masing-masing. Mulai dari psikolog, aktivis, kuasa hukum.
"Anda bisa bayangkan, yang laporan pro justicia, yang dibuat, SP3. Ini tidak ada pelaporannya, tiba-tiba muncul skenario itu. Lewat rekonstruksi dan lewat Komnas HAM dan Komnas Perempuan," sebutnya.
Menurutnya, pembelaan bagi PC yang sangat terorganisasi itu tidak terungkap teknik pengorganisasiannya. Hanya ada pemecatan tidak dengan hormat untuk Jerry Siagian.
Johnson menyayangkan kliennya yang sudah meninggal dunia namun masih terus-menerus dituduh sebagai pelaku pelecehan seksual, padahal dari sisi hukum sudah jelas tuduhan tidak bakal masuk ke penuntutan.
Kejaksaan Berhati-hati Terima 'Barang Busuk'
Johnson juga melihat, saat ini pihak kejaksaan amat berhati-hati.
"Dia (Kejaksaan) tidak mau terima barang yang sudah busuk. Karena harus dia kan yang bawa ke pengadilan? Kalau tidak [hati-hati], nanti dia berkontribusi ke pengadilan sesat. Pertaruhannya berat untuk institusi," terangnya.
Berbeda halnya dengan Komnas HAM, merupakan lembaga yang hanya memberikan rekomendasi.
Tunggu Tanggal Mainnya!
"Dan dari saya tunggu tanggal mainnya, saya keluarin lagi. Nanti yang akan dahsyat. Di mana anda (awak media) dan saya jadi korban," kata dia.
Kini Johnson dan tim masih menginvestigasi soal rekening, handphone kliennya dan keterlibatan Satgasus.
Ia menegaskan, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara bandit. Sehingga apa yang terjadi harus dipertanggungjawabkan.
"Ini negara hukum, di mana penegak hukumnya salah satunya polisi dan kita yang harus dilindungi. Ini pelakunya buset dilindungi amat sih. Sementara klien saya harus menangis, karena mungkin orang miskin ya," tandasnya.
Kontributor : Uli Febriarni