Disebut Dandim Respons Effendi Simbolon, Ini 5 Fakta 17 Oktober 1952: Saat Tentara Demo Soekarno Bawa Meriam

Bersama puluhan ribu demonstran, para perwira militer melakukan unjuk rasa pada 17 Oktober 1952.

Eleonora PEW
Selasa, 13 September 2022 | 19:04 WIB
Disebut Dandim Respons Effendi Simbolon, Ini 5 Fakta 17 Oktober 1952: Saat Tentara Demo Soekarno Bawa Meriam
Presiden Soekarno [Instagram Soekarno_Presidenku]

SuaraJogja.id - Politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon jadi target kecaman dari berbagai arah akibat pernyataannya menyebut TNI seperti gerombolan, bahkan mirip ormas. Salah satunya dari Dandim 0733 Kota Semarang, Letkol Infanteri Honi Havana, yang mengingatkan kejadian ini dengan Peristiwa 17 oktober 1952.

Pernyataan Effendi Simbolong itu sendiri ia ucapkan dalam rapat kerja dengan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Ungkapan anggota Komisi I DPR RI itu pun menyakiti para prajurit TNI dan menunjukkan sikap tidak menghormati Panglima TNI, yang hadir saat itu.

Dikutip dari channel YouTube Kodim Semarang Channel, Selasa (13/9/2022), menanggapi ucapan Effendi Simbolon, Honi menilai, pernyataan tentang TNI itu tidak etis.

Honi juga menjelaskan bahwa TNI merupakan instrumen negara, bukan instrumen orang-orang dari partai politik. Saat memberikan respons tersebut, Honi juga menyinggung soal Peristiwa 17 Oktober 1952.

Baca Juga:Viral Video Perwira TNI Gebrak Meja Tuntut Effendi Simbolon Minta Maaf: 'Darah Kami Mendidih'

Ia mengatakan, karena instrumen negara, yang berhak memberi koreksi dan evaluasi pada TNI itu presiden, bukan dari DPR.

"TNI itu alat negara, betul kami instrumen, tapi instrumen negara. Kami bukan instrumen orang-orang politik. Kami tugasnya itu untuk mencapai cita-cita negara di bawah kepala negara. Harusnya kepala negaralah yang menyampaikan evaluasi, bukan anggota DPR. Ingat peristiwa pengepungan istana pada 17 Oktober 1952, itu karena legislatif berusaha mencampuri urusan teknis TNI Angkatan Darat. Tentunya ini tidak berharap terjadi. Anggota DPR harusnya menghormati Panglima, Bapak Kasad, dan kami semua dalam sebuah forum yang sedemikian terhormat. Peristiwa kemarin itu melukai hati kami, karena Panglima dan Kasad itu pimpinan kami," tegas Honi.

5 Fakta Peristiwa 17 Oktober 1952

1. Militer dan politik

Latar belakang Peristiwa 17 Oktober 1945 tak lepas dari gesekan politik dengan militer, sehingga kemudian terjadi perpecahan yang memunculkan dua persepsi militer.

Baca Juga:Tak Terima TNI Disebut 'Gerombolan' dan Atasannya Tidak Akur, Dandim Cilegon Desak Effendi Simbolon Minta Maaf

Kala itu, ada yang berpendapat bahwa tentara harus dikembalikan sesuai fungsinya, dan di sisi lain, ada yang ingin mempertahankan fungsi ganda tentara, yakni selain militer juga berpolitik, didukung persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) .

2. Konflik internal militer

Karena saat itu konflik politik makin bermunculan, banyak pejabat korupsi, hingga situasi keamanan memburuk, kegerahan rakyat mendorong mereka untuk menyuarakan percepatan pemilu supaya anggota parlemen segera diganti.

Kepala Staf Angkatan Perang Mayjen TB Simatupang dan KSAD AH Nasution pun ingin mengembalikan tentara sesuai fungsi militer. Namun, gagasan itu mendapat tentangan dari Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Bung Karno yang sering keluar-masuk Istana.

Lantas, Supeno mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden, dan DPRS, yang isinya menyatakan bahwa ia tak mempercayai lagi pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, yang dipimpin AH Nasution. Ia jugalah yang melobi Bung Karno supaya AH Nasution diganti.

3. Campur tangan parlemen dalam militer

Perpecahan dalam internal militer lalu dibawa ke parlemen. Turut andil, DPRS pun mengajukan mosi supaya pemerintah membentuk panitia khusus sebagai tindak lanjut untuk masalah internal TNI itu.

AH Nasution lantas menilai, kemunculan mosi itu menunjukkan terlalu jauhnya intervensi parlemen dalam lingkungan TNI, sehingga ia mendesak Presiden untuk membubarkan Parlemen.

4. Moncong meriam dihadapkan ke istana

Bukan cuma AH Nasution, desakan tersebut juga digaungkan oleh rakyat melalui demonstrasi ke gedung Parlemen [waktu itu masih di Lapangan Banteng Timur] dan Istana Merdeka. Bersama puluhan ribu demonstran, para perwira militer melakukan unjuk rasa pada 17 Oktober 1952.

Kendaraan truk militer, pasukan tank, hingga meriam dikerahkan dalam aksi unjuk rasa tersebut. Moncong meriam bahkan diarahkan ke Istana.

Presiden Ir Soekarno pun menemui demonstran. Menjawab tuntutan, dirinya menolak membubarkan parlemen dengan alasan tak mau menjadi diktator. Namun, ia akan berusaha mempercepat pemilu.

5. AH Nasution diganti

Soekarno menilai unjuk rasa 17 Oktober 1952 itu sebagai makar. Kemudian, usai peristiwa itu, ia menemui delegasi militer.

Pada akhirnya, AH Nasution mengajukan permohonan mengundurkan diri, disusul Mayjen TB Simatupang. Jabatan KSAD lalu digantikan oleh Kolonel Bambang Sugeng.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini