SuaraJogja.id - Elemen air merupakan kebutuhan paling mendasar manusia disamping tanah. Namun, pesatnya pembangunan hingga perilaku masyarakat yang makin abai dengan lingkungan sekitar mengancam kondisi air. Hal itu seperti yang terjadi di Kota Yogyakarta, dimana kualitas air makin buruk dari waktu ke waktu.
Berdasar kajian dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta ditemukan bahwa tiga sungai besar yang mengalir di Kota Yogyakarta telah tercemar. Kondisi itupun berpengaruh terhadap kualitas air tanah yang menjadi konsumsi masyarakat.
Senada dengan kajian tersebut, warga di kawasan bantaran sungai Code pun tak memungkirinya. Hal itu seperti yang diungkapkan Ariyanto (50). Tokoh masyarakat di kawasan kampung yang berada di bawah Jembatan Gondolayu tersebut mengiyakan bahwa salah satu sungai besar yang membelah kawasan Kota Yogyakarta itu telah tercemar.
"Ya dalam taraf tertentu sudah tercemar. Jadi kita memang sekain ke hilir itu pencemaran semakin tinggi," kata Ari sapaan akrabnya saat ditemui beberapa waktu lalu.
Pria yang sudah menempati bantaran Sungai Code sejak tahun 1979 itu mengakui kondisi air sungai yang tercemar cukup mempengaruhi ekosistem yang ada di dalamnya. Termasuk dengan perubahan biota sungai dari waktu ke waktu.
Contohnya saja, ia menjelaskan ada beberapa jenis ikan yang dulu masih sering ditemui pemancing, kali ini sudah tak lagi dapat ditemukan atau malah ada jenis baru yang muncul.
"Berpengaruh pada biota yang ada juga. Jadi sudah berubah biotanya. Ya jenis-jenis ikan yang dulu ada menjadi tidak ada. Kemudian ada juga ikan-ikan baru," tuturnya.
"Misalnya gini kita sulit sekali sekarang ini mencari ikan semacam wader, uceng, itu sulit. Sekarang adanya nila, palung, jadi semacam mendekati ikan predator lah," sambungnya.
Memang sekarang tetap ada sejumlah warga yang memancing di sungai tersebut. Namun kebanyakan dari pemancing hanya untuk sekadar hobi saja.
Sehingga bukan untuk mencari ikan tertentu dalam dalam jumlah banyak. Melainkan untuk menghabiskan waktu sambil menikmati suasana kota Jogja dari bantaran Sungai Code.
"Mancing ke sungai masih ada. Biasanya ya cuma buat keasikan mereka saja, ikan tidak berpengaruh, lebih sekadar hobi saja. Kalau air sungai semakin keruh memang," ujarnya.
Ari menuturkan aktivitas masyarakat di sungai pun tak terlalu masif. Mengingat fasilitas toilet hingga sumber mata air yang ada di bantaran sudah cukup memadahi.
"Bisa dikatakan 100 persen tidak ada (aktivitas di sungai). Bahkan kita sudah kencang untuk mengedukasi tidak membuang sampah ke sungai. Walaupun tetap aja ada tapi prosentasenya kecil juga. Enggak mudah sih. Kita sampai saat ini cenderung buang keluar, ke TPS," ungkapnya.
Walaupun tak dimungkiri juga masih banyak warga yang membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai. Namun IPAL pun juga sudah digunakan sejumlah warga.
Terkait sumber pencemaran sendiri, ia tak memungkiri berasal dari limpahan di wilayah utara Kota Yogyakarta. Selain itu ia menduga biang pencemaran juga berasal dari pengolahan limbah yang kurang baik dari rumah makan hingga hotel di sekitar bantaran sungai.
"Karena kan kenyataannya ini (air sungai) masih berbau, artinya masyarakat tidak tahu kalau berbau begitu tingkat berbahayanya sampai seperti apa. Artinya kan air yang keluar dari buangan itu tadi masih ada yang berbau. Semestinya sudah diolah oleh mereka perusahaan besar itu tapi sejauh mana efektifnya ya enggak tahu," terangnya.
Sumur Tercemar E-Coli
Disampaikan Ari, ada sekitar 200an warga yang tinggal di wilayahnya. Guna memenuhi kebutuhan air bersih itu mereka memanfaatkan berbagai sumber yang tersedia.
Ada yang sudah memasang PDAM secara mandiri, ada yang menggunakan satu sumur untuk beberapa warga serta ada yang memanfaatkan mata air di sekitar kampung mereka.
"Warga sini sebagian besar PDAM tapi memang kita punya mata air yang kami rasa bagus. Itu bisa kami pakai untuk cuci dan mandi," ucapnya.
Sedangkan untuk sumur sendiri hanya ada satu di wilayahnya. Sumur itu dibangun sekitar tahun 1984 silam dan masih terus digunakan hingga sekarang.
Namun, kata Ari, air sumur itu diketahui sudah tercemar oleh bakteri E-Coli. Hal itu diketahui beberapa tahun lalu saat dilakukan penelitian terkait kualitas air di sumur itu.
"Justru sumur yang ini agak jauh dari sini (sungai) ternyata sumur itu malah indikasinya bakteri E-Colinya tinggi. Sudah pernah diteliti, sudah lama sekali. Tapi sekarang masih kita pakai. Sumur hanya ada satu. Sisanya PDAM dan mata air," paparnya.
Ia menyebut sejauh ini pengalaman terkait pencemaran air sungai ke air yang digunakan masyarakat sangat minim. Praktis hanya air sumur tadi saja yang sudah pernah diteliti. Namun sisanya, secara fisik tak terlihat pencemaran itu.
Pencemaran paling parah dialami warga bantaran Sungai Code saat kejadian erupsi dahsyat Gunung Merapi tahun 2010 silam. Saat itu material erupsi sempat membanjiri Sungai Code hingga masuk ke beberapa sumber mata air sehingga tercemar.
Namun untuk banjir biasa, kata Ari, selama ini tak berpengaruh pada mata air yang ada di bantaran sungai tersebut. Mengingat saat ini masyarakat telah menyiasatinya dengan menaikan bangunan mata air itu.
Tak ada keluhan kesehatan
Disinggung tentang masalah kesehatan, Ari menegaskan selama ia menginjakkan kaki di kampung bantaran Sungai Code belum ada keluhan masyarakat terkait dengan kesehatan setelah mengonsumsi air di wilayahnya.
Ia menilai hal itu disebabkan oleh tubuh mereka yang adaptif atau sudah terbiasa. Sehingga warga pun tak begitu merasakan perubahan signifikan dalam kualitas air yang mereka gunakan sehari-hari.
"Mungkin karena sifat adaptif kami ya. Jadi kita sudah lebih terbiasa tidak terlalu menghiraukan atau tidak memperhatikan kalau kita keluhan karena air," tegasnya.
Temuan indikasi pencemaran bakteri E-Coli di satu sumur beberapa tahun lalu pun tak berpengaruh banyak terhadap penggunaannya. Sejumlah warga tetap menggunakan air sumur itu untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, mulai dari cuci, mandi hingga konsumsi.
"Enggk ada (yang spesifik terdampak). Ya itu tadi mungkin sudah adaptif itu tadi. Airnya juga diolah tidak ada yang langsung diminum," terangnya.
"Masyarakat mengkonsumsi biasa dan tidak ada masalah. Kualitas air yang dikonsumsi masyarakat tidak berpengaruh pada kesehatan masyarakat," ujarnya.
Kendati demikian, Ari tak memungkiri bahwa sosialisasi terkait dengan kualitas air bersih itu masih kurang menyasar warga di bantaran Sungai Code khususnya. Padahal menurutnya hal itu diperlukan agar masyarakat juga memahami kondisi yang ada.
Apakah memang kualitas air yang mereka gunakan itu benar-benar bersih atau tidak, apakah kemudian layak dikonsumsi hingga seberapa tercemar kondisi air di lingkungan mereka. Informasi itu dinilai penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam kebersihan lingkungannya, terutama terkait dengan air.
"Ya kalau sosialisasi terkait air ya saya rasa masih kurang ya. Jadi bahkan kalau perlu pemerintah bisa membuat semacam petunjuk praktis bagaimana mengetahui air itu 'tidak layak konsumsi' itu penting. Tidak hanya mereka ambil sampelnya lalu dibawa ke lab terus kita enggak tahu kemana," pungkasnya.
Semua Sungai di Kota Kualitasnya Buruk
Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas dan Pengawasan Lingkungan Hidup, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta Very Tri Jatmiko tidak tanggung-tanggung menyatakan bahwa kualitas semua air sungai di wilayahnya sudah buruk.
Diketahui bahwa di Kota Yogyakarta terdapat tiga sungai yang membelah wilayah kota dan sangat dekat dengan permukiman warga yaitu Sungai Gajah Wong di sebelah Timur, Sungai Code di bagian Tengah dan Sungai Winongo di bagian Barat.
"Kalau air sungai itu memang sudah jelek. Gajah Wong, Code, Winongo bahkan di embung juga kualitasnya sudah jelek," kata Very ketika ditemui Senin (5/9/2022).
Kondisi itu bukan tanpa isapan jempol belaka. Very menjelaskan DLH Kota Yogyakarta telah mengambil sejumlah sampel dari beberapa tempat mengalirnya air di wilayahnya termasuk tiga sungai besar itu setiap tahunnya.
Berdasarkan hasil pengujian beberapa sample pada tahun 2021 kemarin kondisi air tanah di Kota Yogyakarta berdasarkan hasil perhitungan status mutu air terhadap parameter yang diuji adalah cemar ringan.
Perhitungan status mutu air tanah itu dilakukan dengan menggunakan metode IP serta baku mutu Permenkes Nomor 32 tahun 2017.
"Ada pemeriksaan fisik dan kimia. Secara umum konsentrasi parameter fisik berada di bawah baku mutu. Fisik itu ada kekeruhan, warna, dia bisa dilihat. Kalau pengukuran kimia ada sendiri," ujarnya.
Memang kondisi yang ditemukan adalah cemar ringan. Namun hal itu dilihat dari semua parameter yang diujikan tadi. Beda hasil jika kemudian parameter itu dilihat secara satu persatu.
"Jadi cemar ringan karena berdasarkan dari beberapa parameter," ucapnya.
"Padahal syarat air minum tidak boleh ada Coli-nya. Kalau ada Coli berarti tidak layak minum. Kalau misalnya kita ditanya gimana kondisi air tanah di Kota Yogyakarta, ya berdasarkan parameter ini tadi kita cemar ringan karena kita mengukur dengan berbagai parameter. Tapi kita tidak melihat secara spesifik coli. Jadi semua cemar ringan dengan semua parameter. Beda kalau diukur sendiri-sendiri. Bukan satu parameter," sambungnya.
Tak hanya hasil dari tahun lalu saja yang memprihatinkan. Melainkan dari tahun-tahun sebelumnya kualitas air sungai memang semakin memburuk.
"Kalau air sungai semakin hari semakin jelek. Nah 2022 seperti apa, ya saya rasa enggak akan jauh beda. Malah mungkin bisa lebih buruk. Kan penduduk masih sama," terangnya.
Buruknya kualitas air sungai menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat yang hidup di bantaran sungai. Terlebih, kata Very, air sungai itu dapat memengaruhi air tanah atau sumur yang berada di sekitarnya.
Limbah domestik atau rumah tangga ditengarai menjadi penyebab memburuknya kualitas air di kota pelajar. Mengingat permukiman warga di sepanjang bantaran sungai lebih banyak ketimbang tempat industri.
Limbah rumah tangga seperti hasil cucian baju, hingga industri atau usaha kecil yang tak terhitung jumlahnya itu juga berpengaruh kepada kualitas air. Ditambah pula deretan rumah makan yang berada di pinggir sungai tak ketinggal turut menyumbang limbah domestik itu.
"Ya perilaku masyarakat, apalagi musim kemarau seperti ini. Seperti ibarat kalau kita ngasih air di gelas, kalau air setengah dan air penuh lalu kita kasih gula kan lebih encer yang airnya banyak. Nah sama, kalau air sungai itu kan tetep yang masuk banyak tapi yang pengencernya dari utara sedikit. Jadi konsentrasi lebih pekat, lebih jelek. Jadi lebih baik di musim hujan," paparnya.
Pencemaran Bisa Dikurangi?
Very menuturkan bukan perkara mudah mengurai pencemaran pada air sungai. Sebab ada banyak faktor yang kemudian membuat pencemaran itu terjadi.
"Kita itu mempertahankan saja jangan sampai melorot itu sudah bagus. Karena terlalu banyak faktor, misalnya air sungai dari utara ke selatan kan kita enggak ngerti di Sleman itu seperti apa," cetusnya.
Ia menyebut faktor-faktor yang masuk ke dalam sungai itu yang tidak bisa kendalikan. Walaupun sebenarnya alam memiliki kemampuan untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Namun sayangnya, banyak orang yang kemudian tidak membuat hal itu bisa terjadi. Tak hanya berlaku bagi air sungai saja tapi juga air tanah.
"Alam itu bisa memperbaiki dirinya sendiri tapi manakala yang masuk lebih banyak daripada kemampuannya ya ini jadi jelek. Pencemaran itu kan kayak gitu. Jadi tanah itu bisa mempurifikasi sendiri tapi manakala yang masuk lebih banyak, tanah ya kewalahan dan terjadi pencemaran," ungkapnya.
"Sama dengan sungai, kalau ada tumbuhan, kemudian ada jeram-jeramnya itu sebenarnya jangan diubah. Memang kondisi sungai itu untuk mempurifikasinya seperti itu," imbuhnya.
Jadi, kondisi itu harusnya menjadi perhatian bagi masyarakat. Terlebih tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan sungai.
Masyarakat harus memahami sungai itu sendiri sebelum melangkah lebih jauh lagi. Baik untuk tempat tinggal saja maupun jika akan dimanfaatkan sebagai tempat wisata yang menghasilkan.
Dalam kesempatan ini, Very turut menyinggung tentang tragedi minamata di Jepang. Sebuah tragedi kelam terkait pencemaran di Teluk Minamata pesisir Laut Shiranui, Jepang pada tahun 1950-an silam.
Memang pencemaran sungai di Kota Yogyakarta tidak separah limbah methyl merkuri yang dibuang dalam jumlah besar ke teluk Minamata. Namun sedikit demi sedikit pencemaran itu bukan tak mungkin bisa berdampak pada ekosistem yang berada di sungai.
Pengelolaan Lingkungan Perlu Biaya
Persoalan lingkungan menjadi hal kompleks. Ada banyak kendala yang harus dihadapi tak hanya dari pemerintah tapi juga masyarakat. Salah satu yang utama adalah terkait dengan biaya.
"Kita mengelola lingkungan itu memang masih menjadi cost biaya. Itu yang kadang antara ekonomi dan lingkungan itu masih selalu kalah kan karena itu. Semua itu biaya, karena biasanya yang lebih ramah lingkungan lebih mahal. Bisa tapi tinggal kita mau atau tidak," ungkapnya.
DLH Kota Yogyakarta sendiri tak tinggal diam melihat kondisi ini. Sempat beberapa waktu alat pengolahan limbah diberikan kepada sejumlah jasa cucian baju. Namun hal itu tak berujung baik sebab pemeliharaan tidak dilakukan dengan baik.
"Pengelolalan limbah itu masih identik dengan biaya dan orang Indonesia belum familiar dengan itu," ucapnya.
Diperlukan pemahaman masyarakat yang lebih untuk setidaknya menjaga kualitas yang ada saat ini tidak semakin buruk. Di samping pengolahan limbah terpadu yang juga harus terus dipikirkan pemangku kebijakan.
Terkait dengan masalah air khususnya, masyarakat disarankan untuk menggunakan PDAM sebagai alternatif. Menurut Very, PDAM yang mengambil air di tanah dalam akan cenderung lebih baik dari segi kualitas dibanding dengan air di tanah dangkal.
Saat ini hotel-hotel dan usaha baru pun sudah diarahkan ke sana. Mengingat kualitas dan dampak terhadap lingkungan ke depan juga yang harus diperhatikan.
"Harapannya masyarakat itu kalau ada PDAM pakai saja PDAM. Di beberapa wilayah kota besar mengalami penurunan tanah karena pengambilan air tanah yang masif. Itu karena kita masih menggunakan air tanah," tandasnya.
Pencemaran Berat
Tak berbeda dengan temuan DLH Kota Yogyakarta, Direktur Eksekutif Walhi Yogyakarta, Halik Sandera menyampaikan bahwa kondisi air sungai di kota gudeg ini sudah tercemar bahkan sejak beberapa tahun terakhir.
Hal itu ditunjukkan dari pengujian atau pemantauan sungai dengan menggunakan metode biolitik. Tujuannya agar dapat langsung memantau kondisi kesehatan ekologis di dalam sebuah sungai dan daerah alirannya tersebut.
Diketahui bahwa metode biolitik dilakukan dengan menggunakan indikator makro invertebrata atau hewan tidak bertulang belakang. Misalnya saja capung, udang, siput, dan cacing.
Dari hasil pemantauan menggunakan metode biotilik itu nanti dapat terlihat ada tidaknya gangguan lingkungan pada ekosistem sungai.
"Kami terakhir itu tahun 2018/2019 metodenya menggunakan biotilik. Jadi menggunakan biota yang ada di sungai itu. Satu metode sederhana yang sebenarnya itu bisa diaplikasikan oleh warga secara umum," kata Halik saat dihubungi, Selasa (6/9/2022).
Hasilnya, saat pengujian itu dilakukan pada musim kemarau ditemukan bahwa air sungai yang berada di wilayah Kota Yogyakarta itu rata-rata memang tercemar dengan kategori berat. Mengingat masuknya air bersih ke sungai dari mata air atau hujan itu lebih sedikit.
"Kalau pas di musim hujan itu biasanya ada yang status tercemarnya sedang atau ringan karena artinya setiap hari akan ada input air hujan," terangnya.
Pencemaran yang terjadi di air sungai itu kemudian akan mempengaruhi kondisi air tanah di kanan kiri sungai. Bahkan pencemaran bisa masuk ke dalam sumur-sumur warga yang ada di sekitarnya.
Dari pemantauan Walhi Yogyakarta, secara umun hampir di seluruh sungai yang ada memiliki kondisi sama parahnya. Belum lagi ketika musim kemarau seperti sekarang dan ditambah ada banyak masukan selain dari limbah rumah tangga.
Belum lagi sungai yang tercemar itu berpotensi juga mengganggu ekosistem. Sebab memang ada beberapa jenis ikan misalnya yang cukup sensitif dengan tingkat pencemaran.
"Beberapa jenis kalau dia sensitif dengan tingkat pencemaran cukup tinggi pasti dia akan mencari habibat yang lain karena dia tidak akan bisa hidup di kondisi tercemar," paparnya.
Halik menyebut bahwa status tercemarnya air sungai pada saat sekarang ini memang sudah memprihatinkan. Sehingga perlu ada tindakan tegas yang perlu dilakukan agar tak terus dibiarkan berlangsung.
Salah satunya terkait dengan tidak membiarkan ada input atau masukan limbah baru ke sungai yang telah terbukti tercemar. Supaya pencemaran itu dapat semakin ditekan.
"Status tercemar itu kan dalam bahasa lingkungan itu kan daya dukungnya sudah terlampaui. Artinya kondisi tertentu, seharusnya dalam kajian lingkungan saat kemudian status sungai itu sudah tercemar misalnya, itu seharusnya tidak boleh ada inputan baru," tegasnya.
Pihak-pihak yang berkaitan dengan hal ini dinilai harus aktif memberikan edukasi kepada masyarakat. Termasuk dengan tidak membuang limbah baru lagi ke sungai yang telah tercemar.
"Artinya kalau misalnya ada usaha atau kegiatan di sekitar sungai itu secara izin itu tidak diperbolehkan membuang limbah. Walaupun itu sudah diproses dengan standar baku mutu," ucapnya.
Sebab, lanjut Halik, baku mutu yang sudah diujikan itu bukan tak mungkin masih dapat menimbulkan pencemaran lagi. Sehingga seharusnya memang tidak boleh ada inputan lagi di sungai di masa mendatang.
"Kalau sungai sudah tercemar seharusnya tidak ada inputan lagi khususnya dari sebuah usaha atau kegiatan atau industri," tegasnya.
Diakui Halik memang tak mudah melakukan pengawasan terkait hal itu. Belum lagi masih dihadapkan dengan perilaku masyarakat yang juga membuang limbah domestik ke sungai.
Di sini peran pemerintah dibutuhkan untuk dapat menghasilkan pengelolaan limbah yang efektif di tengah masyarakat. Sehingga persoalan limbah domestik di masyarakat dapat lebih tertangani dengan baik.
"Misal dengan IPAL komunal kemudian atau dengan bentuk-bentuk lain yang paling tidak itu sangat membantu memperbaiki kualitas air yang ada," tuturnya.
"Kalau (limbah) yang rumah tangga memang seharusnya ada peran aktif dari pemerintah untuk memfasilitasi. Beberapa sudah ada tinggal wilayah mana yang kemudian belum terlayani dengan IPAL komunal atau bentuk-bentuk septic tank yang itu bisa mengurangi tingkat pencemaran sebelum itu dialirkan ke badan air atau sungai," imbuhnya.
Sebab hingga kini masih ada beberapa warga khususnya di bantara sungai yang memanfaatkan sumur untuk aktivitas sehari-hari. Jika kualitas air sungai tak dijaga maka dampak buruk kepada masyarakat berpotensi muncul.
Temuan Dinkes Kota Yogyakarta Soal Kualitas Air
Koordinator Kelompok Substansi Kesehatan Lingkungan Kesehatan Kerja, Kesehatan Olahraga (KLKKKO) Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Nur Wara Gunarsih menuturkan pihaknya sudah melakukan pengujian terhadap kualitas air yang digunakan masyarakat untuk dikonsumsi sehari-hari mulai dari mandi, cuci, memasak dan lain-lain.
Hal itu dilakukan dengan mengacu pada aturan Permenkes Nomor 492 tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Kemudian Permenkes nomor 32 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air Untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solusi Per Aqua dan Pemandian Umum.
"Ini kalau hasilnya untuk sementara di tahun 2022 ini ada beberapa kategori yang bisa kami sampaikan tetapi ini tidak bisa mewakili kondisi seluruh Kota Yogyakarta. Sebab hanya beberapa yang kami periksa sesuai dengan permintaan yang ada di masyarakat dan permintaan itu kadang-kadang ada yang untuk kepentingan jasa boga, perizinan apotek dan lain-lain," kata Wara ditemui Jumat (9/9/2022).
Ia merinci bahwa dari sekian pemeriksaan yang telah dilakukan itu ada temuan air yang masuk dalam kategori memenuhi syarat maupun tidak memenuhi syarat.
Kualitas air untuk keperluan higiene sanitasi dari 93 yang sampel yang masuk di UPT Labkes Kota Yogyakarta sebanyak 51 sampel memenuhi syarat dan 42 tidak memenuhi syarat.
Kemudian untuk air minum itu yang sudah masuk di bulan Januari sampai dengan Mei 2022 yaitu ada 407 sampel. Dari jumlah itu yang memenuhi syarat ada 118 sampel dan yang tidak memenuhi syarat ada 289 sampel.
"Jadi kalau untuk air minum itu kan semuanya harus nol. Jadi baku mutunya sesuai dengan Permenkes tadi itu kalau untuk air minum itu coli totalnya 0 dan E-Colinya juga nol. Itu yang di kami banyak yang belum memenuhi syarat," ungkapnya.
Kemudian untuk yang depot air minum atau dikenal dengan air minum isi ulang ada 69 sampel yang sudah diperiksa secara mikrobiologi. Hasilnya 56 sampel memenuhi syarat dan 13 tidak memenuhi syarat.
Lalu pemeriksaan yang dilakukan secara kimia jumlah sampel yang masuk ada 181 dan yang memenuhi syarat sebangak 146 sampel dan tidak memenuhi syarat 35 sampel.
"Tapi itu tadi seperti yang saya aturkan belum bisa menggambarkan kondisi yang sebenarnya karena yang memeriksa ini tergantung permintaan yang ada di masyarakat," imbuhnya.
Sampel dinyatakan tidak memenuhi syarat itu yang biasanya setelah diperiksa secara mikrobiologi menunjukkan ada coli total di atas 50 per 100 ml air atau ada bakteri E-Coli. Padahal untuk keperluan higiene sanitasi maupun keperluan air minum, E-Coli itu harus tidak ada atau nol.
"Kalau higiene sanitasi itu coli totalnya boleh di bawah 50 tetapi kalau lebih dari 50 itu juga tidak memenuhi syarat. Sehingga harus perlu ada penanganan khusus, ada treatment tersendiri," terangnya.
Ancaman Penyakit dari Air Tercemar
Wara menyatakan berbagai penyakit bisa muncul jika masyarakat mengonsumsi air yang tercemar tersebut. Gangguan pencernaan menjadi yang paling sering ditemui akibat konsumsi air ini.
"Air yang tidak memenuhi syarat itu biasanya untuk golongan coli biasanya menimbulkan gangguan di saluran pencernaan," ujarnya.
"Jadi biasanya gangguan yang timbul atau penyakit yang timbul diare biasanya itu, kemudian infeksi saluran kemih atau mungkin gatal-gatal di kulit itu kalau misalnya ada parasit atau apa yang ada di dalam air itu. Tapi rata-rata gejala yang ditimbulkan adalah diare biasanya. Kalau tidak memenuhi syarat dan tidak ditreatment," paparnya.
Terkait dari penyakit yang muncul akibat dari konsumsi air di Kota Jogja sendiri tahun ini, diungkapkan Wara memang belum ditemukan. Justru temuan gangguan diare itu kebanyakan disebabkan oleh makanan.
Namun jika konsumsi air tercemar itu terus dibiarkan maka potensi timbulnya penyakit atau gangguan pada tubuh pun tetap bisa muncul. Sehingga pemeriksaan kualitas secara rutin disarakan untuk dilakukan.
"Sebenarnya untuk lebih aman diperiksa secara rutin 6 bulan sekali kalau untuk itu (kualitas air). Kalau untuk air minum itu 1 bulan sekali itu idealnya sesuai sesuai Permenkes. Jadi air yang kita gunakan itu benar-benar air yang layak dan aman," cetusnya.
Peralihan dari air sumur ke PDAM sebenarnya bisa saja dilakukan. Mengingat kualitas air dari PDAM itu sudah diperiksa atau diolah terlebih dahulu sebelum distribusi.
Sehingga jika memang kondisinya tak memungkinkan untuk mendapat air bersih. Masyarakat bisa menggunakan air PDAM sebagai pilihannya.
Walaupun tak dipungkiri Wara, pihaknya masih mendengar keluhan di masyarakat terkait kadang-kadang air yang mengalir tak sesuai kebutuhan dan sebagainya.
Dijelaskan Wara, bagi masyarakat yang ingin mengetahui kualitas airnya baik secara mikrobiologi maupun kimia, bisa melalui sanitarian di Puskesmas.
"Jadi masyarakat yang menghendaki pengujian air bisa mendatangi Puskesmas terdekat sesuai wilayah tempat tinggal. Kemudian nanti bertemu dengan sanitarian atau petugas kesehatan lingkungan nanti di sana menyampaikan ingin melakukan pengujian kualitas air. Nanti akan ditanya oleh sanitarian itu keluhannya apa," terangnya.
Sebab biasanya memang selama ini pengujian itu dilakukan berdasarkan dari keluhan yang dirasakan oleh masyarakat. Hal itu diperlukan juga untuk arah pengujian air itu sendiri.
Kemudian nanti setelah itu, sanitarian akan datang ke lokasi titik sampel ke lokasi sumber air yang tadi akan diperiksakan. Nanti di sana sanitarian akan menginpeksi kesehatan lingkungan di sekitar sumber itu.
"Nanti akan dilihat. Bagaimana kondisi sumurnya, bagaimana kondisi lingkungannya, setelah itu baru dilakukan pengambilan sampel oleh petugas sanitarian. Sampel dari sumber air tadi akan membawa ke UPT labkes dan ajan diuji di sana baik mikrobiologi maupun kimia," jelasnya.
Pengujian sampel air sendiri diperkirakan memakan waktu sekitar satu minggu. Setelah hasil sudah keluar akan diantar lagi ke masyarakat tadi yang menghendaki pengujian air.
"Tapi itu nanti untuk retribusinya dibebankan kepada masyarakat yang mengajukan permintaan pengujian," imbuhnya.
Jika kemudian air itu didapati tidak memenuhi syarat edukasi kepada masyarakat akan dilakukan. Terkhusus dengan pemanfaatan dan pengolahan air itu untuk kebutuhan konsumsi.
Air Tak Memenuhi Syarat Masih Bisa Dikonsumsi, Asal...
Wara menegaskan bahwa kualitas air yang masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat atau tercemar bakteri masih dapat digunakan atau dikonsumsi. Namun harus dengan treatment atau pengolahan yang benar.
Pengolahan paling sederhana dan mudah adalah dengan metode perebusan. Air yang diambil dan akan dikonsumsi harus direbus dulu hingga mendidih minimal selama 3 menit.
"Jadi setelah mendidih kompornya jangan dimatikan dulu tapi dikecilkan dalam kondisi wadah yang tertutup dibiarkan tetap mendidih 3 menit. Setelah itu baru apinya dimatikan bisa digunakan, itu sudah aman," kata Wara.
Harapannya dengan mendidih 3 menit, bakteri-bakteri patogen atau bakteri-bakteri yang biasanya menyebabkan penyakit itu sudah mati atau sudah dipastikan mati. Namun kalau kurang dari itu dimungkinkan ada bakteri yang masih hidup.
Sebab ada bakteri yang tahan panas sehingga dikhawatirkan bakteri itu belum mati. Hanya 'pingsan' saat suhu panas namun setelah suhunya menurun bakter itu akan bangkit kembali dan itu bisa berpotensi menimbulkan sakit.
"Jadi ya masih bisa dengan treatment yang paling mudah itu dengan secara fisik dengan pemanasan itu tadi perebusan secara mendidih," tegasnya.
Ada pula treatment atau penanganan secara kimia dengan klorinasi. Dalam metode ini air dipaparkan dengan klorin atau bahasa awam dikenal dengan kaporit dengan dosis yang sesuai.
Hal itu akan berfungsi untuk membunuh bakteri yang ada di dalam air sehingga setelah itu baru bisa digunakan.
"Cuma kalau dengan klorinasi biasanya masyarakat kita masyarakat Kota Jogja atau Jawa itu kata mereka, 'wah mambu kaporit' jadi kadang-kadang itu kata mereka mengubah rasa itu," ungkapnya.
"Padahal sebenarnya treatment klorinasi ini yang digunakan oleh PDAM. Itu mengapa air PDAM berbau kaporit itu memang treatment-nya sebelum dialirkan didistribusikan ke masyarakat mereka melakukan pengolahan dulu dari air bakunya. Diolah menggunakan klorinasi dengan kadar yang sesuai sehingga bakterinya dipastikan mati. Kemudian baru dialirkan ke masyarakat," sambungnya.
Walaupun begitu, kata Wara, air PDAM yang sudah diklorinasi tetap harus diolah dulu sebelum dikonsumsi. Pengolahannya tetap sama yakni dengan perebusan tadi.
Pengolahan dibutuhkan sebagai antisipasi kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada pipa-pipa atau kran penyaluran air itu. Sehingga memang untuk lebih aman adalah tetap diolah dengan direbus terlebih dulu.
"Amannya memang kalau mau dikonsumsi ya direbus dulu. Itu paling gampang," tegasnya.
Selain pengolahan tadi, Wara menambahkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat berkaitan juga dengan perilaku masyarakatnya. Perilaku hidup bersih dan sehat serta menjaga lingkungan sekitar itu harus menjadi budaya di masyarakat.
"Harapannya, apa-apa yang digunakan untuk mendukung kehidupan itu juga akan sehat termasuk kondisi lingkungannya. Kalau kita sudah berbudaya bersih dan sehat dan kita terapkan dimana pun. Jadi untuk diri kita sendiri dan untuk lingkungan itu akan mempengaruhi derajat kesehatan kita sebagai penghuni yang ada di lingkungan itu," pungkasnya.