Kapan UMP Jogja Capai Angka Rp4 Juta? Begini Kata Pakar Ekonomi UGM

Berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) dari berbagai serikat buruh yang ada di DIY, angka saat ini seharusnya sudah mencapai Rp4 juta.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 01 November 2022 | 11:21 WIB
Kapan UMP Jogja Capai Angka Rp4 Juta? Begini Kata Pakar Ekonomi UGM
Ilustrasi UMP Jogja. [ Ilustrator / Ema Rohimah]

SuaraJogja.id - Upah minimum provinsi (UMP) di DIY masih terus menjadi sorotan. Terlebih sebelum penetapan upah minimum tahun 2023 yang direncanakan akan dilalukan pada November ini.

Berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) dari berbagai serikat buruh yang ada di DIY, angka saat ini seharusnya sudah mencapai Rp4 juta. Namun Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Hempri Suyatna menyebut belum saatnya DIY menetapkan upah minimum senilai itu. Lalu kapan upah minimum DIY akan mencapai angka Rp4 juta?

"Kalau itu kita harus melihat berbagai dimensi karena juga ditentukan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan tingkat inflasi juga," kata Hempri saat dihubungi awak media, Senin (31/10/2022). 

Disampaikan Hempri, masih diperlukan waktu yang cukup lama untuk bisa mencapai angka Rp4 juta dalam upah minimum Jogja. Mengingat UMP tertinggi di Indonesia terakhir juga masih berada dikisaran angka Rp4 juta.

Baca Juga:Prakiraan Cuaca di Jogja 1 November 2022, Seluruh Wilayah DIY Cerah Berawan

Diketahui UMP tertinggi di Indonesia sendiri masih dipegang oleh DKI Jakarta dengan nilai Rp4,6 juta pada 2022 ini. Sehingga masih ada jalan panjang yang harus dilewati Jogja untuk menyentuh angka tersebut.

"Kalau angka Rp4 juta masih agak berat karena tertinggi di Indonesia juga cuma Rp4 juga ya. Jakarta kalau nggak salah," ucapnya.

Terkait dengan ancaman resesi di tahun 2023 mendatang, kata Hempri, bisa juga berpengaruh pada nilai upah minimum di daerah. Kendati demikian, selain kesejahteraan butuh, kondisi atau keberlanjutan perusahaan juga menjadi bagian penting untuk kebijakan upah ini.

(Kalau dipaksakan) Iya dampaknya seperti itu juga (PHK massal) itu perlu diperhatikan. Artinya tumbuh bersama lah. Bareng-bareng antara buruh dan pengusaha," tandasnya.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pengupahan perwakilan buruh DIY, Jatmiko menuturkan pihaknya telah menggelar sejumlah rapat koordinasi terkait penetapan upah tersebut. 

Baca Juga:Potong Gaji Pegawai Penerima BSU, Waroeng SS Kena Semprot Disnakertrans DIY

Para buruh di DIY, kata dia, telah sepakat untuk tidak lagi memakai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Termasuk dalam menentukan nominal upah pada tahun 2023.

Hal itu bukan tanpa alasan, sebab Jatmiko menyebut aturan itu sudah tidak realistis. Mengingat data yang digunakan dari aturan tersebut adalah data inflasi survei dari Badan Pusat Statistik (BPS).

Pihaknya kemudian membandingkan jika penentuan nominal upah di DIY menggunakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 13/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL. Jika aturan itu yang digunakan maka nilai kebutuhan hidup layak (KHL) di Yogyakarta menyentuh angka Rp4 juta.

"Kami jelas menolak itu (PP 36/2021) untuk penentuan upah. Kalau berdasarkan Peremenaker Nomor 18 Tahun 2020, nilai KHL di Jogja mencapai Rp3 juta rupiah. Jadi ada perbedaan komponen lama dan baru," kata Jatmiko, dikonfirmasi Minggu (30/10/2022).

Dalam hal ini, pihaknya juga telah melakukan riset dengan sejumlah serikat pekerja yang ada di DIY. Dari riset itu ditemukan beberapa fakta, misalnya saja kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang dinilai cukup banyak berdampak ke masyarakat. 

"Jadi riset bersama DPD KSPSI dan beberapa curhatan teman-teman di lapangan baru menanyakan ke pedagang terkait harga, mereka (pedagang) bilang harganya semua naik," ucapnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak