Mantan Napiter Beri Tanggapan Terkait Penangkapan Terduga Teroris di Sleman, Soroti Hal Ini

lanjut Sofyan, ancaman terorisme itu akan selalu ada dan akan sangat relevan hingga kapanpun

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 23 Januari 2023 | 16:44 WIB
Mantan Napiter Beri Tanggapan Terkait Penangkapan Terduga Teroris di Sleman, Soroti Hal Ini
Mantan Teroris dari Jaringan Al Qaeda, Sofyan Tsauri, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6/2017). [Suara.com/Nikolaus Tolen]

SuaraJogja.id - Mantan narapidana terorisme (napiter), Muhammad Sofyan Tsauri alias Abu Ahyas memberi tanggapan mengenai penangkapan seorang pria terduga teroris yang diketahui berinisial AW (38) pada Minggu (22/2/2023) kemarin.

Sofyan yang sempat tergabung dengan jaringan Al-Qaeda Asia Tenggara dalam kamp di Aceh itu pertama memberikan apresiasi atas keberhasilan Densus 88 Antiteror Mabes Polri usai mengamankan seorang terduga teroris di Pandowoharjo, Sleman itu.


Menurut Sofyan, keberhasilan itu tidak lepas dari revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 menjadi Undang-undang Nomor 5 tahun 2018. Perubahan aturan itu disebut membuat polisi bisa menangkap orang yang diduga akan melakukan aksi terorisme. 


"Ini merupakan payung hukum bagi Densus 88 untuk melakukan preventif of justice. Jadi bagaimana mencegah bagaimana bom itu tidak meledak. Dulu meledak dulu baru bisa ditangkap, nah sekarang bisa ditangkap sebelum orang itu melakukan aksi. Ini kemajuan yang cukup bagus menurut saya karena kita bisa mencegah korban, mencegah aksi-aksi tersebut," kata Sofyan, Senin (23/1/2023).

Baca Juga:Sosok AW Tersangka Teroris Jaringan ISIS yang Ditangkap di Sleman, Sehari-hari Jadi Ojol


Kemudian, lanjut Sofyan, ancaman terorisme itu akan selalu ada dan akan sangat relevan hingga kapanpun. Tidak terbatas hanya di Indonesia saja melainkan hampir di seluruh dunia.


"Kalau ada yang mengatakan ini adalah konspirasi dan sebagainya itu enggak. Kita tahu sendiri Polri dalam bekerja dan sebagainya, kita melihat itu patut kita apresiasi menggagalkan seperti itu. Artinya kelompok ini sampai kapanpun akan tetap ada," terangnya. 


Disampaikan Sofyan, ancaman yang selalu ada itu seharusnya membuat semua pihak terkhusus stakeholder terkait lebih serius menangani kasus-kasus terorisme. Tidak saja kepada para pelaku yang ditindak hukum tapi kita juga harus melakukan pencegahan atau deteksi dini.


Hal itu bisa dimulai dari mengedukasi masyarakat agar tidak mudah terpapar dengan paham-paham tersebut. Ia menilai bahwa semua itu berawal dari paham-paham intoleransi dan radikal. 


"Makanya kemudian harus dimulai dari hulu, enggak saja dari hilir yaitu penegakkan hukum tapi juga harus memulai dari hulu, yaitu paham-paham intoleransi dan radikalisme ini," ungkapnya. 

Baca Juga:Detik-detik Tersangka Teroris Ditangkap di Sleman, Berawal dari Unggahan Propaganda ISIS


Langkah pemerintah dengan berbagai regulasi yang sudah dibuat misalnya Undang-undang ITE dan rancangan undang-undang KUHP disebut sebagai upaya baik. Sebab bisa untuk menekan perkembangan dari narasi-narasi kebencian itu.


"Kebencian itu tidak ditoleransi lagi, mereka harus sejak awal harus sudah mendapatkan sanksi, bisa dikriminalkan dan sebagainya, karena narasi-narasi kebencian ini bibit," imbuhnya.


Terkait pola aksi teror sendiri, kata Sofyan, dulu dan sekarang tidak banyak mengalami perbedaan. Misalnya saja dilihat dari perekrutan orang-orang yang terlibat di dalamnya.


Berdasarkan informasi bahwa terduga teroris AW sendiri terafiliasi dengan kelompok Islamic State of Iraq Syria (ISIS). Dari sini kemudian ia memaparkan, jaringan terorisme di Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD).


Ia menyebut sejak dulu kelompok-kelompok tersebut sudah dapat ditemukan di berbagai media sosial dan memiliki komunitas tersendiri. 


"Enggak ada yang berbeda, cuma memang kelompok ini masih akan eksis terus," ucapnya.


Pola serangan atau teror yang diberikan pun, disebutkan Sofyan juga masih tetap sama. Ada yang kemudian menarget tempat ibadah, kantor polisi hingga simbol-simbol negara lain. Baik dari kelompok ISIS atau kelompok lain sebut saja Jamaah Islamiyah (JI).


Pada JI sendiri akan lebih cenderung menyerang simbol-simbol negara barat yang ada. Ia mencontohkan yakni Bom Bali 1, Bom JW Marriott dan Ritz-Carlton, hingga gedung Kedubes Australia.


"Kalau JAD kita bisa indikasi mereka bisa kalau enggak ke kantor polisi, pasti ke rumah ibadah. Mereka cuma berputar di situ-situ saja. Cuma kita menunggu penyidikan ya bom itu dirakit untuk apa tapi biasanya kalau kelompok yang terafiliasi dengan ISIS ya cuma dua itu aja. Kalau enggak simbol negara kantor polisi," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak