SuaraJogja.id - Presiden Joko Widodo setujui dilakukannya revisi Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) oleh DPR RI.
Untuk diketahui, revisi itu menyangkut permohonan perubahan masa jabatan Kepala Desa dari 6 tahun bisa dipilih 3 periode, menjadi 9 tahun kali 2 periode.
Ketua Umum Manikmaya (paguyuban lurah se-Kabupaten Sleman), Irawan, mengaku kalau masa jabatan yang diusulkan tersebut lebih efektif dalam mengakomodasi ketugasan lurah yang baru terpilih.
Di masa jabatan 9 tahun, lurah bisa membagi ketugasannya dengan diawali belajar, meningkatkan kapasitas, menyesuaikan dengan ritme kegiatan di kalurahan, mengondisikan warga maupun pamongnya pascapemilihan. Baru setelah itu ia melaksanakan kegiatan sebagai lurah di wilayahnya.
Baca Juga:Viral! Anak SD Main Lato-lato hingga Sebabkan Buta di Banyumas, Begini Penjelasan Lurah Sokanenegara
Lurah baru, sebutnya akan menghadapi masyarakat yang terpolarisasi pascapemilihan lurah.
"Pemilihan lurah (Pilur) berbeda dengan Pilkada maupun Pilpres, karena bersentuhan langsung dengan masyarakat. Konfliknya lebih menggigit, lebih terasa," ujarnya, Selasa (24/1/2023).
Menyatukan pendukung satu dan lain membutuhkan sedikitnya waktu dua tahun untuk pulih, hingga kemudian terkondisi terjadi baik kembali.
"Minimal secara komunikasi masih belum baik. Walau tidak terlalu ekstrem, masih ada kubu yang menang dan kalah. Jadi untuk mengomunikasikan pembangunan [kepada masyarakat] itu belum bisa menyeluruh," lanjutnya.
Bukan hanya di masyarakat, lurah terpilih juga harus menghadapi polarisasi di internal pamong sendiri.
Baca Juga:Malang Darurat Prostitusi, Wali Kota Sutiaji Minta Lurah Download MiChat untuk Pantau Open BO
Maka, misalnya masa jabatan lurah hanya 6 tahun, diasumsikan 2 tahun pertama digunakan menyelesaikan konflik. Tersisa 4 tahun berikutnya untuk pembangunan.
Dengan demikian masa jabatan 9 tahun kali 2 periode sudah ideal bagi lurah. Dengan waktu selama itu, tetap ada batasan bagi lurah, regenerasi, dan demokrasi di masyarakat tetap berjalan.
"Jadi bukan 9 tahun 3 kali periode. Tetapi 9 tahun 2 kali periode. Total tetap 18 tahun hanya dibagi menjadi 2 saja," terangnya.
Ketua Umum Nayantaka (paguyuban lurah dan pamong se-DIY), Gandang Hardjanta, menjelaskan kalau dirinya juga menyetujui usulan tersebut.
Di dalam UU Desa saat ini, salah satunya mengatur bahwa masa jabatan lurah adalah 6 tahun kali 3 periode pemilihan atau total 18 tahun.
Namun, para lurah di Indonesia meminta agar masa jabatan itu diubah. 18 tahun jabatan dibagi 2 kali saja, bukan dibagi 3 kali periode pemilihan.
Senada dengan Irawan, umumnya lurah di lapangan membutuhkan waktu belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan ritme kerja.
Masa itu, setidaknya membutuhkan waktu 2 tahun. Sehingga ia baru bisa bekerja pada tahun ke-3 dan ke-4.
"[Tahun ke-] 5 dan 6 sudah bingung gagas pilihan selanjutnya (sudah bingung memikirkan Pilur selanjutnya). Jadi kinerjanya tidak maksimal," kata dia.
"Dua tahun pertama, biasanya untuk merukunkan perpecahan yang terjadi. Kalau pilihan Gubernur Jakarta saja 'kecebong kampret' rung rampung (belum selesai). Itu suatu contoh kita brakedown ke bawah," jelasnya.
Kesimpulannya, untuk mengompakkan warga butuh waktu.
Mengurangi Cost Politik
Di kesempatan sama, Gandang juga buka-bukaan soal Pilur berbiaya tinggi di banyak tempat.
Hal itu tetap terjadi, walaupun reforemasi birokrasi sudah dilakukan dan digaungkan oleh pemerintah.
Sehingga, tidak mungkin biaya politik yang dikeluarkan lurah terpilih bisa pulih dalam waktu singkat.
"Kadang-kadang lurah yang maksudnya baik; dalam perjalanannya melakukan tugasnya dengan baik, banyak yang kalah dengan permainan politik uang di tingkat kalurahan. Tidak dipungkiri itu pengaruhnya sangat besar, bisa mengalahkan kinerja," sebutnya.
Untuk itulah lurah tidak memohon perpanjangan jabatan. Tetapi hanya pembagian 18 tahun di bagi menjadi dua periode, dengan satu periode kepemimpinan selama 9 tahun.
"Dibagi dua saja suapaya mengurangi biaya cost politik yang terjadi," tambahnya.
Kala disinggung biaya politik di masing-masing Pilur, ia mengatakan sedikitnya 60%-65% di antara kalurahan yang ada, pelaksanaan Pilurnya masih memakai kekuatan uang.
Masyarakat Jangan Sampai Salah Pilih Lurah
Irawan menekankan, dengan adanya pemilihan lurah yang masa jabatan 9 tahun untuk satu periode, juga tantangan bagi lurah.
Jangan sampai setelah diberikan waktu yang panjang untuk melakukan kegiatan di kalurahan atau desa, tetapi masyarakat kecewa.
"Sehingga lurah dituntut punya kapasitas yang baik, mau belajar dan mempunyai kapasitas. Maka perlu diklat-diklat menurut saya," ujar lelaki yang juga Lurah Triharjo, Kapanewon Sleman ini.
Pemberian pelatihan menjadi tugas Pemkab maupun Pemprov DIY. Sehingga setiap lurah bisa meningkat kapasitasnya.
"Kalau waktunya panjang kan riskan, jangan sampai masyarakat kecewa, sudah diberi waktu panjang," tuturnya.
Sekaligus masa jabatan panjang ini, bila hasil revisi disahkan, menjadi peringatan kepada warga jangan sampai salah pilih lurah.
Lurah Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Gandang Hardjanta mengatakan, masyarakat perlu berpikiran positif dengan adanya perubahan masa jabatan satu periode menjadi 9 tahun itu.
"Karena tiap tahun evaluasi, Lurah itu juga dievaluasi oleh Kabupaten. Di era keterbukaan sekarang, saya kira warga juga bisa bersuara [bila tidak sepakat dengan kinerja lurah] melalui kanal yang ada. Seperti Lapor Sleman dan lain-lain," ucapnya.
Selain itu bila, kesalahan Lurah dilakukan berulang, tidak menutup kemungkinan Bupati bisa memberhentikannya tidak sampai selesai masa jabatan. Mengingat, Bupati punya kewenangan mengangkat dan memberhentikan lurah.
"Kita ada rambu-rambu kalau ada yang melanggar ketentuan, bisa dicabut masa jabatan apalagi terdakwa," kata dia.
Pendidikan politik juga perlu diberikan kepada warga kalurahan. Karena kebebasan dan kemerdekaan warga atas pilihannya tidak ada hubungannya dengan masa jabatan lurah.
"Kalau dirasa kok baik kinerjanya, masyarakatnya juga akan milih terus," tandasnya.
Kontributor : Uli Febriarni