Namun, rencana ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat mengganggu sistem resapan air tanah di area tersebut.
Salah satu solusi yang diajukan adalah konsep "sampah berbayar," di mana individu atau keluarga yang ingin membuang sampah akan dikenakan biaya kecil dan diharuskan mengelola sampahnya sendiri dengan melakukan pemilahan dan pendaurulangan.
Adanya peraturan daerah (Perda) yang mengatur hal ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk berhemat dalam menghasilkan sampah dan lebih aktif dalam program 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Menurutnya metode ini dapat menjaga persoalan dari hulu yakni di masyarakatnya. Selanjutnya, teknologi baru harus sudah disiapkan di TPST Piyungan sebagai hilirnya.
Baca Juga:Tekan Produksi Sampah, Pemkot Jogja Godok Perwal Soal Penggunaan Kantong Plastik
Teknologi yang dimaksud dengan memanfaatkan sampah itu menjadi bahan bakar. Pramono mengatakan bahwa sampah yang diproses dengan kadar air kurang dari 20 persen maka akan mengandung kalari atau bahan bakar.
Dengan mengaplikasikan teknologi itu, 600 ton sampah yang tiap hari dikirim ke TPST bisa djadikan rdf atau bahan bakar. Di mana sampah dicacah, dikompres hingga diangin-anginkan.
Di sisi lain, sampah yang menumpuk lama di dalam cekungan itu dapat ditambang sedikit demi sedikit. Kemudian dipilah untuk dijadikan pupuk, sehingga bisa memaksimalkan luas TPST Piyungan ke depan.