Gagasan Sekolah Rakyat Prabowo Dikritik, Akademisi: Berisiko Ciptakan Kasta Pendidikan Baru

Gagasan Presiden Prabowo Subianto membangun Sekolah Unggul dan Sekolah Rakyat menuai kritik. Akademisi khawatir kebijakan ini justru menciptakan kasta pendidikan baru

Budi Arista Romadhoni
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 19:45 WIB
Gagasan Sekolah Rakyat Prabowo Dikritik, Akademisi: Berisiko Ciptakan Kasta Pendidikan Baru
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). [ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga/app/rwa]

SuaraJogja.id - Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi.

Meskipun digadang-gadang sebagai solusi pemerataan pendidikan, kebijakan ini dikhawatirkan justru akan melahirkan 'kasta' baru dalam sistem pendidikan nasional dan memperlebar jurang pemisah sosial.

Kekhawatiran ini mengemuka setelah pidato kenegaraan perdana Presiden Prabowo Subianto di Gedung DPR-MPR, Jumat (15/8/2025).

Dalam pidatonya, Prabowo memaparkan konsep Sekolah Rakyat sebagai fasilitas berasrama untuk menghapus kesenjangan dan memberi keterampilan hidup, sementara Sekolah Unggul berfokus pada Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika (STEM) untuk mencetak generasi berdaya saing global.

Baca Juga:Konsesi Tambang Belum Terealisasi, LBH Muhammadiyah Tuntut Prabowo Lahirkan Kebijakan Kongkrit

Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Endro Dwi Hatmanto, mengingatkan adanya risiko besar di balik pelabelan 'unggul' dan 'rakyat'.

Menurutnya, jika tidak dirancang dengan sangat hati-hati, kebijakan ini dapat menciptakan dikotomi sosial yang berbahaya.

"Label rakyat dan unggul bisa menciptakan sekat yang tidak tertulis, di mana siswa dari sekolah rakyat merasa di kelas bawah dan siswa sekolah unggul merasa di kelas atas," papar Endro saat dihubungi di Yogyakarta, Sabtu (16/8/2025).

Menurutnya, jurang pemisah ini bukan sekadar masalah status, tetapi berpotensi merusak fondasi psikologis siswa.

Stigma yang muncul dapat berdampak langsung pada rasa percaya diri, membatasi peluang karier di masa depan, dan pada akhirnya menjadi kontraproduktif dengan cita-cita besar pemerataan pendidikan itu sendiri.

Baca Juga:Jelang Setahun Prabowo-Gibran, Aktivis 98 Siapkan 'Rapor Merah' dan Ultimatum Reshuffle

Endro menekankan, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada pembangunan fisik.

Ia mendesak agar disiapkan jalur mobilitas sosial yang jelas, seperti program beasiswa penuh dan mekanisme transfer siswa yang memungkinkan pelajar berprestasi dari Sekolah Rakyat bisa melanjutkan pendidikan ke Sekolah Unggul.

"Dengan demikian pelajar berpotensi dari sekolah rakyat tetap memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah unggul," ungkapnya.

Pendidikan Bukan Sekadar Gedung dan Teknologi

Sekolah Rakyat di Sonosewu, Yogyakarta. [Suara.com/Putu]
Sekolah Rakyat di Sonosewu, Yogyakarta. [Suara.com/Putu]

Lebih jauh, Endro mengkritik pandangan bahwa membangun gedung sekolah yang megah sudah cukup.

Ia menegaskan bahwa kualitas pendidikan adalah sebuah ekosistem yang kompleks, melibatkan guru berkualitas, kurikulum yang relevan, hingga fasilitas yang memadai dari kota besar hingga pelosok desa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak