SuaraJogja.id - Wacana menduetkan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 mendatang mencuat ke publik.
Wacana tersebut bermula dari ucapan Ketua DPP PDIP Said Abdullah yang membayangkan dua tokoh tersebut bersatu menjadi satu kekuatan.
Melihat hal ini, Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati menilai bahwa duet tersebut tak mungkin terjadi. Menurutnya ada jarak yang terlalu lebar dari sisi ideologis kedua sosok tersebut dan partai-partai pendukungnya.
"Kedekatan ideologis antara Ganjar dan Anies, kalau dipaksakan itu tentu saja justru tidak akan sehat untuk relasi keduanya dalam memimpin bangsa ini ke depan. Iya enggak bisa. Itu saya kira hanya wacana saja," kata Mada saat dihubungi, Kamis (24/8/2023).
Baca Juga:Melongok Alasan BEM UI Tantang Ganjar, Prabowo dan Anies Debat di Kampus
Mada menyebut wacana itu hanya sebagai sebuah simulasi saja. Guna kemudian melihat respon politik yang kemudian muncul di antara partai-partai politik yang ada.
Diakui Mada, masih terlalu dini untuk memilih pasangan bagi para bakal calon presiden (bacapres) yang ada saat ini. Mengingat kontestasi politik ini untuk menentukan pemimpin Indonesia lima tahun ke depan.
"Kalau siapanya itu saya belum tapi yang jelas ini kita milih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bukan sekadar pasangan calon bupati atau calon wakil bupati," tegasnya.
Walaupun memang tak dipungkiri Mada, dalam hal ini partai pengusung Ganjar Pranowo yakni PDI Perjuangan dan PKS yang mendukung Anies Baswedan sudah kerap berkoalisi untuk mengusung pasangan calon dalam konteks Pilkada baik kabupaten maupun kota. Namun situasi akan berbeda jika melihat konteks secara nasional.
"Saya kira ini akan sangat berbeda kalau kita bicara levelnya nasional. Kalau ditingkat nasional, kalau tidak ada tsunami politik atau perubahan yang sangat luar biasa ya ini sepertinya tidak akan mungkin terjadi, karena jarak ideologis kedua orang ini sangat jauh," paparnya.
Baca Juga:Tiba-tiba Muncul Nama Duet Ganjar-Anies, Pengamat Politik: Cocok-cocok Aja, Tapi
"Ya kalau ditanya siapa yang paling enggak jarak ideologis dekat lah. Jadi selain soal elektabilitas, kedekatan jarak ideologis itu, saya kira juga menjadi pertimbangan parpol besar termasuk di antaranya PDIP dan PKS. Itu pasti akan mempertimbangkan dimensi ideologi ketika konteks nasional," sambungnya.
Belum lagi mengingat rekam jejak kedua partai tersebut yang belum pernah berada dalam satu gerbong sejak Pemilu 1999 hingga 2019 lalu. Sehingga jarak ideologis itu akan sangat berpengaruh untuk menentukan pasangan masing-masing.
"Jadi itu saya kira hil yang mustahil," ujar dia.