SuaraJogja.id - Biennale Jogja sebagai perhelatan seni lintas global kembali diadakan di tahun 2023 ini. Program yang dinanti-nantikan khalayak seni ini persisnya digelar pada 6 Oktober hingga 25 November mendatang.
Tahun ini, Biennale menonjolkan sisi perempuan dan warga lokal yang mewarnai berbagai programnya. Biennale berkolaborasi dengan 70 seniman, kelompok seni hingga aktivis dari latar belakang sejarah dan budaya beragam.
Biennale Jogja 17 babak baru akan memberikan kesempatan pada khalayak untuk mengalami bingkai relasi kesenian lebih partisipatoris dengan warga lokal setempat. Selama berbulan-bulan, para insan seni dari berbagai penjuru di Indonesia, Asia Selatan dan Eropa Timur bersama warga lokal saling bertukar pandang, pengalaman hingga pengetahuan atas sejarah dunia yang luas dan beragam.
Biennale Joga 17 seri Khatulistiwa Putaran Kedua memboyong tema Trans-lokalitas dan Trans-Historitas untuk menjangkau geografis lebih luas dan inklusif, usai bergulat pada wacana-wacana dekolonisasi hanya pada wilayah Selatan dunia di putaran sebelumnya selama satu dekade. Tak hanya sebatas titik temu antar wacana dekolonial lebih dalam, tetapi tema Trans-lokalitas dan Trans-Historitas menjadi sebuah reflektif paling anyar guna merawat kembali cara hidup di luar garis pandang Eropa sentris.
Oleh karenanya, keterlibatan praktik-praktik kesenian, pengetahuan hingga filsafat warga, khususnya di desa Panggungharjo dan Bangunjiwo, menjadi titik pijak sangat penting bagi banyak program dan aktivitas Biennale Jogja 17 2023 kali ini.
Keberpihakan Warga Lokal dan Perempuan Manjadi Penting di Sini
Dalam banyak perhelatan kesenian besar atau bertaraf internasional, acap kali proses penelitian hingga kurasi hanya memakai standarisasi urban dan “Barat” sebagai jalan keberlangsungan pameran. Sementara, praktik-praktik kesenian dan sejarah lokal masyarakat di desa kerap dianggap hanya diwariskan secara turun temurun, maka eksistesinya banyak dipandang sebelah mata atau dibilang terlalu kuno untuk turut dilibatkan secara langsung.
Berangkat dari pengalaman reflektif tersebut, maka Trans-nasional Biennale Jogja 17 enggan terjebak lagi pada praktik-praktik seni menuju “Barat” tetapi melihat kembali konfigurasi geo-politik sebagai sesuatu yang dinamis. Babak ini menjadi langkah awal untuk mulai melihat kembali budaya dan pertemuan ideologi antar sesama wilayah bekas jajahan yang terpinggirkan.
Lewat pendekatan praktik kesenian yang lebih berpenghuni pada keberpihakan gagasan-gagasan masyarakat lokal, Biennale Jogja 17 berpindah ke beberapa titik yang tersebar di pinggiran Yogyakarta untuk membuka percakapan jangka panjang dari ragam latar belakang budaya berbeda. Keterlibatan masyarakat lokal memang selalu dan sudah dilakukan pada Biennale Seri Equator sebelumnya, hanya saja titik tekan keberpihakan kali ini jauh lebih terasa, bahkan menjadi salah satu fokus utama Biennale Jogja 17. Masyarakat lokal tak hanya dijadikan sekadar objek praktik seni, tetapi dilibatkan secara langsung di sini.
"Kolaborasi masyarakat lokal sebenarnya dari dulu, ada seniman residensi terus berkolaborasi cuma justru (metode ini) baru kita pikirkan setelah bertahun-tahun. Kita kolaborasi karyanya dipindah ke galeri, masyarakatnya enggak bisa lihat. Kalau dulu selalu gitu. Justru dengan metode sekarang, masyarakat ambil bagian atau mereka bisa nonton yang dihasilkan sama senimannya. Gak berjarak lagi," terang Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta dalam konferensi pers di Taman Budaya Yogyakarta pada Rabu (4/10/2023).
Para kurator dan seniman yang hadir pada konferensi pers Biennale Jogja 17, turut memaparkan bahwa narasi-narasi hingga pemahaman dari energi feminin, politik ranah domestik, serta semangat keberpihakan pada perempuan, menjadi yang kerap muncul selama proses kuratorial kolektif translokal-transnasional berjalan. Hal ini menjadi cara untuk menghubungkan berbagai konteks berbeda dari kawasan Asia, Indonesia dan Eropa. Dunia domestik, praktik penciptaan dan pengetahuan perempuan, konstruksi sosial yang berbasis pada ibu, menjadi arah yang cukup dominan dalam pemetaan isu saling bersilang di setiap pertemuan kuratorial.
Keberpihakan tersebut bisa dilihat dari pengalaman Monica Hapsari yang melibatkan diri dalam tradisi gejog lesung bersama para ibu Dusun Sawit di Desa Panggungharjo selama dua bulan. Monica berlatih gejog lesung dan menciptakan tembang-tembang baru yang merangkum sejarah desa hingga percakapan soal pola hidup keseharian dari spirit perempuan, untuk kemudian menjadi identitas baru yang diwarisi untuk generasi mendatang.
Selain Monica, ada juga Gunes Terkol, seniman asal Turki yang bekerja dengan kain dan sulam bersama kelompok ibu di Desa Panggungharjo. Mereka menjalin dan berbagi cerita bagaimana perempuan bertahan dalam beragam situasi krisis, mulai dari gempa hingga wabah, lalu menciptakan karya bersama. Ada juga Arum Tresnaningtyas yang karya musiknya hasil kolaborasi dengan para ibu di Kawasan Ngentak Bangunjiwo.
Titen Menjadi Tajuk untuk Membersamai Helatan Biennale Jogja 17
Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah, atau Titen: Embodied Knowledges-Shifting Grounds menjadi tajuk yang dipilih untuk membersamai pagelaran Biennale Jogja 17 kali ini. Titen sendiri berasal dari bahasa Jawa yang diartikan sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam. Dalam Biennale Jogja 17, frasa titen digunakan untuk mengantarkan spirit pengetahuan lokal, yang dileburkan dalam nilai-nilai keseharian.
Judul tersebut juga sekaligus mencerminkan kerangka kuratorial yang berangkat dari dekolonisasi produksi pengetahuan, di mana belakangan ini menjadi bentuk perlawanan terhadap metodologi Barat yang dominan. Selain itu, menegaskan pula keberpihakan kuratorial pada metode yang berangkat dari kehidupan masyarakat yang melibatkan manusia-bukan manusia serta lingkungan alam luas.
"Kalau orang Jawa bilang niteni atau titeni (ditandai). Titen metode menandai pengetahuan. Banyak sekali di antara tema atau karya seniman ini menggarisbawahi itu. Masyarakat punya cara membangun pengetahuan yang berbeda, yang berdasar amatan terhadap tanaman, binatang, yang itu turun temurun. Kita cari di buku enggak ada, kalau rumah didatangi kupu-kupu mau ada tamu, di buku enggak ada sebenarnya. Kita ingin mencari pengetahuan-pengetahuan yang mungkin belum menjadi teori, belum terdokumentasikan," ujar Alia Swastika.
Sederhananya, Titen menjadi ruang segenap para seniman untuk menggunakan kembali metode penggalian pengetahuan yang berangkat dari kedekatan antara keseharian masyarakat setempat dengan fenomena lingkungan di sekitarnya.
Informasi Lokasi dan Waktu Pembukaan Pameran
Ada 13 titik yang menjadi lokasi penempatan karya-karya para seniman dari Biennale Jogja 17 2023 ini. Lokasi-lokasi tersebut terpusat pada empat area utama, yakni Taman Budaya Yogyakarta, Area Desa Panggungharjo, Area Desa Bangunjiwo, dan Area Madukismo.
Pembukaan Biennale Jogja 17 akan berlangsung pada hari Jumat, 6 Oktober 2023 di Kampoeng Mataraman, Panggungharjo, di mana menghadirkan penampilan karya kolaborasi antara Monica Hapsari dan ibu-ibu Dusun Sawit, Desa Panggungharjo. Ada pula penampilan dari Wangak Maumere. Sementara, karya kolaborasi antara Arum Dayu dan ibu-ibu Dusun Ngentak, Desa Bangunjiwo, akan jadi pembukaan pada 8 Oktober 2023 di Sekar Mataram Bangunjiwo.
Di Panggungharjo, pameran dapat diakses di Kantor Kelurahan Panggungharjo, Kampoeng Mataraman, Gedung Olahraga Panggungharjo, The Ratan, Kawasan Budaya Karang Kitri. Sementara untuk Area Desa Bangunjiwo, pameran dapat diakses di Kantor Kelurahan Bangunjiwo, Lohjinawi, Sekar Mataram, Monumen Bibis, Joning Artspace, dan Rumah Tua.
Selain pameran utama, program publik juga akan dirangkai dalam berbagai bentuk, mulai dari pertunjukan, pemutaran film, diskusi, dan sebagainya. Beberapa acara yang termasuk dalam Public Program, misalnya Tangga Teparo, Pameran Seni Rupa Anak, Baku Pandang, Tur Kuratorial, Wicara Kurator, Bentang Silir, Pilin Takarir, dan Biennale Forum.
Untuk informasi lebih lanjut dapat mengunjungi webstie resmi Biennale Jogja, yaitu www.biennalejogja.org atau akun instagram resmi, @biennalejogja.