Para kurator dan seniman yang hadir pada konferensi pers Biennale Jogja 17, turut memaparkan bahwa narasi-narasi hingga pemahaman dari energi feminin, politik ranah domestik, serta semangat keberpihakan pada perempuan, menjadi yang kerap muncul selama proses kuratorial kolektif translokal-transnasional berjalan. Hal ini menjadi cara untuk menghubungkan berbagai konteks berbeda dari kawasan Asia, Indonesia dan Eropa. Dunia domestik, praktik penciptaan dan pengetahuan perempuan, konstruksi sosial yang berbasis pada ibu, menjadi arah yang cukup dominan dalam pemetaan isu saling bersilang di setiap pertemuan kuratorial.
Keberpihakan tersebut bisa dilihat dari pengalaman Monica Hapsari yang melibatkan diri dalam tradisi gejog lesung bersama para ibu Dusun Sawit di Desa Panggungharjo selama dua bulan. Monica berlatih gejog lesung dan menciptakan tembang-tembang baru yang merangkum sejarah desa hingga percakapan soal pola hidup keseharian dari spirit perempuan, untuk kemudian menjadi identitas baru yang diwarisi untuk generasi mendatang.
Selain Monica, ada juga Gunes Terkol, seniman asal Turki yang bekerja dengan kain dan sulam bersama kelompok ibu di Desa Panggungharjo. Mereka menjalin dan berbagi cerita bagaimana perempuan bertahan dalam beragam situasi krisis, mulai dari gempa hingga wabah, lalu menciptakan karya bersama. Ada juga Arum Tresnaningtyas yang karya musiknya hasil kolaborasi dengan para ibu di Kawasan Ngentak Bangunjiwo.
Titen Menjadi Tajuk untuk Membersamai Helatan Biennale Jogja 17
Titen: Pengetahuan Menubuh, Pijakan Berubah, atau Titen: Embodied Knowledges-Shifting Grounds menjadi tajuk yang dipilih untuk membersamai pagelaran Biennale Jogja 17 kali ini. Titen sendiri berasal dari bahasa Jawa yang diartikan sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam. Dalam Biennale Jogja 17, frasa titen digunakan untuk mengantarkan spirit pengetahuan lokal, yang dileburkan dalam nilai-nilai keseharian.
Judul tersebut juga sekaligus mencerminkan kerangka kuratorial yang berangkat dari dekolonisasi produksi pengetahuan, di mana belakangan ini menjadi bentuk perlawanan terhadap metodologi Barat yang dominan. Selain itu, menegaskan pula keberpihakan kuratorial pada metode yang berangkat dari kehidupan masyarakat yang melibatkan manusia-bukan manusia serta lingkungan alam luas.
"Kalau orang Jawa bilang niteni atau titeni (ditandai). Titen metode menandai pengetahuan. Banyak sekali di antara tema atau karya seniman ini menggarisbawahi itu. Masyarakat punya cara membangun pengetahuan yang berbeda, yang berdasar amatan terhadap tanaman, binatang, yang itu turun temurun. Kita cari di buku enggak ada, kalau rumah didatangi kupu-kupu mau ada tamu, di buku enggak ada sebenarnya. Kita ingin mencari pengetahuan-pengetahuan yang mungkin belum menjadi teori, belum terdokumentasikan," ujar Alia Swastika.
Sederhananya, Titen menjadi ruang segenap para seniman untuk menggunakan kembali metode penggalian pengetahuan yang berangkat dari kedekatan antara keseharian masyarakat setempat dengan fenomena lingkungan di sekitarnya.
Informasi Lokasi dan Waktu Pembukaan Pameran
Ada 13 titik yang menjadi lokasi penempatan karya-karya para seniman dari Biennale Jogja 17 2023 ini. Lokasi-lokasi tersebut terpusat pada empat area utama, yakni Taman Budaya Yogyakarta, Area Desa Panggungharjo, Area Desa Bangunjiwo, dan Area Madukismo.