SuaraJogja.id - "Kesehatan jiwa seringkali dianggap sebelah mata, terutama di kalangan pelajar. Padahal, jika masalah ini dibiarkan, bukan tidak mungkin bisa bertambah berat. Perlu adanya solusi yang tepat agar pemecahan masalah kesehatan jiwa bisa tertangani secara maksimal," kata Kasubbag TU Puskesmas Godean 2, Anang pada Senin (30/10/2023) lalu.
Menyadari pentingnya aspek ini, program Mata Hati yang digagas oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman jadi salah satu terobosan unggulan sekaligus bukti keseriusan institusi itu terkait kesehatan jiwa, terutama untuk kalangan pelajar dan pekerja.
"Program mata hati merupakan singkatan dari masyarakat tangguh sehat jiwa. Tidak hanya menyasar remaja saja, program ini juga menangani masalah kejiwaan secara umum di masyarakat," kata psikolog Puskesmas Godean 2, Ratih Ary Nurani saat berbincang dengan Redaksi Suara.com pada Senin (30/10/2023).
Tidak hanya memberi penanganan masalah kejiwaan, sambung Ratih, Puskesmas juga turut hadir di tengah masyarakat untuk memberikan edukasi tentang kesehatan jiwa.
"Kami memberi pengetahuan skrining awal, agar mereka bisa mendampingi pasien bersama dengan kader puskesmas secara mandiri sebelum akhirnya dirujuk ke rumah sakit," ujar dia.
Program yang sudah berjalan sejak 2018 ini, terus berkembang hingga enam tahun sejak pertama kali digaungkan. Keterampilan tidak hanya diajarkan kepada satu dua kelompok saja, tapi juga ke masyarakat tanpa terkecuali.
"Hal ini memudahkan masyarakat untuk turut memonitor kondisi kesehatan pasien hingga ia dinyatakan boleh keluar dari RS," ujar dia.
Sinergi Puskesmas Godean 2 bersama masyarakat tersebut, membuktikan bahwa penanganan kesehatan jiwa tidak hanya bisa dilakukan oleh para ahli. Melainkan juga semua pihak, agar orang dengan gangguan jiwa turut mendapatkan hak yakni perawatan yang baik.
Ratih menuturkan, Puskesmas Godean 2 saat ini sudah mengembangkan layanan daring dan konsultasi terkini yang bertujuan membantu masyarakat yang sewaktu-waktu membutuhkan dukungan menangani pasien dengan gangguan jiwa.
"Kita juga menerima laporan melalui dm atau pesan online di akun media sosial kami," sambung dia.
Ratih mengakui, masalah kesehatan mental terkadang masih dipandang sebelah mata oleh beberapa kalangan. Hal ini, sekaligus jadi motivasi tersendiri bagi pihak Puskesmas Godean 2 untuk hadir saat masyarakat membutuhkan.
Menghilangkan stigma terhadap gangguan jiwa juga membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan empatik. Masyarakat yang bebas dari stigmatasi terhadap kesehatan mental cenderung lebih memahami dan mendukung individu yang mengalami masalah jiwa.
Dengan adanya kesadaran pentingnya hal ini, diharapkan mampu menciptakan ruang yang aman dan mendukung bagi mereka yang membutuhkan bantuan, memungkinkan mereka untuk pulih dengan lebih baik. Lebih dari itu, masyarakat yang bebas stigma terhadap gangguan jiwa juga berpotensi mampu mempromosikan kesehatan mental secara lebih baik, menciptakan lingkungan di mana kesejahteraan mental dianggap sebagai hal yang penting dan layak untuk diperhatikan.
Merujuk pada Laporan Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional Indonesia (I-NAMHS) tahun 2022 lalu menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia, dengan rentang usia 10-17 tahun, mengalami masalah kesehatan mental.
Kemudian, 1 dari 20 remaja Indonesia mengalami gangguan mental dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Data yang dilansir oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menggambarkan bahwa sekitar 15,5 juta remaja mengalami masalah kesehatan mental, sementara 2,45 juta di antaranya mengalami gangguan mental.
Remaja yang dimaksud dalam kelompok ini adalah yang telah terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai pedoman Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang digunakan sebagai acuan dalam menetapkan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa gangguan cemas merupakan gangguan yang paling umum terjadi pada remaja, mencapai 3,7%. Di posisi kedua terdapat gangguan depresi mayor dengan persentase 1,0%, diikuti oleh gangguan perilaku dengan 0,9%.
Selain itu, terdapat juga gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) dengan masing-masing persentase sebesar 0,5%.
Data ini menggambarkan tingginya angka prevalensi gangguan kesehatan mental di kalangan remaja Indonesia, yang menjadi perhatian serius mengingat hampir 20% dari populasi Indonesia berusia 10-19 tahun.
Peran Puskesmas Godean 2
Ratih mengungkapkan, Puskesmas Godean 2 juga memiliki program SEHATII (Sekolah Sehat Jasmani dan Rohani). Program ini membina para remaja untuk mempromosikan pentingnya untuk peduli terhadap kesehatan mental di sekolah.
"Selama ini, kesehatan mental memang kurang diperhatikan dengan serius. Biasanya, setelah ada temuan kasus (masalah kesehatan mental) pihak sekolah baru mengundang ahli," ujar Ratih.
Dengan adanya program SEHATII, teman sebaya bisa menyampaikan promosi pentingnya kesehatan mental dan langkah-langkah antisipasi atau mendeteksi awal dari masalah kesehatan mental agar bisa tertangani lebih dini.
"Edukasi seperti ini kami bebaskan kepada pihak sekolah terkait promosinya. Kami hanya memberikan dasar ilmunya saja. Mereka juga kami latih konseling sebaya untuk membantu temannya yang takut jika menghadap BK," kata dia.
Inisiatif Mata Hati mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Kesehatan, UNFPA sebagai lembaga PBB untuk kesehatan reproduksi dan seksual, Yayasan Siklus Indonesia, dan perwakilan dari Kedubes Kanada.
Novi Anggriani, Senior International Assistance Officer dari Kedubes Kanada bahkan pernah menyampaikan apresiasi tinggi terhadap program Mata Hati. Menurutnya, integrasi pelayanan kesehatan mental di Sleman telah mencakup semua tahap kehidupan, sebuah pencapaian yang tak disangka sebelumnya.