UII Kembali Bersuara Usai Pemilu 2024, Soroti Kematian Demokrasi di Indonesia

"Tindakan paling kasar adalah mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan putra Presiden Jokowi".

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 14 Maret 2024 | 17:15 WIB
UII Kembali Bersuara Usai Pemilu 2024, Soroti Kematian Demokrasi di Indonesia
Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid yang membacakan pernyataan sikap di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, pada Kamis (14/3/2024) siang. [Hiskia Andika Weadcaksana/Suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Sejumlah sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menyampaikan pernyataan sikap pascapemilu 2024. Pernyataan sikap kali ini bertajuk Kematian Demokrasi Indonesia.

Pernyataan sikap yang melibatkan dosen, mahasiswa hingga alumnus UII ini diselenggarakan di Auditorium Prof. K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII, pada Kamis (14/3/2024) siang.

Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid yang membacakan langsung pernyataan sikap tersebut menyoroti tanda-tanda kematian demokrasi itu sudah lama terasa bahkan sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Namun, saking halusnya tanda tersebut, tidak banyak yang merasakannya," kata Fathul saat membacakan pernyataan sikap, Kamis siang.

Misalnya saja, terkait dengan penciptaan segregasi sosial sejak 2014 hingga sekarang dengan label kadrun vs kampret. Hal itu terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan struktur demokrasi.

Belum lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikebiri, pengkritik pemerintah dibawa ke meja hijau dan bahkan dijebloskan ke balik jeruji besi. Aktor masyarakat sipil pun dibayar menjadi loyalis yang dinilai sok sejati.

"Upaya membunuh demokrasi lainnya adalah tindakan main kasar konstitusional," ucapnya.

Sebagai contoh, amandemen terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang seakan-akan dilakukan secara konstitusional.

Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi jalur dan mekanisme konstitusional. Kasarnya permainan itu dilanjutkan dengan memunculkan gagasan 'tiga periode' dan perpanjangan masa jabatan presiden tanpa pemilu.

"Tindakan paling kasar adalah mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Ini adalah serangan terhadap independensi lembaga peradilan sekaligus pengkhianatan terhadap amanat Reformasi 1998," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak