Soal Oposisi di Dalam Pemerintahan, Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir: Harus Selalu Hidupkan Check and Balances

Haedar Nashir menilai bahwa kubu oposisi di dalam pemerintahan Indonesia masih tetap dan akan selalu dibutuhkan

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 23 April 2024 | 18:30 WIB
Soal Oposisi di Dalam Pemerintahan, Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir: Harus Selalu Hidupkan Check and Balances
Kolase kandidat capres di Pemilu 2024. (TikTok/@evansuhas)

SuaraJogja.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara sengketa Pilpres 2024. Hasilnya dua perkara sengketa yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md semuanya ditolak.

Kini posisi parpol usai putusan MK tersebut masih menjadi dinamika hangat yang diperbincangkan. Lantas apakah partai oposisi itu masih dibutuhkan atau relevan untuk pemerintahan mendatang?

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menilai bahwa kubu oposisi di dalam pemerintahan Indonesia masih tetap dan akan selalu dibutuhkan. Prinsip check and balances harus terus dihidupkan.

"Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia itu memang perlu rekonstruksi ya, apapun namanya tapi prinsipnya harus berjalan check and balances," tegas Haedar, ditemui di UGM, Selasa (23/4/2024).

Baca Juga:Usai Putusan MK, Muhammadiyah: Jangan Larut dalam Situasi Politik yang Terpecah

Jika prinsip check and balances itu tidak digunakan lagi bukan gak mungkin sebuah negara akan stagnan. Check and balances dalam ketetatanegaraan sendiri menghendaki eksekutif, legislatif, dan yudikatif sederajat.

Kemudian mereka memiliki wewenang untuk mengontrol satu sama lain di dalam pemerintahan. Hal ini penting untuk dilakukan guna menghindari abuse of power dari pihak yang akan menjalankan kekuasaan ke depan.

"Sebuah bangsa dan sistem politik yang tanpa check and balances itu nanti akan mengalami stagnan karena apa? kita merasa berada di jalan yang cepat tetapi ternyata tidak tepat," ucapnya.

"Jadi selalu relevan harus hidupkan check and balances oleh seluruh kekuatan tapi juga bersamaan dengan itu harus ada pikiran-pikiran yang berorientasi itu ke masa depan untuk membawa Indonesia mengejar ketertinggalan," imbuhnya.

Diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden RI Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029.

Baca Juga:Etika Tak Dianggap Penting Dalam Putusan MK, Sindiran Pakar Hukum Tata Negara UGM: Hakim Perlu Kuliah

Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.

Seperti diketahui, MK memutus dua perkara sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Sidang pembacaan putusan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.

Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh pilermohonan yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo. Menurut MK, permohonan kedua kubu tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya

Atas putusan itu, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga Hakim Konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Pada intinya, ketiga Hakim Konstitusi tersebut menyatakan seharusnya MK memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

Adapun dalam petitumnya, Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin pada intinya meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024.

Mereka juga memohon MK mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024. Kemudian, meminta MK memerintahkan kepada KPU melakukan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa mengikutsertakan Prabowo-Gibran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini