Etika Tak Dianggap Penting Dalam Putusan MK, Sindiran Pakar Hukum Tata Negara UGM: Hakim Perlu Kuliah

"Dia [hakim] lupa bahwa hukum itu juga harusnya tidak bisa dipisahkan dengan soal etika".

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 23 April 2024 | 16:03 WIB
Etika Tak Dianggap Penting Dalam Putusan MK, Sindiran Pakar Hukum Tata Negara UGM: Hakim Perlu Kuliah
Pakar Hukum Tata Negara UGM, Herlambang P. Wiratraman saat memberi keterangan. [Hiskia Andika Weadcaksana/Suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Pakar Hukum Tata Negara UGM, Herlambang P. Wiratraman menyayangkan tidak dianggapnya etika dalam putusan sengketa Pilpres 2024 kemarin. Menurutnya para hakim perlu kembali kuliah atas putusannya tersebut.

Ia sendiri menilai putusan MK yang menolak semua permohonan yang diajukan oleh kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak mengejutkan. Mengingat rekam jejak perkembangan MK dalam mengambil keputusan selama ini.

"Ada dua hal yang paling mendasar dan kita rasakan tidak bergeser," kata Herlambang di Fakultas Hukum UGM, Selasa (23/4/2024).

Pertama adalah terkait dengan dominasi nalar formalisme yang terseleksi ini atau selected formalism di dalam mengambil keputusan. Menurutnya cara yang digunakan MK tersebut berbahaya terlebih ketika melepaskan hal penting misalnya konflik kepentingan soal etika.

Baca Juga:Putusan MK Final, Pengamat Politik UGM Harap Semua Pihak Segera Move On

"Jadi etika tidak lagi dianggap penting di dalam putusan. Saya tidak bisa membayangkan kemarin ratio decidendi [alasan rasional] putusan MK itu mengatakan begini, netralitas Presiden itu tidak cukup meyakinkan majelis hakim karena dua hal, yang pertama adalah tidak jelas indikator atau parameternya, yang kedua etika belum menjadi hukum Indonesia," terangnya.

"Itu saya kira perlu kuliah hakimnya ya di fakultas ini. Karena yang namanya etika itu tidak semuanya harus diformalisasikan atau tidak semuanya menjadi peraturan perundang-undangan," sambungnya.

Apalagi kemudian, lanjut Herlambang, hakim mengatakan bahwa dalam pasal 28i menyebut tidak bisa netralitas itu dipersoalkan dengan hukum yang berlaku surut. Ia menilai hakim ingin mengatakan seolah-olah legalitas itu bekerja.

"Dia [hakim] lupa bahwa hukum itu juga harusnya tidak bisa dipisahkan dengan soal etika," ucapnya.

Herlambang bilang MK tidak pernah serius memperjuangkan problem-problem yang sebenarnya bisa merusak ketatanegaraan. Dalam hal ini hanya karena menyingkirkan atau melepaskan prinsip fundamental yakni etika di dalam berhukum.

Baca Juga:Putusan MK Tak Mengagetkan, Pengamat Politik UGM Sebut Bukti 01 dan 03 Tak Cukup Kuat

Gugatan Ditolak MK

Sebelumnya MK memutus dua perkara sengketa Pilpres 2024 yang diajukan oleh Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Sidang pembacaan putusan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo.

Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh pilermohonan yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo. Menurut MK, permohonan kedua kubu tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Atas putusan itu, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga Hakim Konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. Pada intinya, ketiga Hakim Konstitusi tersebut menyatakan seharusnya MK memerintahkan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

Adapun dalam petitumnya, Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin pada intinya meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024.

Mereka juga memohon MK mendiskualifikasi pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024. Kemudian, meminta MK memerintahkan kepada KPU melakukan pemungutan suara ulang Pilpres 2024 tanpa mengikutsertakan Prabowo-Gibran.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini