DLH Kota Yogyakarta: Lebih dari 50 Persen Sampah di Masyarakat adalah Organik

Tapi Mareta mengakui bahwa implementasi di masyarakat belum berjalan efektif.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 04 Mei 2024 | 15:55 WIB
DLH Kota Yogyakarta: Lebih dari 50 Persen Sampah di Masyarakat adalah Organik
Sampah berserakan di ruas Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta, Jumat (19/04/2024). [Kontributor/Putu Ayu Palupi]

SuaraJogja.id - Ketua Tim Kerja Penanganan Persampahan, Dinas Lingkungan Hidup Kota Jogja Mareta Hexa Sevana mengungkap sampah organik masih mendominasi produksi sampah di wilayahnya. Tercatat hingga kini produksi masyarakat terhadap sampah organik mencapai 50 persen lebih.

"Lebih dari 50 persen itu organik," kata Mareta, Sabtu (4/5/2024).

Hal ini kemudian, menurut Mareta penting untuk menjadi perhatian semua pihak. Termasuk rumah tangga yang ada di Kota Yogyakarta agar dapat lebih menekan produksi sampah organik tersebut.

Sejumlah program sebenarnya sudah pernah dicanangkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Misalnya saja program 'Mbah Dirjo'.

Baca Juga:Atasi Masalah Sampah, Pemkab Sleman Wajibkan Seluruh Pegawai Miliki Biopori

Mbah Dirjo atau Mengolah Limbah dan Sampah dengan Biopori Ala Jogja adalah sebuah gerakan untuk mengajak masyarakat agar mereka mengelola sampah organik melalui biopori. Baik secara mandiri, di tingkat rumah tangga, atau secara komunal, dengan biopori jumbo.

Di sisi lain juga tetap melaksanakan program Gerakan Zero Sampah Anorganik (GZSA). Dengan mengolah dan memilah sampah dari rumah atau wilayah masing-masing.

"Jadi sebetulnya kalau boleh saran ke depan untuk merubah budaya masyarakat terutama yang paling signifikan mengurangi sampah itu adalah dengan mengurangi sampah organik supaya tidak terbuang keluar," terangnya.

"Itu kalau dijalankan betul, saya yakin lumayan mengurangi produksi sampah sampai 50 persen, kalau efektif. Karena sampah organik kalau dimasukan ke biopori itu kan pasti kimpes, dan juga tidak begitu bau jadi tidak menganggu tetangga. Kan sebenarnya organiknya yang bikin bau. Kalau cuma resido enggak," tambahnya.

Namun sayang, Mareta mengakui bahwa implementasi di masyarakat belum berjalan efektif. Kendati demikian sosialisasi dan edukasi terus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tersebut.

Baca Juga:Strategi Pemkot Jogja usai TPA Piyungan Tutup, Maksimalkan Depo Sampah yang Kurang Terisi

"Saya kira masih angin-anginan ya [implementasinya] tapi upaya kami masih terus lakukan edukasi tetep jalan," tegasnya.

Apalagi pada tahun ini juga akan ada bantuan bagi tiap kelurahan senilai Rp100 juta untuk pelatihan sampah organik. Diharapkan setelah alat peraga terdistribusi, semua warga bisa menerapkan pengolahan sampah itu secara mandiri.

Diketahui, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah resmi menutup Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan mulai Rabu (1/5/2024) kemarin. Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta kini terus melakukan percapatan memaksimalkan program desentralisasi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini