Survei Persepsi Masyarakat Kota Yogyakarta Respon Pilkada 2024, Preferensi Politik Uang hingga Figur Calon Kepala Daerah

Menurut temuan survei, 50 persen responden pada Pilkada sebelumnya mengaku besaran uang yang diterima sebesar lima puluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 14 Mei 2024 | 16:35 WIB
Survei Persepsi Masyarakat Kota Yogyakarta Respon Pilkada 2024, Preferensi Politik Uang hingga Figur Calon Kepala Daerah
Ilustrasi pilkada. [Ist]

SuaraJogja.id - Muda Bicara ID kembali menggelar survei tentang Pilkada Kota Yogyakarta 2024. Kali ini survei ini terkait dengan politik uang dan pertimbangan yang melatarbelakang untuk memilih wali kota dan wakil wali kota Yogyakarta.

Founder Muda Bicara ID, Moch Edward Trias Pahlevi menuturkan survei ini dilakukan pada 1 – 14 Maret 2024. Dengan mengambil sample responden yang berjumlah 140 responden dan tersebar di 14 Kecamatan di Kota Yogyakarta.

Berdasarkan hasil survei tersebut, menunjukkan bahwa Pilkada tidak hanya tentang pergantian kepemimpinan. Melainkan juga penentuan arah pembangunan Yogyakarta untuk lima tahun ke depan. 

"Meski Pilkada Kota Yogyakarta sebelumnya diwarnai isu politik uang, survei menemukan bahwa 67 persen responden telah menolak praktik tersebut, dengan sebagian bahkan melaporkannya kepada Bawaslu," kata Edward dalam keterangannya, Selasa (14/5/2024).

Baca Juga:Pendaftaran Ditutup, Tak Ada Calon Perseorangan dalam Pilkada Kota Jogja 2024

"Namun, masih ada segmen yang menerima politik uang, dengan alasan dua alasan tertinggi yakni menghargai kandidat dan kebutuhan ekonomi," imbuhnya.

Menurut temuan survei, 50 persen responden pada Pilkada sebelumnya mengaku besaran uang yang diterima sebesar lima puluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah. Bahkan, ada sebagian yang mengaku menerima dalam bentuk barang.

Dalam survei ini juga melihat preferensi pemilih terhadap kandidat yang muncul. Hasilnya sebanyak 60 persen responden memilih calon wali kota dan wakil wali kota karena visi, misi, dan program.

Di samping preferensi dari penampilan, prestasi, dan status putra daerah. Tidak hanya itu, responden juga menginginkan karakter calon wali kota dan wakil wali kota yang jujur dan tidak korupsi sebanyak 40 persen.

Kemudian sebanyak 23 persen menginginkan pemimpin yang merakyat dan sederhana. Sementara 17 persen sisanya menginginkan pemimpin yang tegas dan berwibawa. 

Baca Juga:Minim Akses Informasi, 72 Seniman Difabel Sampaikan Isu Sosial Jogja Lewat Suluh Sumurup

"Kami menyoroti adanya preferensi terhadap pemimpin yang merakyat dan sederhana oleh 23 peraen responden menandakan keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin yang dekat dengan rakyat dan memahami kehidupan sehari-hari mereka," terangnya.

Survei ini juga menggali preferensi responden terhadap latar belakang calon wali kota. Hasilnya sebanyak 28 persen responden menginginkan wali kota berlatar organisasi atau tokoh keagamaan, 24 persen ingin berlatar akademisi, dan 16 persen berlatar masyarakat sipil.

Disampaikan Edward, survei ini turut menggali masalah sosial-politik di Kota Jogja untuk diangkat dalam visi misi kandidat nanti. Tercatat 55 persen responden menginginkan kepala daerah mengangkat isu ketimpangan dan kesenjangan sosial.

Kemudian 38,20 persen responden menginginkan isu pengelolaan sampah. Sedangkan sisanya memilih isu lain seperti lingkungan, infrastruktur publik dan biaya pendidikan.

"Temuan ini menunjukkan bahwa isu sosial-ekonomi dan pengelolaan sampah menjadi prioritas utama yang diharapkan masyarakat untuk diatasi dalam visi dan misi calon wali kota dan wakil wali kota Yogyakarta," ungkapnya.

Kemudian, dari temuan Muda Bicara ID, sebanyak 71 persen responden menganggap bahwa baliho tidak berpengaruh terhadap pilihan mereka di Pilkada. Selain itu, sebanyak 72 persen responden menganggap bahwa video merupakan bentuk konten kampanye politik yang menarik.

Edward bilang temuan ini mengindikasikan bahwa pemilih masa kini lebih cenderung terpengaruh oleh kampanye yang menyediakan konten yang informatif, interaktif, dan relevan dengan kebutuhan serta keinginan mereka. 

Hal ini pentingnya untuk strategi komunikasi politik yang inovatif dan adaptif dalam era digital. Apalagi pemilih mencari lebih dari sekadar sloganeering tetapi substansi dan keterlibatan yang nyata.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini