SuaraJogja.id - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold 20 persen.
Diketahui empat orang penggugat dalam permohonan itu merupakan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Empat mahasiswa itu yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gugun El Guyanie menyambut baik putusan ini. Dia menilai putusan itu merupakan capaian monumental.
"Kenapa ini monumental? karena satu banyak permohonan JR (judicial review) yang ditolak ya, soal angka presidential threshold, yang kedua, dikabulkannya ini mahasiswa dan kebetulan mahasiswa UIN. Nah itu kan jadi bermakna penting ya," kata Gugun saat dihubungi, Kamis (2/1/2025).
Baca Juga:Soroti Kondisi Darurat Demokrasi Indonesia, 1000 Akademisi UGM Sampaikan Pernyataan Sikap
Capaian ini sekaligus membuktikan bahwa UIN tidak hanya menjadi tempag belajar saja. Melainkan turut memberikan ruang kepada para mahasiswanya untuk langsung praktik melakukan JR di MK.
"Jadi mereka bukan hanya belajar tapi langsung praktik ya. Berani menjadi pemohon, berani menyusun berkas permohonan ke MK itu sudah kami apresiasi itu," ucapnya.
Dia menilai putusan ini membuka semakin lebar ruang partisipasi publik yang bermakna. Apalagi tidak mudah bagi pemohon dengan legal standing mengajukan JR terkait perkara tersebut.
"Ini soal partisipasi yang bermakna. Jadi, bagi kami, mahasiswa kami sebagai pemohon ini hanya suara rakyat ya. Jadi ini hanya bentuk partisipasi yang penting yang bermakna," imbuhnya.
Lebih dari itu, putusan ini membuat optimisme pendidikan demokrasi dan konstitusi. Serta menegasikan dugaan MK yang tunduk pada kekuasaan dinasti maupun oligarki.
Baca Juga:RUU Pilkada Batal, Partai Buruh DIY Kawal Putusan MK Soal Syarat Pencalonan
Motif pengujian atau JR dari keempat mahasiswa yang dianggap objektif ini, kata Gugun menjadi kunci keberhasilan. Gugatan itu dengan menjunjung prinsip objektivitas konstitusional tanpa konflik kepentingan apapun.
"Jadi pemohonnya benar-benar ya jelas mereka adalah bagian dari rakyat yang ingin agar ruang-ruang demokrasi itu tidak dikendalikan oleh oligarki dengan cara apa? dengan cara disikat itu pasal presidential threshold," tegasnya.
"Bukan kepentingan politik kekuasaan anak-anak kami ini. Tapi kepentingan soal masa depan demokrasi, kepentingan soal pendidikan demokrasi dan konstitusi itu ya. Itu jauh lebih bermakna lebih awet ya," imbuhnya.
Empat Mahasiswa Berprestasi
Gugun mengungkapkan bahwa empat orang tersebut merupakan para mahasiswa berprestasi di kampus. Dia merinci tiga mahasiswa berasal dari prodi Hukum Tata Negara dan satu berasal dari prodi Ilmu Hukum.
"Jadi mereka memang mahasiswa mahasiswa yang berprestasi di kampusnya. Mereka tergabung dalam komunitas pemerhati konstitusi. Mereka juga aktif melakukan debat konstitusi. Kemudian artikel-artikel ilmiah mereka sudah publikasi di beberapa jurnal ilmiah," ujar Gugun.
Diungkapkan Gugun, dosen tidak mengarahkan secara khusus untuk melakukan JR kepada pasal tersebut. Melainkan gugatan itu merupakan inisiatif dari mereka sendiri.
"Mereka punya inisiatif sendiri. Itu hebatnya. Itu yang kita apresiasi. Jadi tidak ada instruksi khusus dari fakultas dari ka universitas endak. Mereka punya inisiatif sendiri dan saya kira tidak bisa disebut iseng, tapi mereka sudah punya agenda tujuan untuk menegakkan demokrasi dari ancaman oligarki itu," ungkapnya.
Gugatan itu merupakan cara empat mahasiswa itu mewakili suara rakyat yang gelisah terkait dengan angka presidential threshold. Kekhawatiran aturan itu hanya akan memunculkan nama-nama calon pemimpin yang didominasi, dihegemoni oleh kepentingan oligarki saja.
"Jadi mungkin dalam bayangan mahasiswa kami termasuk kami juga para pengajar hukum tata negara bahwa gelisah kalau ada kader bangsa, kader muda yang potensial tapi dia tidak punya partai besar untuk capres itu pasti akan kesulitan," ucapnya.