SuaraJogja.id - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Permohonan ini diusulkan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Menurut para pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yance Arizona turut berpendapat terkait putusan tersebut. Dalam proses persidangan, Yance memberikan keterangan ahli dalam pengujian Pasal 222 UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential candidacy threshold).
Menurutnya, pasal tersebut adalah pasal yang paling banyak diuji sepanjang sejarah MK. Hal ini menunjukkan bahwa pasal tersebut adalah pasal yang dipermasalahkan berbagai kalangan, baik akademisi maupun politikus.
Baca Juga:Prabowo Samakan Sawit dengan Pohon Hutan, Dekan Fakultas Biologi UGM: Menyesatkan Publik
Namun menurut Yance, setelah 22 tahun, MK akhirnya mengabulkan permohonan tersebut dan menilai bahwa presidential threshold memang menjadi persoalan dalam keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
“Saya menilai putusan ini penting, karena bisa jadi kalau presidential threshold 20 persen dipertahankan, akan hanya ada satu pasangan calon tunggal. Itu buruk untuk demokrasi,” tutur Yance, Selasa (14/1/2025) seperti dikutip dari laman resmi UGM.
Dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, katanya, semua partai politik tanpa terkecuali yang lolos verifikasi untuk ikut pemilu dapat mencalonkan kadernya sebagai presiden. Hal ini mengimplikasikan bahwa makin banyak calon presiden yang dapat dipilih oleh masyarakat.
Di satu sisi, pilihan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik makin terbuka lebar. Sebaliknya semakin sulit bagi masyarakat untuk memahami agenda dari masing-masing calon presiden ke depannya.
“Makin banyak opsi itu lebih baik daripada sedikit opsi. Dengan banyaknya opsi, proses representasi politik juga menjadi makin baik,” ungkap Yance.
Baca Juga:Forum Cik Di Tiro: Menolak Lupa Kejahatan Politik Jokowi yang Menodai Demokrasi
Terkait pelaksanaan pemilu dua putaran, Yance menilai tidak akan ada banyak perubahan dan pembengkakan anggaran negara. Dari sisi penyelenggara, yaitu pemerintah, biayanya kemungkinan sama dengan tahun sebelumnya.
Hanya saja, Yance menggarisbawahi, biaya yang harus dikeluarkan oleh seluruh calon akan menjadi jauh lebih besar. Dengan banyaknya calon presiden, kontestan dituntut untuk menemukan cara-cara yang lebih efisien dalam mengumpulkan suara.
“Biaya mereka untuk kampanye kalau diakumulasi kan jauh lebih besar,” ujar Yance.
Putusan MK ini diharapkan dapat mengarah pada proses pemilihan presiden yang lebih demokratis. Yance menilai bahwa kemerosotan demokrasi menjadi fenomena global saat ini. Di banyak negara, institusi-institusi demokrasi dirusak oleh orang-orang yang terpilih secara demokratis. Dalam hal ini, Yance menyinggung terkait terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat dan Bongbong Marcos di Filipina. Ia menilai putusan MK ini dapat memperlambat, bahkan memulihkan proses regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia.
“Putusan MK ini adalah suatu oase, harapan untuk kita, agar kemerosotan demokrasi yang terjadi di negara kita tidak menjadi makin parah,” tutur Yance.
Yance mendesak DPR dan pemerintah sudah menyiapkan perubahan Undang-Undang Pemilu tahun 2029 pasca adanya putusan MK tersebut. Yance berharap perubahan ini dapat menjadi referensi utama bagi DPR dan pemerintah dalam melakukan penataan untuk pemilu lima tahun ke depan.
“Saya berharap ada proses yang lebih terbuka dan partisipatif dalam proses perubahan undang-undang terkait dengan pemilu dan partai politik ke depannya,” pungkas Yance.