Ramai Tagar KaburAjaDulu, Pakar: Ekspresi Kekecewaan

fenomena #KaburAjaDulu bisa saja muncul di kalangan anak muda Indonesia saat ini karena dipengaruhi oleh sikap semangat kebangsaan yang goyah akibat keresahan sosial ekonomi

Galih Priatmojo
Senin, 17 Februari 2025 | 17:59 WIB
Ramai Tagar KaburAjaDulu, Pakar: Ekspresi Kekecewaan
Ilustrasi #KaburAjaDulu (freepik.com)

SuaraJogja.id - Tagar #KaburAjaDulu yang dalam beberapa hari terakhir sempat bertengger sebagai topik paling tren di linimasa, jika direnungi lebih dalam, bukan sekadar kelakar anak muda yang jenuh, melainkan sebuah alarm sosial yang memantulkan keresahan kolektif.

Sebenarnya, ini memang bukan tren iseng, juga bukan sekadar candaan sambil lalu. Melainkan refleksi generasi yang mendapati negeri tempatnya lahir dianggapnya tak cukup menjanjikan masa depan yang cerah.

Jadi ini bukan soal kabur melainkan soal harapan yang mulai memudar atau kekecewaan yang sangat dalam.

Padahal di era digital yang penuh distraksi, sulit bagi sebuah bahasan atau wacana untuk bertahan lebih dari satu pekan.

Baca Juga:Ramai Naiknya Harga BBM, Warganet di Papua Ini Tunjukkan Perbedaan Harga yang Bikin Ngelus Dada

Tapi #KaburAjaDulu bertahan, mengakar dalam percakapan, merayapi ruang-ruang diskusi.

Mengapa? Sebab ini bukan sekadar urusan ekonomi yang sedang lesu, melainkan sebuah rasa frustrasi mendalam terhadap arah kebijakan negara.

Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo mengatakan fenomena #KaburAjaDulu bisa saja muncul di kalangan anak muda Indonesia saat ini karena dipengaruhi oleh sikap semangat kebangsaan yang mulai goyah akibat keresahan mereka terhadap kondisi sosial ekonomi dan peluang kerja di dalam negeri.

Anak-anak muda juga melihat peluang di luar Indonesia lebih menggiurkan, misalnya tawaran memulai hidup baru di Jepang atau Kanada. Bukan karena mereka tak cinta negeri atau tak nasionalis, bukan karena mereka malas berjuang di negeri sendiri.

Tetapi, mari jujur bahwa sistem yang seharusnya menopang malah kerap menyesakkan. Pendidikan tak terakses bebas, lapangan kerja semakin sempit, upah rendah, harga properti semakin tak terjangkau, dan meritokrasi masih sering dikalahkan oleh nepotisme. Akhirnya, muncul pertanyaan, “Kalau di tempat lain lebih menjanjikan, kenapa tidak?"

Sebuah survei yang dilakukan oleh JobStreet berjudul "Decoding Global Talent 2024: Tren Mobilitas Pekerja" mengungkapkan bahwa 67 persen orang Indonesia berminat untuk bekerja di luar negeri pada tahun 2023.

Alasan utama yang mendorong minat ini antara lain faktor ekonomi, pengembangan karier, kualitas hidup, serta keinginan untuk meningkatkan pengalaman dan jaringan global melalui lingkungan multikultural.

Padahal dulu, semua sering mencibir mereka yang memilih pergi. Diaspora dianggap bentuk pengkhianatan. Kini, justru yang bertahan sering dipertanyakan, "Kamu yakin masih mau di sini?"

Fenomena ini bukan sekadar ekspresi iseng, melainkan bentuk soft protest. Ada banyak cara orang mengekspresikan ketidakpuasan di antaranya turun ke jalan, mengisi petisi, hingga memilih untuk diam dan pergi. Yang terakhir ini justru lebih berbahaya. Jika yang terbaik memilih hengkang, siapa yang akan tersisa?

Lantas, solusi apa yang bisa dilakukan? Mungkin inilah saatnya negara melakukan audit besar-besaran terhadap kebijakan yang membuat generasi mudanya lebih memilih angkat kaki. Sederhananya, orang akan bertahan jika mereka melihat masa depan di sini.

Membangun harapan

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak