SuaraJogja.id - Civitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) siap mengajukan judicial review atau pengujian konstitusional Revisi UU TNI yang baru saja disahkan DPR RI. Hal ini dilakukan karena revisi UU TNI tersebut dinilai berdampak pada kembalinta dwifungsi ABRI laiknya Orde Baru (orba).
"Kami akan mengajukan judicial review revisi UU TNI ini, sekarang baru dibentuk tim. Kami berharap Presiden tidak menandatangani aturan tersebut, meskipun sudah disahkan oleh DPR. Sebaiknya ada Peraturan Presiden yang membatalkan Undang-Undang TNI. Menurut saya, ini adalah langkah paling bijak yang bisa diambil oleh Presiden," papar Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan UMY, Zuly Qodir di Yogyakarta, Sabtu (22/3/2025).
Menurut pakar politik dan ilmu pemerintahan tersebut, bangsa ini tidak ingin hal-hal yang telah berjalan baik sejak tahun 1998 pada masa reformasi hingga 2024 lalu rusak hanya karena keinginan atau kepentingan segelintir orang. Hal ini bisa merusak tatanan yang sudah dibangun dengan baik.
Jika hal ini sampai terjadi, maka dampaknya akan sangat berbahaya. Oleh karena itu, civitas akademika melihat situasi ini sebagai ancaman bagi perkembangan dan pertumbuhan demokrasi yang lebih beragam di masa depan. Banyak pihak mengatakan bahwa ada indikasi menuju demokrasi yang tidak beradab, atau bahkan gejala menuju neo-otoritarianisme, mulai muncul di Indonesia.
Baca Juga:UGM Tolak Revisi UU TNI, Proses Tertutup di Hotel Mewah Abaikan Suara Rakyat
"Jika kekuatan bersenjata semakin dominan, maka dugaan para pengamat dan ahli mengenai arah Indonesia menuju otoritarianisme akan semakin nyata. Kami, sebagai civitas akademika, tentu tidak menginginkan hal tersebut," tandasnya.
Zuly menambahkan, disahkannya RUU TNI menjadi UU oleh DPR memunculkan kekhawatiran dan ketakutan masyarakat akan kembalinya TNI dalam urusan sipil. Apalagi proses penyusunan RUU menjadi UU yang berlangsung sangat cepat, kurang transparan, seolah sembunyi-sembunyi, dan mengabaikan aspirasi publik secara luas. Terlebih substansi perubahan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI ini sangat krusial karena memberikan ruang yang besar kepada TNI berkiprah di ranah publik yang bisa mengancam demokrasi.
Revisi itu dinilai membuat terjadi perluasan tambahan tugas militer yang sebelumnya 14 menjadi 16 pos. Sebab militer aktif bisa menduduki jabatan publik dari yang sebelumnya 10 menjadi 14 pos.
Apalagi usia pensiun TNI dari yang sebelumnya bagi tamtama dan bintara 53 tahun pun dalam revisi itu diubah menjadi 55 tahun dan perwira adalah 58 tahun. Bahkan khusus perwira tinggi batas usia pensiun maksimal menjadi 63 tahun dan bisa diperpanjang 2 kali atau 2 tahun sesuai dengan kebutuhan.
RUU TNI yang telah disetujui oleh DPR RI menjadi pintu masuk peran TNI yang lebih besar dan lebih luas. Keadaan ini jelas menggerogoti supremasi sipil dalam iklim demokrasi.
Baca Juga:Survei: Mayoritas Pemenang Pilkada 2024 Sudah Terprediksi Jauh Sebelum Pemilihan Dilakukan
"Kondisi ini sangat meresahkan dan menjadi alarm berbahaya bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama kebebasan sipil, hak asasi manusia dan demokrasi. Tentu ini menimbulkan tanda tanya apakah ini adalah wajah lain dari dwi fungsi TNI yang dikubur oleh reformasi 1998," tandasnya.
- 1
- 2